Pengunjung Lapak

Kamis, 15 Desember 2011

Hedonisme Elite Politik Jadikan Masyarakat Apatis


Tragedi hedonisme merupakan polemik tak berujung yang diaktori oleh para elite politik di Indonesia. Mereka senantiasa menyuburkan budaya hedonisme yang merupakan salah satu akar lahirnya praktek korupsi dalam berbagai birokrasi pemerintah dan lembaga negara. Itu tidak lain karena ruang politik kita telah terkontaminasi semangat hedonisme atau terasuk naluri kebinatangan serta erosi modernisme. Modernisme yang mengagungkan rasionalitas telah menggiring para politisi dalam keterasingan spiritualitas. Fragmen ini yang membuat politisi menjadi sangat individualistik-egoistik.
Seorang filsuf dari Jerman, Willhem Friederick Nietzsche berpendapat bahwa meski para aktor pemerintahan tergambar sebagai kaum beragama, realitanya perilaku mereka jauh dari norma-norma agama. Para elite negeri beramai-ramai membusukkan agama dengan menanggalkan norma-norma agama. Korupsi, suap, dan bau amis perilaku amoral dibumbui penyimpangan seksual sungguh menegaskan fenomena itu. Sungguh ironi, perilaku hedonis itu tidak dilakukan sembunyi-sembunyi, tetapi dipertontonkan langsung di depan publik. Nilai-nilai suci agama yang semestinya menjadi menjiwai politisi tidak menjadi roh yang menghidupkan perilaku mereka.
Geriliya perilaku amoral itu tidak hanya berdampak pada kerusakan kepemerintahan, namun juga dapat menyebabkan kematian kepercayaan masyarakat terhadap para elite politik. Terbukti pada tingginya angka golput (golongan putih) pemilu tahun 2009 yang mencapai 39.1 persen. Menurut Varma, SP dalam bukunya yang berjudul Teori Politik Modern, dijelaskan bahwa tingginya angka golput di negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat. Beberapa pengamat politik bahkan memperkirakan bahwa pada pemilu 2014, mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (Golput) bisa mencapai angka 44 persen.
Demi meredam polemik tersebut, perlu adanya perubahan mental individu pada para elit politik dan birokrat. Selain itu, perlu adanya transformasi elit politik dan birokrat ke arah yang konstruktif, bukan transformasi ke arah yang  destruktif. Dari status quo menjadi revolusioner. Negera ini membutuhkan kinerja mereka sebagai minority creative yang dapat do the thing right dan do the right thing. Masyarakat mendambakan pemimpin dengan semangat melayani yang bersifat populis, humilis, dan bersolidaritas. Bukan pemimpin hedonis yang asimetris dan mencari keuntungan demi dirinya sendri serta kelompok eksklusifnya.
Atensi yang besar harus muncul dari para elit politik dan birokrat dalam menghadapi krisis kepercayaan pada negara ini. Perlu adanya perbaikan kinerja para pemimpin dalam meregulasi negara ini. Apatisme masyarakat akan menjadi ranjau terbesar fragmen politik, apabila tidak ditanggulangi, bersiaplah sistem pemerintahan Indonesia akan mati suti, alhasil ibu pertiwi kian hari kian menderita. Indonesia berharap menemukan figur teladan layaknya pungguk merindukan bulan.
*gagal masuk suara jakarta 
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
7 Desember 2011



0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^