Oleh: amalia larasati oetomo
Persepsi tiap insan dari berbagai sudut pandang berbeda. Manusia
dan orang. Selintas mirip karena penafsiran dari kedua kata itu sedikit banyak
bermakna sama. Merujuk pada ciptaan Allah SWT yang memiliki akal dan pikiran.
Sosok makhluk yang gerak-geriknya di dunia akan diminta pertanggungjawaban oleh
Tuhannya. Kedua kata tersebut, manusia dan orang, tidak berbeda saat
disandingkan dalam kondisi sejajar, sama seperti hewan dan binatang. Maknanya
sama saat dikondisikan dalam posisi yang sejajar.
Agaknya dewasa ini sering terjadi retorika kata yang justru
mengubah makna dari sebagian kata-kata yang sering dianggap sama. Apabila dua
kata sebelumnya, manusia dan orang, diartikan secara bersamaan, akan didapatkan
makna mirip satu sama lain. Sedangkan ketika kedua kata tersebut saling
menggantikan posisinya di masing-masing kalimat, terdapat kejanggalan yang
maknanya berbeda.
Seperti kalimat, “Perlakuan orang itu manusiawi.” Tidak dapat
diubah menjadi, “Perlakuan manusia itu orangwi.” Terdapat perbedaan persepsi
dan ketidaksesuaian makna. Padahal kata ‘orang’ dan ‘manusia’ sejatinya tidak
dapat dibedakan karena hanyalah berupa sinonim yang makna secara harfiahnya
sama.
Lalu seperti, orang timur, orang Indonesia, orang Jawa, atau bahkan
orang gila. Sedangkan pada kata ‘manusia’, tidak dapat disandingkan dengan
kata-kata pelengkap yang sama seperti pada kata ‘orang’. Tidak pernah terdengar
manusia Indonesia atau manusia Jawa. Kalaupun ada, makna yang dipersepsikan
berbeda dengan menggunakan kata orang.
Sebenarnya, apakah makna manusia secara harfiah? Manusia adalah
makhluk yang berakal budi dan mampu menguasai makhluk lain. Menurut Lawrence
Kohlberg, dalam bukunya, The Psychology of Moral Development (1927),
mengatakan bahwa manusia sangat berpengaruh dalam proses mengembangkan moral
dan membentuk perilaku. Sedangkan menurut Sigmund Freud, bahwa manusia memiliki
potensi diri yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu id, ego, dan
superego (es, ich, ueberich).
Sedangkan orang adalah kata ganti manusia, yakni manusia dalam arti
khusus. Biasanya merepresentasikan beragam jenis manusia. Seperti pada kata
‘manusia barat’ yang kurang tepat dibandingkan ‘orang barat’.
Menilik pada
perbedaan persepsi mengenai makna manusia dan orang, Al-Ghazali memiliki
pandangan sendiri mengenai manusia. Bahwa sejatinya dalam diri manusia terjadi
pembentukan karakter. Karakter tersebut dibangun melalui internalisasi
nama-nama Allah dalam tindak-tanduk seseorang. Yakni dalam pembentukan karakter,
manusia berlaku sesuai dengan kesanggupannya. Seperti meniru sifat-sifat yang
dicintai Allah, yaitu sabar, jujur, zuhud, ikhlas, tawadhu, dan lain-lain.
‘Orang’ adalah
manusia dalam arti khusus. Yakni ‘orang’ tidak dapat berdiri sendiri seperti
halnya manusia. ‘Orang’ memiliki ketidakstabilan karakter dalam bertindak, atau
istilah lainnya adalah labil. ‘Orang’ seperti sesuatu yang belum memilliki jati
diri, sehingga membutuhkan waktu untuk mematangkan isinya agar mencapai
kepribadian yang manusiawi. Jadi, pada tahap ‘orang’ belumlah mencapai
ke-manusia-an karena persepsi mengenai ‘manusia’ yakni sesosok individu yang
berakal, bermoral, bertanggungjawab, dan lain-lain. Sehingga, menurut sebagian
pengamat, ‘orang’ belumlah dikatakan sebagai ‘manusia’ sampai pada tahap pembentukan
karakter ‘manusia’. Yaitu ketika ‘orang’ telah perlahan menuju suatu sifat
selayaknya ‘manusia’.
Pada intinya, secara
harfiah, manusia dan orang hanyalah sebuah persamaan kata yang secara
substansial sebenarnya tidak perlu dipisah maknanya. Sama seperti menikah dan
kawin, lalu senang dan bahagia. Meskipun apabila ditelusuri maknanya secara
mendalam, tampak perbedaan arti serta penempatan. Sekarang tinggal kita memilih
ingin tetap menjadi manusia dalam arti sempit ataulah menjadi the real human.
1 komentar:
Struktur eksistensial Manusia menurut Al Ghazali terdiri Al Aql, An Nufs, dan Jism. Dengan Aql manusia berpikir dan menjadi makhluk rasional. Dengan An Nufs/Al Qalb manusia merasakan daya intuisi. Merasakan cinta, sedih, senang, bahagia, dan lain sebagainya. Dan dengan jism (jasad) manusia mengaktualisasikan keduanya. (Dr. M. Yasir Nasution - Manusia Menurut Al Ghazali).
Bagi An Nabhani, manusia memiliki Hajatul Udhowiyah (Kebutuhan Jasmani) dan Gharizah (Naluri). Adanya hajatul udhowiyah membuat manusia memerlukan makan dan minum. Sedangkan naluri manusia, bagi An Nabhani terbagi menjadi tiga, yakni : Gharizatul Tadayun (Naluri Ketuhanan), Gharizatul Baqa (Naluri mempertahankan diri), dan Gharizatul Nau' (Naluri Persaan Manusiawi).
Degan Tadayun manusia memerlukan adanya tuhan, dengan baqa, manusia memerlukan daya mempertahankan diri.Dan dengan Nau' manusia merasakan perasaan sesama manusia. Manusia merasakan cinta, kasih sayang, perdamaian, dan kebutuhan sosial lainnya (Nabhani - Nidham Al Islam).
Begitulah manusia, manusia yang membutuhkan satu sama lainnya.. :-)
Posting Komentar