Pengunjung Lapak

Rabu, 27 Juni 2012

Manusia vs Orang




Oleh: amalia larasati oetomo
Persepsi tiap insan dari berbagai sudut pandang berbeda. Manusia dan orang. Selintas mirip karena penafsiran dari kedua kata itu sedikit banyak bermakna sama. Merujuk pada ciptaan Allah SWT yang memiliki akal dan pikiran. Sosok makhluk yang gerak-geriknya di dunia akan diminta pertanggungjawaban oleh Tuhannya. Kedua kata tersebut, manusia dan orang, tidak berbeda saat disandingkan dalam kondisi sejajar, sama seperti hewan dan binatang. Maknanya sama saat dikondisikan dalam posisi yang sejajar.
Agaknya dewasa ini sering terjadi retorika kata yang justru mengubah makna dari sebagian kata-kata yang sering dianggap sama. Apabila dua kata sebelumnya, manusia dan orang, diartikan secara bersamaan, akan didapatkan makna mirip satu sama lain. Sedangkan ketika kedua kata tersebut saling menggantikan posisinya di masing-masing kalimat, terdapat kejanggalan yang maknanya berbeda.
Seperti kalimat, “Perlakuan orang itu manusiawi.” Tidak dapat diubah menjadi, “Perlakuan manusia itu orangwi.” Terdapat perbedaan persepsi dan ketidaksesuaian makna. Padahal kata ‘orang’ dan ‘manusia’ sejatinya tidak dapat dibedakan karena hanyalah berupa sinonim yang makna secara harfiahnya sama.
Lalu seperti, orang timur, orang Indonesia, orang Jawa, atau bahkan orang gila. Sedangkan pada kata ‘manusia’, tidak dapat disandingkan dengan kata-kata pelengkap yang sama seperti pada kata ‘orang’. Tidak pernah terdengar manusia Indonesia atau manusia Jawa. Kalaupun ada, makna yang dipersepsikan berbeda dengan menggunakan kata orang.
Sebenarnya, apakah makna manusia secara harfiah? Manusia adalah makhluk yang berakal budi dan mampu menguasai makhluk lain. Menurut Lawrence Kohlberg, dalam bukunya, The Psychology of Moral Development (1927), mengatakan bahwa manusia sangat berpengaruh dalam proses mengembangkan moral dan membentuk perilaku. Sedangkan menurut Sigmund Freud, bahwa manusia memiliki potensi diri yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu id, ego, dan superego (es, ich, ueberich).
Sedangkan orang adalah kata ganti manusia, yakni manusia dalam arti khusus. Biasanya merepresentasikan beragam jenis manusia. Seperti pada kata ‘manusia barat’ yang kurang tepat dibandingkan ‘orang barat’.
            Menilik pada perbedaan persepsi mengenai makna manusia dan orang, Al-Ghazali memiliki pandangan sendiri mengenai manusia. Bahwa sejatinya dalam diri manusia terjadi pembentukan karakter. Karakter tersebut dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah dalam tindak-tanduk seseorang. Yakni dalam pembentukan karakter, manusia berlaku sesuai dengan kesanggupannya. Seperti meniru sifat-sifat yang dicintai Allah, yaitu sabar, jujur, zuhud, ikhlas, tawadhu, dan lain-lain.
            ‘Orang’ adalah manusia dalam arti khusus. Yakni ‘orang’ tidak dapat berdiri sendiri seperti halnya manusia. ‘Orang’ memiliki ketidakstabilan karakter dalam bertindak, atau istilah lainnya adalah labil. ‘Orang’ seperti sesuatu yang belum memilliki jati diri, sehingga membutuhkan waktu untuk mematangkan isinya agar mencapai kepribadian yang manusiawi. Jadi, pada tahap ‘orang’ belumlah mencapai ke-manusia-an karena persepsi mengenai ‘manusia’ yakni sesosok individu yang berakal, bermoral, bertanggungjawab, dan lain-lain. Sehingga, menurut sebagian pengamat, ‘orang’ belumlah dikatakan sebagai ‘manusia’ sampai pada tahap pembentukan karakter ‘manusia’. Yaitu ketika ‘orang’ telah perlahan menuju suatu sifat selayaknya ‘manusia’.
            Pada intinya, secara harfiah, manusia dan orang hanyalah sebuah persamaan kata yang secara substansial sebenarnya tidak perlu dipisah maknanya. Sama seperti menikah dan kawin, lalu senang dan bahagia. Meskipun apabila ditelusuri maknanya secara mendalam, tampak perbedaan arti serta penempatan. Sekarang tinggal kita memilih ingin tetap menjadi manusia dalam arti sempit ataulah menjadi the real human.

1 komentar:

Maulana Wahid A mengatakan...

Struktur eksistensial Manusia menurut Al Ghazali terdiri Al Aql, An Nufs, dan Jism. Dengan Aql manusia berpikir dan menjadi makhluk rasional. Dengan An Nufs/Al Qalb manusia merasakan daya intuisi. Merasakan cinta, sedih, senang, bahagia, dan lain sebagainya. Dan dengan jism (jasad) manusia mengaktualisasikan keduanya. (Dr. M. Yasir Nasution - Manusia Menurut Al Ghazali).

Bagi An Nabhani, manusia memiliki Hajatul Udhowiyah (Kebutuhan Jasmani) dan Gharizah (Naluri). Adanya hajatul udhowiyah membuat manusia memerlukan makan dan minum. Sedangkan naluri manusia, bagi An Nabhani terbagi menjadi tiga, yakni : Gharizatul Tadayun (Naluri Ketuhanan), Gharizatul Baqa (Naluri mempertahankan diri), dan Gharizatul Nau' (Naluri Persaan Manusiawi).

Degan Tadayun manusia memerlukan adanya tuhan, dengan baqa, manusia memerlukan daya mempertahankan diri.Dan dengan Nau' manusia merasakan perasaan sesama manusia. Manusia merasakan cinta, kasih sayang, perdamaian, dan kebutuhan sosial lainnya (Nabhani - Nidham Al Islam).

Begitulah manusia, manusia yang membutuhkan satu sama lainnya.. :-)

Posting Komentar

Share this article ^^