Pengunjung Lapak

Senin, 26 Desember 2011

Franchise go International! (my first non-fiction book)


Kesempatan yang tidak dapat saya prediksi sebelumnya. Saat salah seorang sahabat yang juga aktif di FLP Ciputat mengirimkan sebuah pesan yang berisikan ingin bertemu empat mata dengan saya. Sontak saya pun bertanya-tanya kiranya apa maksud pertemuan itu. Besoknya, pertemuan itu pun teralaksana. Intinya, dia ingin bekerjasama dengan saya dalam membuat sebuah buku. Ternyata saat itu FLP Ciputat sedang mendapatkan proyek dari sebuah penerbit (loh, saya kok nggak tau?). Saat itu saya memang sedang fokus sibuk mengurus organisasi intra kampus, jadi kiranya agak jarang datang ke Rumpus (Rumah Pustaka FLP).
Setelah mendengar tawaran tersebut, spontan saya langsung mengiyakan, saya pikir, kapan lagi mendapatkan kesempatan tersebut. Selama berkecimpung dalam organisasi kepenulisan, maka banyak kesempatan dan sumbangsih yang dapat saya berikan. Namun, ketika sahabat saya itu mengatakan bahwa deadlinenya adalah minggu depan

Selasa, 20 Desember 2011

the most pressing issues faced by our country




Indonesia is a country rich in natural resources and human resources. Unfortunately, natural resource wealth is not accompanied by an abundance of qualified human resources. Lack of qualified human resources is due to lack of education obtained by the people of Indonesia. Not only affects the deterioration of the nation, even a minimal education have contributed to increasing poverty in Indonesia. Though education helped improve the lives of human beings in so free from poverty. In many ways, poverty is often associated with education, education is considered as one solution to poverty alleviation.
There are several things that cause. First is the concern of government. Advancement of education can be realized if the government make education a main agenda in improving the governance structure. The second is to stop the privatization of educational institutions. Indonesia as a developing country which causing debt increase. So what happens is the privatization of government institutions, including educational institutions. Then the government must be courageous in defending what is right fully

Sosialisasi Pendidikan Karakter Bangsa


Indonesia kini sedang menjadi pesakitan. Belum lupa dalam ingatan kita seorang juara olimpiade digadaikan nyawanya dengan sebuah ponsel oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Lalu betapa mirisnya ketika melihat seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar dikeroyok massa sampai kehilangan nyawa karena dituduh mencuri helm. Kita juga disuguhkan pemandangan memuakkan dari para petinggi negara di mana korupsi merajalela. Perilaku elite politik hedonis mengibiri rakyat.
Polemik tersebut menunjukkan adanya krisis ketidakpercayaan diri, kemandirian, dan nasionalisme yang sangat rendah. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang dikatakan Soekarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”. Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekhawatiran Soekarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”
Koentjaraningrat (1974) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, menyatakan terdapat lima mentalitas negatif bangsa In

Kamis, 15 Desember 2011

Tips Ngangkot


Hari ini aku dikagetkan dengan telepon dari ibu yang bersuara amat keras. Beliau mengatakan bahwa tersiar kabar di berita lagi-lagi terdapat kejadian pemerkosaan di dalam angkutan umum.

"Pokoknya Laras jangan naik angkot malem-malem, kalo lagi di kampus jangan ngajar! Kawasan kampus Laras itu rawan loh. Kalo nggak ada kuliah langsung pulang, ngapain capek-capek ke kampus kalo nggak ada kuliah lagi. Tuh kan ibu bilang apa, jangan naik angkot malem-malem, kemaren pemerkosaan di angkot trayek deket kampus Laras, sekarang ada kejadiannya lagi, kan serem bangeet."

Mendengar nasehat yang tiada habisnya, aku hanya bisa tertawa, betapa seorang ibu sangat menghawatirkan anak gadisnya. Saat itu menasehatiku panjang lebar, aku hanya bisa berkata "iya, iya, iya, Bu, insyaAllah nggak kayak gitu lagi."

Hedonisme Elite Politik Jadikan Masyarakat Apatis


Tragedi hedonisme merupakan polemik tak berujung yang diaktori oleh para elite politik di Indonesia. Mereka senantiasa menyuburkan budaya hedonisme yang merupakan salah satu akar lahirnya praktek korupsi dalam berbagai birokrasi pemerintah dan lembaga negara. Itu tidak lain karena ruang politik kita telah terkontaminasi semangat hedonisme atau terasuk naluri kebinatangan serta erosi modernisme. Modernisme yang mengagungkan rasionalitas telah menggiring para politisi dalam keterasingan spiritualitas. Fragmen ini yang membuat politisi menjadi sangat individualistik-egoistik.
Seorang filsuf dari Jerman, Willhem Friederick Nietzsche berpendapat bahwa meski para aktor pemerintahan tergambar sebagai kaum beragama, realitanya perilaku mereka jauh

Rabu, 14 Desember 2011

Nenek (The BEST PART of My Life)


Seorang ibu adalah pelita kehidupan. Ibu mengandung, melahirkan, menyayangi, mendidik, dan mengasihi. Saat kita kecil, ketika menangis yang diucapkan berkali-kali adalah “ibu, ibu, ibu”.
Seorang anak adalah cerminan seorang ibu. Apabila seorang anak memiliki perilaku bejat, maka patut dipertanyakan bagaimana sang ibu mendidiknya. Begitu pula apabila seorang anak memiliki moral yang baik, maka sang ibulah yang berperan besar dalam pendidikan karakternya.
Lantas bagaimana dengan nenek kita? Apakah karena beliau merupakan tanggung jawab orang tua, lantas kita bersikap tidak acuh?

Minggu, 11 Desember 2011

Jadi Mahasiswa PEDULI PENDIDIKAN Yukk

Aku nggak mau sekolah, ah. Mendingan ngamen dapet duit. Kalo aku sekolah, aku nggak bisa setoran. (pengamen, 8th)

      
        Tidak jarang ketika melewati beberapa daerah di Jakarta, tampak sejumlah rumah nomaden yang berderet. Sejumlah rumah tampak reyot dan tidak layak huni. Rumah-rumah tersebut berdinding kardus. Ketika mata terpaut pada isi rumah, rasanya tidak seimbang. Para penghuninya tidur bertumpuk dalam satu ruangan yang menyatu dengan dapur. Bahkan terdapat rumah yang berisikan beberapa keluarga. Betapa ketimpangan sosial mengakar, di saat gedung megah menjulang tinggi bernilai triliyunan, dengan jarak kurang dari seratus meter masih saja terdapat daerah kumuh yang berpenghunikan masyarakat buta huruf.

Sabtu, 10 Desember 2011

Saat Air Bersih dan Sungai Kritis


9 Oktober 2011
Amalia Larasati Oetomo

Musim kemarau berkepanjangan cukup mencekam para penghuni kehidupan. Air sungai menyusut dan berbau busuk. Pepohonan perlahan layu, dedaunan menguning, dan binatang mati karena dehidrasi. Tidak terkecuali manusia. Defisit air bersih menimpa hampir seluruh daerah di Indonesia, khususnya Jakarta. Tidak sedikit jumlah warga yang mengeluh terkait minimnya air bersih yang dapat mereka peroleh, yakni air minum dan air cuci.
Tidak dipungkiri bahwa dampak kemarau tahun ini terasa lebih parah bila dibandingkan tahun lalu. Padahal intensitas kemarau tahun ini baru empat bulan, yaitu dimulai pada bulan Juni, sedangkan tahun lalu musim kemarau dimulai bulan Mei. Berdasarkan fakta tersebut terselip ketidaksinkronisasian. Lalu, bagaimana hal ini dapat terjadi? Mengapa air sedemikian surut tak tersisa?

Renegoisasi Kontrak Tambang, Royalti Jangan Dikorupsi


Puluhan tahun sejak Indonesia mengusung kemerdekaan, Indonesia dicap gagap dalam mengusung hak-haknya akan pengelolaan pertambangan terhadap pihak asing. Kegagapan pemerintah menelurkan defisitnya nilai keadilan yang telah mengakar bumi. Bila nilai keadilan merangkak turun, rakyat jualah korban yang dipasung.
Dalam bukunya, Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant, mengatakan bahwa semua tindakan yang mengacu pada hak orang-orang lain yang maksim-maksimnya bertentangan dengan kepublikan adalah tidak adil.
 Namun, tradisi turun menurun tersebut agaknya sudah mulai pudar, pemerintah sudah berani tegas mengenai hak-haknya akan sumber daya alam yang dikuasai pihak asing. Seperti yang diketahui, hingga kini pemerintah terus berupaya melakukan renegosiasi seluruh kontrak karya pertambangan yang mencakup prinsip luas wilayah, divestasi, pengelolaan lingkungan, royalti, dan kewajiban menggunakan jasa dalam negeri sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Guru Honorer-Pahlawan yang Terdiskriminasi



Oleh: Amalia Larasati Oetomo
Mahasiswa Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kementrian Pemberdayaan Forum Lingkar Pena Ciputat
21 November 2011

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan pendidikan dapat terlihat dari kualitas para pengajar pada suatu komunitas bernama sekolah. Guru yang berkualitas akan menghasilkan murid yang cerdas. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, seorang guru selayaknya bekerja tanpa pamrih dengan penuh keikhlasan dan kesabaran dalam mendidik peserta didik. Pendidikan yang hakiki yakni tanggung jawab moral dalam profesi guru. Guru tidak hanya memberikan pendidikan akademik, namun juga mengajarkan pendidikan karakter bagi peserta didiknya. Maka, ketika seorang murid dapat mencapai kesuksesannya, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran seorang guru. 
Meski begitu, perjuangan seorang guru sampai sekarang masih saja dianggap sebelah mata. Tidak sedikit anggapan bahwa guru adalah profesi rendahan, sehingga ketika para mahasiswa lulusan perguruan tinggi keguruan bekerja di sekolah-sekolah, penghargaan yang didapatkan tidak sebanding dengan keringatnya yang bercucuran mengalir. Padahal pasal 39 UU Guru dan Dosen, menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan yang wajar.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) masih menemukan banyaknya  guru non PNS yang bekerja penuh waktu dari Senin sampai dengan Sabtu, hanya memperoleh penghasilan Rp 200 ribu per bulan. Hal itu merupakan pelecehan profesi guru. Walaupun banyak guru yang tulus mengabdi meski honor yang diterima amatlah minim, namun perlakuan tersebut tidaklah manusiawi. Guru pun manusia biasa yang layak mendapatkan pendapatan normal demi melangsungkan kehidupannya. Tidak dapat dibayangkan apabila seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai guru honorer di sebuah sekolah pedalaman hanya mendapatkan gaji di bawah Rp 400 ribu per bulan. Jauh di bawah rata-rata UMR, yakni Rp 1.200.000.
Koordinator Pusat Federasi Guru Swasta Indonesia (FGSI), Muhammad Fatah Yasin menyatakan, serikat organisasi guru sedunia (Education International) pada peringatan Hari Guru Sedunia tahun 2007 menyerukan kepada seluruh pemerintahan di dunia bahwa memperbaiki kondisi kerja guru sama artinya dengan memperbaiki kondisi belajar anak. Pengajar dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, selayaknya guru sebagai pahlawan kini dan nanti, diberikan tanda jasa yang sepadan dengan perjuangannya agar dapat memberikan sumbangsih terbaiknya untuk anak negeri. Semoga.


Cerita Supir Angkot: Motor Berjubel, Setoran Macet!!



Telah dimuat di Website Suara Jakarta
Oleh: Amalia Larsati Oetomo
1 November 2011

Sepasang mata tampak lelah, kulitnya yang kehitaman tampak berpeluh lelah, keningnya berkerut, kepalanya sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan mencari ‘sewa’ yang tak kunjung datang. Setengah jam sudah ia me-ngetem pada sebuah pertigaan. Wajahnya mengerut, helaan napasnya tidak beraturan, dihitungnya uang setoran yang diperolehnya selama tiga jam ‘narik’, tidak sampai sepuluh ribu ternyata. Ia menghela napas kembali.
Pemandangan ini tidak jarang terlihat bagi pembaca yang sering berpergian menggunakan angkutan kota atau istilah lainnya adalah angkot. Meski terkadang seorang penumpang seringkali kesal ketika angkot yang ditumpanginya tidak kunjung berangkat, padahal sudah lima belas menit menunggu si abang supir mencari ‘sewa’ penumpang lain. Bahkan tidak jarang pula supir angkot marah ketika uang yang diberikan oleh penumpang ternyata kurang.
Fenomena ini tidak hanya terdapat di ibu kota, namun kerap ditemui pada daerah pinggiran seperti Bekasi. Pengusaha angkot di Kota Bekasi mengaku sulit meremajakan armada sebagai imbas dari semakin sepinya penumpang. Angkot pun terancam tak dioperasikan lagi lantaran bakal digusur moda angkutan lain untuk menarik penumpang. Jumlah penumpang angkot selama dua tahun terakhir diperkirakan turun hingga lima puluh persen. Hal ini lantaran banyak masyarakat yang beralih menggunakan motor dan mobil pribadi.
Merajalelanya penggunaan motor pribadi yakni menjadi salah satu faktor hampir vakumnya angkot di berbagai daerah. Apalagi didukung penjualan motor bak kacang goreng. Para penumpang sering mengeluhkan tidak efektifnya penggunaan angkot karena mengurangi mobilitas. Apalagi supir angkot seringkali menunda keberangkatannya agar mendapatkan sewa yang penuh.
  Berkurangnya penumpang turut menjadikan para sopir angkot tersebut gigit jari. Bayangkan, setoran yang diperoleh setiap sopir untuk trayek yang masih ramai penumpang yakni Rp 125 ribu per hari. Namun untuk saat ini, sopir angkot hanya mendapatkan setoran kisaran enam puluh ribu sampai tujuh puluh ribu perhari.
Bahkan di Bekasi, terdapat beberapa trayek yang sudah kehilangan penumpang sama sekali. Trayek tersebut antara lain 02A (Bumi Mutiara-Pondok Gede), 05 (Jatiasih-Terminal Bekasi), 06 (Kranggan-Kampung Rambutan), K27 (Jatiwarna-Pondok Gede), dan K26A (Pekayon-Terminal Bekasi). 
  Hal ini memberikan dampak negatif bagi pengusaha angkot, khususnya yang bermodal kecil. Dampak tersebut berakibat tidak tertutupnya biaya peremajaan kendaraan yang memakan biaya tidak sedikit. Tidak hanya itu, apabila trayek-trayek semakin sepi, bukan hanya pengusaha angkot yang gulung tikar, namun para supir angkot pun terkena imbas. Akan terciptalah sebuah ledakan pengangguran secara massal. Apabila pengangguran massal terjadi, bersiaplah pada suatu kondisi di mana kemiskinan ikut menjamur. Padahal kemiskinan masih saja terpelihara dan membelit sebagian masyarakat di negeri ini.
  Fenomena ironi ini layaknya ditinjau dan diselesaikan bersama. Pemerintah hendaknya tidak hanya berpangku tangan sambil menonton dari kejauhan. Namun diharapkan tindakan nyata yang dapat menyelesaikan permasalahan ini. Semoga.



Belanja oh Belanja




Belanja. Satu kata yang membuat para kaum hawa menoleh cepat. Belanja oh belanja. Ketika kaki melangkah menuju suatu pusat perbelanjaan, mata tertaut pada sebuah papan putih yang bertuliskanSALE: 50% OFF. Oh tidak. Jangan goda aku. Tapi apa boleh buat, batin sudah luluh, keyakinan telah goyah. Sebuah sepatu ‘lucu’ semakin meruntuhkan iman kita. Ketika melihat sepatu ‘lucu’ itu, rasanya tubuh mengalami suatu gejolak tak biasa. Jantung berdebar, nafas tak teratur, layaknya jatuh cinta. Tanpa berpikir panjang, badan langsung dielakkan ke dalam toko. Tidak ada lagi sinkronisasi antara otak dan saraf motorik. Langkah kaki terhenti, kita pandangi, tangan beringsut memegang permukaan sepatu, mengelus-elus (ini asli atau bukan). Lagi-lagi karena saraf otak seketika memutuskan hubungan dengan saraf motorik dan sensorik, tidak ada lagi pikir-pikir panjang dalam memutuskan untuk membeli atau tidak.
“Mbak, minta yang nomor 38,” perintah kita ke pada mbak-mbak pelayan toko.
Setelah menunggu selama dua menit, akhirnya mbak-mbak itu membawa sesuatu yang bersinar amat terang. Kilatan-kilatan kuning di atasnya, lalu puluhan bintang menari di sekelilingnya. Itu! Itu! Suara hati kita langsung berteriak.

Itu punya gue!!

Horee, gue menang.

Gue kalah. Hiks

Sebuah label kecil berwarna merah dalam sepatu membuat terperanjat kaget. Label berwarna putih bertuliskan Made In China membuat kita merutuk.  

”Pantes aja off  50%, wong buatan cina. Gue ketipuu!!”

Kenapa? Kenapa?

Sekilas, itulah gambaran mayoritas kaum hawa yang hakikatnya doyan belanja. Tidak setuju?
#penulis langsung kabuuurr, takut digebukin pembaca.

Tidak ada wanita yang tidak suka berbelanja. Dari mbak-mbak metropolis sampai mbak-mbak jualan ikan di pasar pasti suka belanja. Tapi mungkin jenis dan kualitas barangnya yang beda. Kalau mbak-mbak metropolis belanjanya komplit. Sepatu, tas, baju, jam, tas, tas, tas, sepatu, baju, sepatu, dan jam. Barang-barang yang dibeli pun memiliki brand, seperti Gucci, Guess, Versace, Zara, Fossil, LV, Kenneth Cole, Ferragamo, Bvlgari, de el el. Walah, apa itu? Nama makanan ya? Haha. Pada intinya semua wanita pasti suka belanja, meski intensitasnya berbeda.
Ada yang beranggapan bahwa sebulan tidak belanja rasanya pegal-pegal, menggigil, bahkan meriang. Loh? Oleh karena itu, biasanya mereka menyediakan budget tertentu untuk shopping-shopping. Ada pula yang tidak mau bersusah-susah menyisihkan sebagian uang untuk belanja, oleh karena itu, mereka selalu menggunakan kartu sakti, yaitu, (bunyi drum), kartu kredit.
Penulis pernah mendengar suatu slogan, yaitu credit card is human’s best friend. Mungkin best friend in the beginning, but enemy in the last war. Lalu apabila diterawang human di sini mengacu pada fragmen kewanitaan, meski tidak menampik bahwa tidak sedikit pula para pria yang kecanduan belanja. Sisi kewanitaan sejatinya menuntut untuk berpenampilan selalu rapi, mempesona, dan (yang utama) cantik. Apalagi di-push oleh kondisi masyarakat yang mengalami disparitas status sosial, yakni penampilan yang baik dianggap sebagai suatu ke-normalan. Sehingga nilai penampilan dianggap suatu yang wajib dipenuhi hak-haknya.
Persepsi tersebut turut mengaduk-aduk paradigma kita mengenai suatu nilai kemanusiaan. Defisit akan nilai kemanusiaan terkadang tidak memanusiakan manusia sekitar yang tidak dalam kategori ‘normal’. Normal di sini adalah suatu tampilan yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Padahal ke-mayoritas-an tersebut tidaklah absolut. Kita terkadang menyayangkan, tidak fair apabila seorang yang capable, have a good skill, tetapi berpenampilan seadanya tanpa atribut kemewahan yang diusungnya malahdidiskriminasi, bahkan tidak dipenuhi hak-haknya untuk berbicara.
Berdasarkan asumsi tersebutlah, masyarakat berkompetisi untuk tampil mencapai ke-normalan yang dianut oleh mayoritas. Budget minim tak apalah, yang penting tampil pol. Selama ada kartu sakti, semua dapat diraih dengan mudah. Hal itu diendus oleh kaum kapitalis. Dengan mempertaruhkan moral bangsa, mereka mendulang rupiah dengan mudah. Tokoh panutan diusung sebagai simbol metropolis yang ‘normal’. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain adalah belia yang masih duduk di bangku sekolah. Mereka ditampilkan sebagai sosok sempurna, yang hanya berkutat dalam siklus hedonisme. Nongkrong, pacaran, dan belanja. Ketiga hal itu tercakup dalam ruang lingkup senang-senang.
Lalu, apa yang mereka llakukan agar mencapai kegiatan senang-senang itu? Kaum kapitalis punya jawabannya. Ikut life style mereka, dari mulai penampilan, makanan, pekerjaan, dan pola hidup. Dijamin selamanya akan terjebak dalam siklus negativitas. Berhutang, berfoya-foya, bermaksiat, dan lain-lain. Naudzubillah. Semoga kita terhindar dari segara sisi negatif tersebut.
Wallahualambishowab

Epilog:
Bahkan akhwat-akhwat* militan pun juga suka belanja loh. Hehe. Meski akhwat mungkin berbeda dengan mbak-mbak gaul metropolis yang senantiasa memegang belasan kartu ajaib di dompetnya. Sekali gesek lalu tanda tangan. Horeee. Punya gue! Punya gue!
Para akhwat biasanya tidak mudah menghamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak perlu-perlu amat. Mereka lebih telaten dalam mengurus keuangan, apalagi yang masih menadahkan uang kepada orangtua. Namun yang namanya akhwat kan juga manusia biasa. Lihat jilbab ‘lucu’ langsung bilang, “ih, lucu. Hmm, beli nggak yah?”. Meski akhwat pada dasarnya selalu berpikir panjang dahulu sebelum membeli sesuatu, tapi berapa lama pun berpikir, pasti dibeli juga. Entah sehari kemudian, seminggu kemudian, atau sebulan kemudian. Tidak mudah bagi kita-kita ni untuk melupakan sesuatu yang ‘lucu’, begitu istilah yang sering dilontarkan, pokoknya semua kita bilang lucu. Lihat bros jilbab ‘lucu’, gamis ‘lucu’, pulpen ‘lucu’, buku diari ‘lucu’, sarung hp ‘lucu’, gantungan hp ‘lucu’, buku ‘lucu’ (loh emang ada buku lucu? hehe), sampai al-Quran ‘lucu’ dengan sampul berbulu berwarna pink, semua menggoda iman kita.


*Kata akhwat di sini mengalami penyempitan makna, yaitu wanita yang sudah memaknai islam dengan mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-harinya. Baik dalam berpenampilan, tingkah laku, maupun dalam bertutur kata. Amin, semoga selalu istiqomah ya.


Oleh: Amalia Larasati Oetomo
4 Oktober 2011

Ketimpangan



Ketika mata tertaut pada sosok terdeformasi itu, hati serba bimbang. Haruskah merogoh beberapa uang logam yang terselip jauh di dalam saku, atau menahan diri dalam fragmen ketidakpedulian dikarenakan kekhawatiran akan makin lancarnya siklus ketidakadilan sosok tersebut dalam lingkup kesengsaraan?
      Dimulai dari bayi yang masih kemerahan, sampai para lansia berjejer rapi di trotoar  merupakan pemandangan lumrah bagi warga ibukota. Seorang gadis beratribut selendang dan sarung dikondisikan terlihat sebagai seorang ibu yang memapah bayinya. Menadahkan tangan sambil mengiba pelan sembari menunjukkan bayi yang tertidur pulas dalam dekapannya. Meski kita semua bisa menebak dengan pasti usia gadis belia tersebut, namun lagi-lagi ketidakberdayaan kita terhadap sesuatu yang diskriminatif kurang sinkron dengan akal sehat. Padahal merunut pada sejumlah fakta mengenai human traffic yang kian marak melakukan destruksi terhadap objek-objek tertindas, mestinya kita dengan sigap meruntuhkan dinasti negativitas tersebut
Menurut Friedrich Heinrich Jacobi, bahwa keadilan adalah kebebasan mereka yang sama, ketakadilan adalah kebebasan mereka yang tak sama. Wilayah ‘yang tak sama’ yakni mereka yang menyimpang dari standar normalitas tertentu yang domain karena dianut oleh mayoritas. Penyimpangan yang dimaksud adalah disparitas status sosial dan ekonomi.
         Mereka adalah korban dari krisis makna dalam diri individu. Mereka yang lemah berdasarkan status sosial atau ekonomi akan merasa termarginalkan. Menurut Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas, di antara mereka ada pula yang menjadi korban ketimpangan sosial, merasa kehilangan tempat dalam masyarakatnya, sehingga mereka merasa diri mereka tak bermakna. Kondisi ekonomi dan politik nasional dilanda krisis turut menjadi kambing hitam ketimpangan sosial tersebut. Yakni angka pengangguran naik, sehingga krisis kepribadian mengiringnya menjadi pelaku kekerasan kolektif. Tidak heran apabila tidak pernah terjadi defisit kemiskinan, yang ada hanyalah ekspansi kaum-kaum yang termarginal.
       Kita berdiskusi mengenai sesuatu yang penuh dengan inferioritas, yakni kondisi suatu golongan yang membuatnya merasa terisolasi sebagai individu, tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi secara ekonomis. Apabila kondisi terisolasi tersebut dipersepsi mengancam survival-nya, yang terjadi adalah pemanfaatan ketidakberdayaan individu lain sebagai lahan empuk dalam mencapai ke-’normalan’ dalam status sosial. Lalu apakah peran kita sebagai golongan yang senantiasa dicap sebagai agen perubahan? Penulis yakin bahwa setiap individu memiliki diferensiasi persepsi. Semoga kita tidak gagap dalam menghadapi ambivalensi sosial.

Oleh: Amalia Larasati Oetomo
3 Oktober 2011

Cerpen: Aku dan Mimpi Khayalku


Aku tahu, dengan menorehkan daftar mimpi-mimpiku di buku harian, aku bisa mewujudkannya satu-persatu. Ya, memang terwujud. Satu per satu. Oleh karenanya, aku pun hanyut dalam khayalku. Kuhitung daftar mimpiku, satu, dua, tiga, ah, seratus dua puluh satu. Banyak juga ternyata.
Mimpi agar nilai ulangan setiap pelajaran sepuluh, lalu juara kelas tiap tahun, juara debat bahasa inggris, menang olimpiade Fisika, juara lomba karya tulis siswa, jadi penyiar radio, jadi MC, membeli rice cooker untuk ibu, beli tas baru, sampai memperbaiki genteng rumah yang bocor. Semua mimpiku menjadi nyata. Ya, meski ada satu mimpi belum dapat terwujud.
Teringat saat kali pertama aku menorehkan mimpi, yaitu membeli kursi untuk ruang tamu agar ketika tamu datang, ibu tidak harus bersusah menggelar tikar plastik yang sekiranya agak memalukan ketika menjamu tamu. Rasanya kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi di mana pertama kali aku meninggalkan bangku SMP, sebagai siswa SMP yang tidak pintar-pintar amat, tidak ada satu pun mimpi yang berani kugapai.
Ketika itu hidupku bagai robot-robotan yang diatur oleh remote control. Dan remote itu dikendalikan penuh oleh seorang pria yang memiliki hak besar atas hidupku. Ayah beranggapan bahwa demi mendapatkan kualitas diri yang baik, yaitu bersekolah di sekolah terbaik. Kata ayah, aku harus mendaftar ke SMA swasta favorit yang memiliki kualitas pengajaran tinggi. Bahasa pengantarnya pun menggunakan tiga bahasa. Inggris, Jerman, dan Perancis. Aneh sekali. Baru pertama kali aku mendengar dagelan seperti ini. Bahkan bahasa pengantarnya pun tiga bahasa? Namun aku hanya mengangguk lemah di hadapan ayah. Kupikir percumalah jutaan kali mengutarakan keinginan terdalamku pada ayah.
“Sudahlah, Nak, ayah tau apa yang terbaik untuk kamu.” nasihat ibu padaku. Saat itu aku hanya terduduk termangu di samping jendela kamar berwarna pink. Bonekaku terhimpit lenganku yang erat memeluk.
“Iya, Asya tau, Asya emang nggak boleh ngelakuin sesuatu sesuka Asya. Jadi penyiar radio nggak boleh, jadi pelukis nggak boleh, bahkan main ke rumah temen nggak boleh. Sebel sebel.”
“Kemarin kamu diijinin pergi ke rumah temen. Ingat kan?” kata ibu sembari membelai lembut rambutku. Bibirnya tersenyum hangat.
“Iih, emang main ke rumah temen, tapi masa mang Encep juga ikutan. Ayah sama Ibu emang nggak sayang sama Asya.” Mukaku semakin ditekuk, mulutku maju. Pokoknya aku benar-benar kesal saat itu.
“Begini Asya, jangan lagi berasumsi kalau ayah dan ibu tidak sayang sama Asya. Mana mungkin orang tua akan membiarkan anak gadis satu-satunya lepas dari kendali mereka. Lihat teman-teman Asya yang diberikan kebebasan penuh oleh orang tuanya. Diperbolehkan main ke sana ke sini, sampai malam. Bebas main dengan siapa saja. Bahkan ada pula orang tua yang hampir tidak pernah ketemu sama anaknya sangking sibuknya bekerja. Apakah itu yang namanya sayang? Apakah memberikan semua keinginan anaknya itu berarti peduli?”
“Tapi tetep aja, ini tuh gara-gara ayah. Paling nggak ayah dengerin kemauan anaknya. Jangan dengan seenaknya ngambil keputusan tanpa memedulikan Asya keberatan ato nggak. Asya nggak mau masuk sekolah aneh itu! Asya nggak mau les piano, les kepribadian, les bahasa bahasa apalah. Pokoknya nggak mau. Asya maunya masuk SMA biasa ajah! Dan Asya nggak mau liat ayah lagi!”
Nafasku tersengal-sengal, gumpalan gundah telah habis kutumpahkan ke hadapan ibu. Wajahku tak berani kudongakkan menatap wajah ibu. Sesal melanda batin ketika kusadar telah membentak ibu dan mengatakan hal yang tidak seharusnya kulontarkan.
“Baik, ibu akan bicara dengan ayah.” tanpa berbicara panjang ibu segera meninggalkanku sendiri.

***

“Ayuk, Sya.” Rani, sahabat terbaikku mengajakku menuju stasiun radio dekat sekolah. 
“Tapi aku nggak bisa, Ran. Aku nggak bisa ngomong.” tolakku. Aku ingin segera kabur dari sini.
“Tuh kamu ngomong, hehe. Udah kasih aja dulu CV kamu, yang penting kamu udah usaha.” Rani mencoba membujukku. Tapi lagi-lagi aku menggelengkan kepala.
“Ya ampun Asya, aku udah capek-capek bikinin CV buat kamu, kamu malah nggak ngehargain aku. Pokoknya kamu harus ke sana. Inget kan pas SMP dulu, kamu pengen banget jadi penyiar radio. Sekarang kesempatan kamu. Apalagi kamu dulu les macem-macem. Paling nggak kamu punya kualitas, Sya.” kata-katanya terdengar meyakinkan.
“Kamu kan butuh uang untuk biaya ibu, Sya.” lanjutnya. Sekejap aku tersihir oleh kata-kata terakhirnya. Untuk ibu.
“Ya, untuk ibu.” kataku pelan. Mataku tidak jelas menatap ke mana.
“Bener, Sya, apalagi kita kan baru kelas satu SMA, masih belum terlalu sibuk. Aku yakin kamu bisa ngatur waktu. Semangat.” Rani mengepalkan tangannya ke atas seraya menyemangatiku.
Pasti bisa. Aku pasti diterima. Ya, dengan keyakinan itu, nasib baik dalam genggamanku. Stasiun radio tersebut pun menerimaku dengan baik. Berbekal berbagai les yang sempat kujalani, kualitas diriku pun tidak diragukan. Selain itu tawaran MC deras mengalir. Keadaan kini jauh berbeda saat ayah masih dalam dekapanku. Tidak ada lagi yang menjagaku agar aku tidak keluar tanpa sepengetahuan ayah ibu. Tidak ada lagi yang menjegal mimpi-mimpiku. Seketika butiran sesal menggelayut dalam batinku.

***

Aku menggerakkan kaki melangkah maju menuju rumah sederhana di pinggir jalan itu. Dengan langkah gontai, aku memasuki pintu yang terbuka. Mataku tertuju pada satu sosok lemah yang sangat kusayangi. Kulihat ibu semakin pucat, penyakit kanker getah beningnya terus menggerogoti badannya. Rambut ibu kian lama makin menipis saja. Badannya kuyu dan lemas.
“Ibu.” panggilku pelan. Ibu yang kala itu menatap ayat Quran dengan kusyu sekejap menolehkan pandangannya ke arahku. Ibu pun tersenyum. Tanpa babibu aku merebahkan kepalaku di atas pangkuan ibu. Tangannya yang mulai rapuh membelai kepalaku dengan sayang.
“Besok Ibu harus kontrol lagi kan?” tanyaku sembari melepas belaian ibu. Badanku dirapatkan ke samping ibu, kulihat tangan ibu yang semakin kurus lalu kugenggam erat.
“Nggak usah, nanti saja kapan-kapan. Badan ibu masih sehat.”
“Tapi dokter kan bulan lalu bilang kalau ibu jangan terlambat untuk kontrol. Takutnya nanti makin parah lagi.”
“Kan sudah ibu bilang, ibu akan kontrol kalau ibu merasa sakit. Wong sekarang ibu merasa sehat.”
Aku mengangguk.
“Yaudah, jadwal kontrolnya diundur menjadi minggu depan yah.” Seketika aku menorehkan senyuman di depan ibu. Terlihat agak memaksakan.
“Oh, iya. Asya punya berita baik buat ibu. Liat ni, Asya dapet surat panggilan untuk ikut ujian beasiswa dari Pemda. Tadi Bu Santi, wali kelas Asya, yang ngasih. Katanya yang dapet hanya delapan orang dari sekolah Asya yang dikasih kesempatan untuk nyoba ujian masuk Institut Tekhnologi Negeri. Tapi kita belum tentu lulus, Bu.” aku lalu terdiam, menunggu reaksi yang kuharapkan dari ibu. Ibu pun mengambil sepucuk surat yang kusodorkan ke arahnya. Pelukan hangat ibu seketika menghujamku, surat dari Bu Sinta pun spontan remuk. Betapa bahagianya hatiku.
Namun, anehnya tidak sepatah kata pun keluar dari mulut ibu.

***

            Mataku terbuka, rasanya kepala ini sakit sekali. Badan terasa remuk sehingga sukar digerakkan. Aku harus bangun. Aku menggeliatkan badan seraya mengucek mata yang masih saja digelayuti kantuk. Tanganku meraba-raba permukaan kasur, mencari ponsel, hah, jam empat! Aku terlambat dua jam. Seharusnya aku bangun pukul dua malam. Tidak mungkin dengan waktu yang singkat aku dapat belajar ujian beasiswa, belajar Ujian Nasional, sholat Qiyamul Lail delapan rakaat,murajaah Quran, dan masak keperluan dapur. Ya Allah, engkau lalaikan aku atas kelalaianku mengatur waktu.
            Hei, aku sudah kelas tiga SMA. Di siang hari tidak ada waktu lagi. Aku harus sekolah sampai siang, lalu bekerja di Mall dekat sekolah untuk menjadi MC, malam harinya aku harus siaran radio sampai pukul sembilan malam. Tapi tak apalah, aku harus tetap semangat.
            Berbeda ketika aku duduk di bangku SMP, di mana aku hanya menjadi sosok pecundang yang bahkan tidak pernah sekalipun masuk sepuluh besar. Cobaan hidup mengubah semua. Seakan berbalik 180 derajat, di bangku SMA saat ini, aku sempat menjuarai berbagai lomba seperti lomba debat bahasa Inggris, lomba karya tulis ilmiah, Olimpiade Fisika tingkat provinsi, dan lain-lain. Akulah satu-satunya siswa non organisatoris yang menjadi penyumbang piala terbanyak di sekolahku. Ya, hal melelahkan ini kulakukan agar aku dapat menceklis mimpi-mimpi yang kutorehkan di lembaran buku harian. Tidak, bukan itu, agar aku dapat membiayai kehidupan kami berdua. Bahkan bukan hanya itu, agar aku dapat menggoreskan senyum di bibir ayah dan ibu. Pikiranku menggelayut ke mana-mana.
            Setelah murajaah Quran, kubuka kembali buku harian bersampul pink kesayanganku. Aku tersenyum simpul ketika mataku tidak berhenti menatap curahan hatiku saat pertama kali menginjak bangku SMA. Tulisan berisi tangisanku atas kepergian ayah dan berkembangbiaknya kanker di tubuh ibu dan perihnya kerja kerasku membiayai pengobatan ibu. Betapa aku mengubah diri dari menjadi gadis yang sangat biasa menjadi luar biasa. Dengan lembut aku pun membalik halaman buku menuju halaman yang berisikan daftar mimpiku. Tinggal satu mimpi lagi….

***

Selepas sholat Qiyamul Lail, pikiranku sekelebat menuju tiga tahun yang lalu. Saat-saat di mana aku kehilangan semuanya. Seketika aku tersadar, jangan sampai bias lamunan ini mengganggu. Ketika pagi menjelang, segera kulangkahkan kaki menuju papan pengumuman penerima beasiswa Institut Tekhnologi Negeri.
“Stop, Pak.” perintahku pada tukang bajaj ketika sampai di kantor pemda.
“Ini, Pak. Makasih.” Selembar lima ribu kuberikan pada tukang bajaj tersebut. Sesaat turun dari bajaj, aku menarik napas panjang-panjang. Bismillah.
Aku menatap pintu gerbang hijau yang berdiri tegak di depanku. Kutarik napas panjang kembali. Harus yakin, ucapku pada diri sendiri.
“Hei, kamu. Mau liat pengumuman juga ya?” Suara ramah itu bersumber dari seorang perempuan berkacamata yang berjalan mendekatiku.
“Iya.” jawabku juga ramah.
“Kita liat bareng ya. Aku Nisa.” dia menyodorkan tangannya. Tanganku pun menyambut.
“Asya.” jawabku.
Akhirnya kami pun sampai di depan papan tulis berwarna putih yang penuh dengan kertas HVS berisikan daftar nama yang menerima beasiswa. Nomor 423, mana ya nomor 423. Mataku tidak lepas dari daftar nama di depanku.
Tidak kuduga. Ternyata namaku ada di urutan ke dua puluh. Horee!! Tapi, ah, tapi apa itu?

Penerima beasiswa harus membayar sejumlah uang untuk mencairkan dana beasiswa selama perkuliahan. Besarnya dana tidak sama pada setiap jurusan.

Jantungku berdegup kencang. Nafasku sesak tersengal. Badanku gemetaran. Dengan setengah berlari aku menuju kantor yang tempat daftar dana yang harus dibayar. Astagfirullah. Tidak mungkin! Kakiku lemas. Aku ingin pingsan. Aku bolak-balik daftar itu.

Jurusan Teknik Geologi = Rp 20.000.000

Bukk!!! Aku pingsan.

***
Nothing imposibble. Sugesti itu menjalar ke setiap cabang saraf di otakku. Nothing imposibble. Ketika ayah pergi dan meninggalkan kami berdua. Memang tidak ada yang tidak mungkin. Toh siapa yang menyangka ketika saat itu ibu menasihatiku, ternyata ayah menguping di depan pintu kamar. Mendengar semua percakapan kami, semuanya. Bahkan kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak ingin bertemu dengan ayah lagi. Siapa yang menyangka setelah mendengar semuanya, beliau langsung merobek formulir pendaftaran SMA swasta favorit dan pergi membeli formulir di SMA Negeri impianku.
 Memang tidak ada yang menyangka. Aku tidak bertemu dengan ayah sejak saat itu. Ibu yang hanya lulusan SMA tidak terlalu paham dengan bisnis ayah. Yang ibu tahu jalan untuk menghidupiku yaitu menjual harta berharga kami, termasuk omset-omset ayah. Ketidakpahaman ibu dimanfaatkan oleh relasi bisnis ayah dan menipu kami. Membayar harta benda kami dengan harga murah. Nothing Impossible.
 Masih pada bulan yang sama, ibu didiagnosa mengidap kanker getah bening. Badanku seketika luluh lantah, dadaku sangat sesak. Bagaimana bisa kedua orang yang kusayang mengalami kejadian yang paling menyedihkan. Belum kering air mataku menangisi kepergian ayah tersayang, mengapa ibuku juga ingin Kau ambil?
 Dengan sekali sambar, tas ransel kusam di atas tempat tidur aku cangklongkan ke atas pundakku. Semoga perjuanganku selama ini tidak berhenti hanya karena kerikil kecil yang menghadang. Tidak ada yang tidak mungkin. Pasti kerja kerasku akan terbayar. Tidak sekarang, mungkin nanti.

Ciputat, 21 September 2011


Kamis, 28 Juli 2011

Stop Eksploitasi dan Kekerasan PADA ANAK!!!

telah dimuat di Suara Jakarta

28072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

“Terik panas matahari memancarkan radiasi surya mencekamnya. Seorang anak kurus penuh peluh berbaju lusuh mengayun-ayunkan kecrekan tutup botol di samping mobil mewah keluaran eropa. Suara sumbang dengan enggan keluar seadanya. Lama dia bernyanyi diiringi kecrekan tua, tapi jendela hitam itu bergeming tegak, tidak ada tanda-tanda sebuah tangan putih bersih keluar memberikan receh.”

Sejenak itu lah pemandangan yang sehari-hari tampak di jalan ibukota. Walau sebenarnya tidak hanya di ibu kota, anak-anak yang berprofesi sebagai pengemis dan pengamen pun telah merambah ke daerah-daerah pelosok.

Senyatanya, mayoritas dari mereka adalah anak-anak di bawah umur yang sejatinya berada dalam hangatnya dekapan orangtua. Tidak jarang terlihat anak berusia kisaran tiga sampai empat tahun menjual suara seadanya sambil mengiba pada penghuni kendaraan umum. Ada pula bayi-bayi yang disewakan kepada para pengemis dan pengamen demi meraih belas kasihan.

Kondisi nyata anak Indonesia sangat unik dengan adanya perbedaan atau disparitas yang sangat tinggi, akibat kondisi tanah air kita yang begitu luas dengan suku bangsa dan budaya yang heterogen. Kondisi ini jelas berbeda dari negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. Juga dengan negara-negara di Eropa. Selain masalah perbedaan, anak-anak Indonesia juga terkena masalah ambivalen pengambil kebijakan atau orang-orang yang berpengaruh di masyarakat. Masalah eksploitasi terhadap anak dan juga masalah kekerasan terhadap anak sangat tinggi.

Drs Hadi Supeno MSi, Ketua KPAI, mengatakan bahwa eksploitasi anak-anak di Indonesia sangat tinggi dan sangat bervariasi. Hal tersebut ditunjukkan pada beragamnya jenis eksploitasi pada anak di Indonesia. Berikut adalah contoh kasus yang dapat kita komparasikan. Ada kah tampak persamaan antara tiga kasus ini? Orangtua yang membawa anaknya mengemis dan memulung, lalu orangtua yang mendorong anaknya untuk menjadi dai cilik di stasiun televisi, yang terakhir adalah orangtua yang membantu mewujudkan mimpi anaknya untuk menjadi penyanyi terkenal. Benang merah yang terkait dari ketiga kasus tersebut adalah masalah ekonomi.

Ekonomi adalah faktor yang merajai menjamurnya eksploitasi anak di dunia. Contohnya adalah perdagangan anak. Merunut pada fakta yang ada, berdasarkan data Advance Humanity, Unicef, sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Agak mencengangkan memang, apalagi berdasarkan data tersebut, kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan untuk eksploitasi seks. Ada sekitar 2 juta anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya.

Di Indonesia sekali pun, banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) memberikan ancaman hukuman lima tahun penjara bagi siapa saja yang mempekerjakan/ mengeksploitasi anak dibawah umur, namun payung perlindungan hukum tersebut seakan hanya menjadi untaian pelengkap undang-undang saja.

Selain eksploitasi yang berujung pada faktor ekonomi, anak pun tidak terhindar kekerasan berupa pelampiasan buruk lingkungan sekellilingnya. Seperti kekerasan fisik atau psikis dilakukan ayah atau ibu di rumah, atau bahkan kekerasan dari teman-teman sebayanya yang berujung kematian.

Padahal jaminan agar anak-anak terlindungi dari tindak kekerasan telah ada pada konstitusi. Pasal 28 B UUD 45 mengamanatkan, anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Namun sayangnya, delapan tahun sudah aturan ini dibuat, nyatanya masih banyak kekerasan yang terjadi pada anak-anak. Kekerasan mental dan fisik bagi anak sangat berpengaruh dalam pola berpikir dan ketahanan mental anak.

Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada pula yang tidak mempunyai kepibadian, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain, dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Begitu besar dampak kekerasan pada anak.

Oleh karena itu, dibentuk lah suatu lembaga perlindungan anak atau KPAI yang dalam Pasal 74 UU tersebut bertugas meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, menyosialisasikan seluruh aturan per-undang-undangan terkait perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan. Meski nyatanya, perlindungan anak dan pemenuhan hak-haknya di negeri ini, masih belum sistemik, masih parsial dan segmentaris.

Sejatinya, masalah eksploitasi anak sebenarnya bukan lah merupakan masalah internal dalam keluarga yang tidak dapat diikutcampuri oleh masyarakat dan pemerintah. Semua komponen negara yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan LSM juga harus turut berperan serta dalam menyelesaikan masalahan eksploitasi anak. Upaya penanganan masalah harus secara profesional, terorganisir, dan berkesinambungan. Penanganan yang dilakukan harus menggunakan metode yang tepat, misalnya dengan cara persuasif, manusiawi, dan memahami berbagai karakteristik.

Ini adalah masalah kita bersama. Meski dalam pencapaiannya harus terdapat kesadaran sejak dini mengenai bahaya eksploitasi dan kekerasan pada anak. Hal ini harus disadari oleh para orang tua dan calon orang tua dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk tumbuh kembang demi mencapai masa depan cemerlang.  Upaya ini penting, hal ini dikarenakan anak adalah calon penerus bangsa yang harus dijaga mental dan akhlaknya.

Sebuah hadist:

“Bukanlah dari golongan kami yang tidak menyayangi yang lebih muda dan ( bukan dari golongan kami ) orang yang tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At Tirmidzi)

Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, ” Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu).” (HR. Aththusi).

Jumat, 22 Juli 2011

Sebuah Esai: Tentang Guru dan Penghargaannya

-->
-->
 
-->Gambar diambil dari http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3376278673652412781
Ciputat,
22072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

*Berawal dari kegelisahan para guru (termasuk ibu saya), saya (calon guru), dan para praktisi pendidikan lain.

Putu Wijaya: Cerpen Guru
Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh…. (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
                Kutipan cerpen Guru karya Putu Wijaya mengingatkan saya pada segelintir kalimat yang dilontarkan seorang pembicara pada sebuah seminar keguruan, ''Kalau Anda ingin jadi orang kaya, maka jangan pilih menjadi guru,''. Kalimat yang cukup menghentakkan batin saya. Ironi memang. Keironian ini terakumulatif pada realitas diskursif  yang terpatri dalam paradigma berbagai kalangan. Lagi-lagi mengacu pada kondisi mayoritas guru yang duduk di bawah lini ketidakmapanan.
                Realita yang terpatri mengenai kondisi guru di tanah air disebabkan masih banyaknya perlakuan diskriminatif. Aspek imbalan jasa, baik materi maupun non materi, pun jauh dari kepuasan dan keadilan. Mayoritas honor guru PNS luar Jakarta, apalagi guru honor. Bahkan segelintir dari mereka (guru honor) hanya mendapatkan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Mengenaskan memang. Belum lagi tempat mengajar yang (lagi) jauh di bawah standar kemanusiaan: kelas bocor, lantai pecah, ruang kelas roboh, kekurangan alat bantu, halaman sempit dan kotor.
Merujuk kembali pada karya sastra Putu Wijaya, cerpen Guru. Tokoh utama dalam cerpen Guru adalah Aku. Tokoh Aku yakni seorang ayah dengan obsesi besar terhadap putra semata wayangnya, Taksu. Taksu digambarkan berupa sosok idealis, meski di awal cerita, penggambaran karakternya belum terdapat eksplorasi. Karya sastra dengan konfigurasi dialog ini agaknya berhasil membawa pembacanya terhenyak. Betapa tidak, dengan kondisi carut-marutnya sistem kenegaraan kok masih ada yang bermimpi jadi guru (merunut mayoritas pembaca). Padahal sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian tersebut dewasa ini jatuh pada satu kata populis: materi.   
                Materi acapkali merupakan tujuan utama tiap individu ketika duduk di bangku pembelajaran. Alhasil yang dihasilkan dari metode pembelajaran hanyalah produk, bukan proses. Dalam bukunya, Toward a Theory of Instruction, Jerome Bruner (1966) menjelaskan bahwa, “We teach a subject not to produce little living libraries on that subject, but rather to get student to think mathematically for himself, to consider matters as an historian does, to take part in the process of knowledge-getting. Knowing is a process not a product.”[1]
                Pembauran pembelajaran sebagai ‘produk’ versus ‘proses’ inilah yang menjadikan kesalahan paradigma peserta didik dalam menentukan tujuan belajar, ‘Untuk apa saya belajar?’ Agaknya kesalahan paradigma ini menjadi elemen pembenahan terpenting pada pelbagai kelindan persoalan. Dengan mengacu pada proses, bukan produk, diharapkan meminimalisasikan materi sebagai sesuatu yang sentralistik dalam proses pencapaian tujuan. Ketika paradigma matrialistik terminimalisasi, maka diharapkan lahirnya pencitraan seimbang bagi guru dengan profesi lain.
                Acuan paradigma mengenai materi ini lah yang menjadi bumbu utama penyebab konflik Aku dan Taksu. Klimaks kisah ini ialah menghilangnya Taksu dalam kurun waktu sepuluh tahun. Lalu tiba-tiba kembali dengan mendapatkan hadiah gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. Tidak hanya itu, Taksu juga berprofesi sebagai pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
                Yang saya pertanyakan adalah bagaimana bila Taksu yang selama sepuluh tahun tidak pulang, tiba-tiba datang membawa gelar pendidikan dengan profesi (hanya) sebagai guru sekolah? Tanpa embel-embel doktor honoris causa atau pengusaha besar. Akankah ending cerita seindah imajinasi Putu Wijaya? Lagi-lagi pengkultusan terhadap materi yang diusung.
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya baca pada sebuah website milik seorang guru MAN 3 Batusangkar alumni Fakultas Pendidikan Monash University, Australia. Suatu ketika beliau memperkenalkan istrinya yang seorang dokter, seorang temannya kontan berkomentar, “Oh .. you are lucky, Anto. You are only a teacher, and you get a doctor as your wife”. Dengan kernyitan di dahi, beliau menjawab, “So, what. Apa seorang guru tak pantas berjodoh dengan seorang dokter?'”[2] Hmm, lagi-lagi menjadi korban pencitraan rendahan bagi mayoritas kalangan. Hasil dari pencitraan yang dinilai dari pencapaian materi.
                Dengan emosi yang meluap-luap para guru pasti berkata, “Mendingan nyalahin pemerintah aja yang menjadikan guru sebagai profesi rendahan, gaji tidak manusiawi, janji sertifikasi tapi hanya segelintir yang menikmati. Rasanya berprofesi sampai mati, tidak dihargai.”  (saduran representatif mayoritas guru di nusantara).

Birokratisasi Profesi Guru
Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru senyatanya menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan ini sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Disorientasi jabatan tersebut pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah atasan. Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan atasan yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini. Hmm, mengenaskan memang.
Padahal UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.
Lalu pada pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain.
Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbekal dari semboyan ‘pahlawan tanpa tanda jasa ’ yang diusung pemerintah, agaknya bertolak belakang dengan pelbagai fakta yang menyeruak di permukaan. Menurut sebagian kalangan, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan.[3]
Kata ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, agaknya menarik bila dikaji secara mendalam. Yakni pahlawan yang berkontribusi dalam melakukan ekspansi ilmu terhadap peserta didik tanpa embel-embel pamrih di belakangnya. Sejatinya, wajar-wajar saja kalau gaji guru amatlah minim, wong tanpa tanda jasa. Lagi-lagi akibat birokratisasi profesi guru yang menempatkan posisi sebagai bawahan menjadikan guru sebagai objek diskriminatif. Disorientasi jabatan ini lah pemicu ketakutan guru dalam mengusung hak-haknya.
Mungkin menarik apabila saya komparasikan honor guru nusantara dengan Jepang. Ya, mungkin kita tidak dapat menyejajarkan kondisi negara yang sejatinya memiliki kesenjangan cukup jauh. Namun sudah jamak diketahui, ketika Jepang mendapat hadiah Bom Hiroshima dan Nagasaki, pemerintah Jepang hanya mempertanyakan berapa guru yang masih tersisa. Sadar atau tidak, kemajuan suatu negara adalah refleksi dari kualitas pendidikan.

Grade
Teachers
Yen (a month)
Head-Teachers
Yen (a month)
Principal
Yen(a month)
2
156,500
292,500
422,400
4
184,200
320,900
439,800
6
202,500
348,600
456,200
8
217,900
369,500
471,500
10
237,600
389,000
485,600
12
262,000
406,100
500,100
14
288,200
422,200
512,100
16
315,700
437,300
18
342,700
451,000
20
362,900
463,800
22
381,400
474,100
24
397,600
482,200
26
411,200
488,400
28
422,400
30
432,300
32
441,300
34
449,700
36
455,900
Berdasarkan tabel tersebut, selain medapatkan gaji bulanan, para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus dua kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4.65% gaji bulanan.  Gaji guru di sekolah negeri dibayar oleh pemerintahan di tingkat prefecture (provinsi) sebesar 50% dan pemerintah pusat 50%. Prosentasi ini bisa berubah jika kondisi provinsi tidak begitu kaya.  
“Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!” (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
Merunut pada fakta-fakta yang telah diungkap tadi mengenai pendiskriminasian profesi guru, agaknya pengusungan hak-hak guru harus disertai gerakan debirokratisasi profesi guru.  Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya, dan mendapatkan penghargaan setara dengan jerih payahnya. Sehingga hal itu dapat meredam proses diskriminatif yang dialami mayoritas guru Indonesia.
Namun lagi-lagi proses yang tidak instan itu tidak mudah bersinergi dengan fakta lapangan. Bila ada anekdot, ‘orang miskin dilarang pintar’, maka anekdot lain akan berbunyi, ‘guru Indonesia dilarang kaya’.







[1] Ratna Wilis Dahar, 1996: 106
[2] enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/.../guru-indonesia-juga-berhak-kaya
[3] http://nadhirin.blogspot.com/2009/03/guruku-pahlawanku.html
[4] http://www.educationworld.net/salaries_jp.html



Share this article ^^