Pengunjung Lapak

Rabu, 29 Desember 2010

ISYARAT GINA


Aku duduk di depan teras berlantaikan semen dingin. Kursi tempat dudukku adalah beberapa bilah bambu yang diikat memanjang, ditopang dua ban besar bekas. Kedua ban besar itu dulu diberikan mang Usep, tetanggaku, katanya ban itu bekas ban truknya yang sudah gundul. Aku mengangguk riang saat mang Usep meletakkan ban itu di teras rumahku. Ibu berpikir keras untuk menjadikan ban itu berguna, setelah bergelut dengan pemikiran panjang, akhirnya ibu mencari beberapa bilah bambu, lalu diletakkanya di atas ban. Jadilah sebuah kursi panjang cantik.

          Sudah satu jam aku duduk di depan teras sambil membaca buku Ilmu Pengetahuan Alam kelas 3 SD, tapi ibu tak kunjung pulang. Isi buku yang diberikan ibu sebulan yang lalu itu sudah sangat melekat di kepalaku. Aku bahkan hapal di mana letak bahasan dan halamannya. Tiap bulan ibu selalu memberikan buku dengan mata pelajaran yang berbeda. Bila bulan lalu ibu memberikan buku Matematika kelas 3 SD, bulan ini IPA, maka bulan depan ibu menjanjikan buku IPS untuk aku telaah isinya. Ah, aku sudah bosan dengan buku IPA ini, ibu bilang buku IPS akan beliau berikan minggu depan. Tapi aku sudah tidak sabar. Berbagai buku ibu juga sudah kulahap habis. Hanya buku-buku ini dan tentunya ibu sahabatku.

Biasanya pukul 4 tepat ibu sudah sampai di rumah dengan membawa tiga macam kue. Selalu tiga. Dan selalu pukis, putri ayu, dan combro. Sudah sembilan jam aku sendirian di rumah kontrakan ini, aku kesepian, aku ingin teman selain buku-buku dan ibu. Rumah kontrakkan ini sebenarnya tidak pantas disebut rumah, tapi kamar kontrakkan. Di dalamnya hanya ada satu kamar, yaitu kamar mandi, satu tempat tidur busa tanpa ranjang, setrika, lemari plastik, beberapa peralatan dapur, dan tentunya buku-buku koleksiku dan ibu. Buku-buku yang sedikit sekali jumlahnya itu dengan berat hati kusebut koleksi. Karena biasanya yang dinamakan koleksi bila jumlahnya sudah banyak.

Ibu berangkat mengajar pukul 7 pagi dan pulang pukul 4 sore. Dengan rentang waktu yang tidak sebentar itu biasanya kuhabiskan dengan bermain masak-masakkan dengan menggunakan dedaunan, tanah, dan pasir. Lalu terkadang aku mengintip anak-anak yang tengah bermain di samping kontrakkan, mencoba sendirian beberapa permainan mereka. Seperti lompat tali, aku melompat-lompat di atas jalinan karet yang kuikatkan di pagar depan kontrakkan. Bila aku sudah mencoba bermain tali di dekat pagar, biasanya anak-anak itu menontonku, tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Biarlah, mungkin aku bisa menjadi tontonan yang menghibur bagi mereka. Tontonan pelepas penat yang disebabkan oleh desakan PR mereka yang menumpuk.

Bila aku lelah dengan permainan-permainan itu, lagi-lagi aku  mengambil buku-buku pemberian ibu. Membaca dengan penuh khidmat, melanglang menuju fantasi jauh di sana. Buku-buku fiksi dan non fiksi itu memapahku menuju alam di luar sana yang bernama dunia. Bila aku bosan dengan buku-bukuku, terkadang aku mencoba membaca buku ibu, bahasanya sedikit sulit, kata ibu itu sastra. Sastra akan dikatakan menyenangkan apabila aku telah memahami apa makna di balik ikatan kata yang dapat terurai.

Belaian ibu membuyarkan lamunanku.

“Ibfu udja phullag”. Ibu memelukku dengan erat, apakah Ibu tak tahu kalau aku dirundung cemas karena ibu terlambat pulang? Aku menariknya ke dalam rumah, kutatap ibu dengan kesal, berharap ibu menjelaskan keterlambatannya.

“Gina tahu? Buku ibu diterima penerbit! Jadi ibu bisa beli ini untuk Gina.”, ibu menyodorkan bungkus plastik berbentuk segi empat kepadaku. Aku mengambil bungkusan itu sambil bertanya-tanya, sepertinya oleh-oleh ibu kali ini bukan kue. Meskipun begitu, aku tetap menatapnya dengan kesal. Setelah menangkap keganjilan tatapanku, ibu lalu menatapku dalam dan tersenyum.

“Maaf sudah bikin Gina cemas, tadi sehabis mengajar, ibu ke penerbit untuk teken kontrak. Aduh Gina, buku ibu diterima! Masa kamu nggak senang Nak?”, ibu mengelap air mataku yang sudah menetes dengan jari telunjuknya yang halus. Aku menggenggam tangannya.

“Ini impian ibu selama bertahun-tahun. Ibu sudah tidak tahan hanya menjadi guru bantu di SD tempat ibu mengajar. Minim gaji, minim penghargaan, minim perlakuan, tapi dituntut maksimal mengajar.”

“Makanya, kali ini ibu bisa membuktikan, meskipun hanya menggunakan pulpen dan kertas, karya ibu bisa diakui.”

“Ayo dong, kasih selamat ke ibu.”, ibu memelukku lagi.

“Jellamatj ibfukku ssayyagg.”, kali ini senyumku sangat lebar.

“Coba dong sayang, plastiknya dibuka.”

“Pfassti isjinja bfukku, yaa kkhany bbfu?”, aku mencoba menerka sambil meraba-raba permukaan bungkusan plastik itu.

“Tcummbenn bfukhann kkhue, hhe hhe.”, aku meledek ibu, biasanya tiap hari oleh-oleh berupa tiga buah kue menjejali perutku yang tipis ini.

“Bfuku tcetcralloghi, hhorje hhorje!!”. Tak dapat kubayangkan, buku tetralogi yang kuimpikan itu sekarang ada di genggamanku. Milikku. Asyiikk. Biasanya aku melihat buku itu di rak penjual kaki lima yang mangkal di jalan Blok M saat jalan-jalan bersama ibu. Berminggu-minggu berharap memilikinya.

****

Hari ini sama seperti sebelumnya, menunggu di teras kontrakkan sendirian di atas beberapa bilah bambu yang diikat di atas dua buah roda bekas besar. Namun yang berbeda, kali ini aku duduk bersama keempat buku baruku. Buku kesayanganku. Sebuah tetralogi karangan seorang pengarang terkenal. Aku tahu itu dari ibu.

Aku menatap jalan tanah di depanku, terbersit keinginan untuk berjalan mengitari kampung. Pernah sekali aku memberanikan diri keluar rumah karena dirundung rasa penasaran akan suara di telingaku. Kepalaku berputar-putar mengikuti suara itu. Aku berjalan menapaki jalan tanah kampung. Jantungku berpacu dengan cepat, takut akan hal baru ini. Langkah kakiku sampai di samping rumah berdinding anyaman bambu, aku mengintip ke dalam di sela-sela dinding yang robek.

Seorang anak perempuan memakai mukena sedang membaca sebuah buku, tapi aku tidak tahu buku apa itu. Mengapa suaranya dapat kudengar? Aku mencoba melihat lebih dalam lagi, sepertinya bukan huruf-huruf yang kukenal. Huruf itu tidak sekalipun pernah kulihat, ada yang setengah lingkaran lalu ada titiknya, ada juga yang seperti angka dua. Sepertinya di membaca dari kanan ke kiri, aneh sekali. Aku tidak pernah melihat buku yang seperti itu. Suara gadis itu makin lama semakin besar.

Tepukan lembut menyentuh bahuku.

“Hai, namamu siapa? Kamu kan yang kemarin mengintipku?”

Kepalaku menoleh ke kiri.

Aku mengangguk sambil menatapnya bingung. Kulihat matanya berbinar, bibirnya tersungging lebar. Sampai dapat kulihat gigi seri depannya kuning. Gadis itu meletakkan tangannya di dadanya.

“Namaku Nisa, nama kamu siapa?”

Aku terdiam, masih menatapnya bingung. Dengan tiba-tiba aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil buku tulis dan pulpen. Hanya berselang tidak sampai tiga puluh detik, aku sudah sampai di teras, duduk di sampingnya, di atas kursi bilah bambu. Aku menulis namaku di atas buku tulis. Kutulis serapi mungkin.

Namaku Gina Mulawarman. Tapi kamu panggil aku Gina aja.

“Nama yang bagus, Gina.” Dia kembali tersenyum.

“Apa kamu tahu Al-Quran?”

Aku menggeleng.

“Apakah kamu sholat lima waktu?”

Aku mengangguk.

“Lalu apa yang kamu baca saat sholat?”

Sejenak aku berpikir, lalu aku menuliskan bacaan sholatku dengan lengkap di atas buku tulis. Setelah selesai, aku memberikannya pada Nisa. Nisa mengangguk-angguk saat melihat tulisanku.

Tulisanku jelek ya?

“Tidak, sama sekali tidak. Hanya aku kagum padamu. Kamu hebat.”

Hebat? Anak ini sangat tidak rasional. Hebat dalam kancah apakah aku ini? Seorang anak berumur sembilan tahun menderita tuna rungu pantas disebut hebat? Bahkan ibuku hanya menggunakan ‘bagus’ dalam setiap ucapannya. Kata ‘hebat’ tidak ada dalam kamusku.

“Kamu tahu apa yang aku baca kemarin?”

Aku menggeleng.

“Tahukah kamu? Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Kita Islam kan? Kamu Islam, aku pun Islam. Almarhum ibuku sering mengatakan itu. Tapi aku sekarang tidak dapat mendengar suara ataupun melihatnya lagi. Allah memanggilnya dua tahun yang lalu.”

“Tahukah kamu? Hanya diawali dengan pilek yang tak kunjung sembuh, lalu panas tinggi dan akhirnya kejang-kejang. Dokter? Dokter apa? Saat itu ayah masih menganggur, dan kakak sedang mempersiapkan diri untuk ikut UN. Jadi keuangan kami saat itu sangat minim. Mana ada uang untuk membawa ibu ke dokter. Jadi sekarang aku hanya tinggal dengan ayah dan kakakku.”

“Ayahku seorang supir truk. Ayah berangkat pagi dan pulang malam hari. Aku punya seorang kakak laki-laki. Kakakku seorang mahasiswa, dia kuliah dengan biaya sendiri. Katanya dia kuliah jurusan apa ya.... Hemm, lupa. Oiya, jurusan teknik mesin. Katanya bila lulus dia akan bekerja di perusahaan pembuatan mobil. Ayah senang sekali karena kakak tidak akan menyetir truk, tapi akan membuat mesinnya. Dia kuliah di daerah jawa sana. Aku lupa nama tempatnya. Bla bla bla.” Dia berceloteh panjang, namun aku agak susah menangkap isi pembicaraannya, mungkin karena dia berbicara terlalu cepat.

Bisakah kamu berbicara lebih pelan? Maaf, aku kurang mengerti, hehe.

“Oh maaf.”

Kami mengobrol panjang, tidak lupa aku pun menceritakan kisah kehidupanku, apa yang kulakukan, sampai mengapa aku tak kunjung disekolahkan oleh ibu.

“Mengapa kamu tidak minta sekolah pada ibumu?”

Sudah berkali-kali, tapi dengan berbagai alasan ibu tetap saja mempertahankan agar aku tetap di rumah. Untuk mengisi kekosonganku di rumah, ibu yang mengajariku membaca, berhitung, dan menulis. Aku juga diajari ibu sholat, tapi tidak untuk membaca Al-Quran. Mungkin belum. Aku saja baru tahu kalau ada buku bernama Al-Quran. Ibu lebih mengenalkanku pada ilmu pengetahuan dan sastra.

“Sastra ya. Barusan aku membaca karya-karyamu, kamu memang hebat Gin, aku yang sudah tiga belas tahun saja struktur kalimatnya belum sebagus kamu.” Nisa menepuk pundakku sambil tersenyum. Dia terkagum - kagum melihat koleksi cerpen dan puisiku.

Aku sedih, ternyata perpisahan harus tiba, Nisa harus pulang, banyak PR katanya.

“Senang berkenalan denganmu. Oiya, jangan lupa ajari aku menulis puisi ya....”

Oke, kamu juga ajari aku membaca Al-Quran. Oh iya, dan ajari naik sepeda juga.

Ini kali pertama aku berbicara panjang dengan seseorang selain ibu. Gadis kelas dua SMP yang sangat riang. Namun masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, untuk apa dia mengenakan jilbab?

Bukankah jilbab digunakan saat lebaran saja. Ibu saja tidak pakai jilbab. Rambutnya diurai sepanjang bahu. Kadang aku membantu ibu menyisir rambutnya yang harum. Ibu pun sering mengepang dua rambutku yang hitam dan tebal. Hari ini aku tidak mengepang rambutku. Rambut panjangku kubiarkan terurai dengan hiasan bando berwarna pink dengan pita di kanan atas.

Jilbab. Al-Quran. Sekolah.

Aku tidak pernah mendengar suatu apapun selama aku hidup. Bahkan suara ibu saja tak pernah ku dengar. Terisolasi di lingkungan kampung tempat aku tinggal tidak membuatku patah semangat dalam hidup. Ketika anak-anak tetangga mengolok-olokku (aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tentu saja karena aku tidak melihat gerakan bibir mereka dan tidak ingin tahu), aku hanya tersenyum sambil melanjutkan membaca buku-buku kesayanganku.

Meskipun terkadang hatiku terasa sakit. Tapi mungkin Tuhan berkehendak lain. Aku mulai berpikir, aku ingin pakai jilbab seperti Nisa, aku ingin dapat membaca Al-Quran seperti Nisa, aku ingin sekolah seperti Nisa.

“Ibfu ttak ppakhaii jjibab?”

“Apa nak?” rupanya ibu sedang berkonsentrasi berkutat di depan komputer barunya.

Aku mengulangi kata-kataku.

“Belum sayang, ibu belum siap.”

“Gginna mauu ssekhollaa.”

“Kita sudah pernah membicarakan ini. Sudah ya sayang, pekerjaan ibu sedang banyak.”

Lama-lama Gina merasa terisolasi di rumah ini! Apa Ibu malu bila orang lain tahu kondisi Gina? Gina ingin berbaur dengan orang lain, Bu. Gina ingin sekolah!

“Tidak Gina sayang, ibu tidak ingin Kamu menjadi bahan olok orang lain. Sakit rasanya hati ibu melihat Kamu dipergunjingkan oleh warga kampung. Selama ini ibu hanya bisa diam dan menyimpanmu di rumah. Gina, ilmu tidak hanya didapatkan di luar, di dalam rumah pun kamu bisa mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan yang bahkan tidak didapatkan orang lain.”

Tapi bagaimana Gina bisa punya teman, bagaimana Gina bisa berbaur? Pokoknya Gina mau sekolah, titik!

“Apakah Kamu pikir orang yang akan Kamu jadikan teman akan menjadi teman yang baik? Tidak ada teman di dunia ini! Semuanya hanya mengambil keuntungan darimu, lalu ketika habis, mereka pergi.”

“Saat ayahmu meninggal, mereka pergi meninggalkan ibu. Semuanya! Seakan tidak pernah mengenal ibu saat kita terpuruk. Bahkan keluarga kita menoleh pun tidak. Mereka hanya bangga pada kekayaan dan jabatan ayahmu dulu.”

Tidak ibu, tidak semua teman berhati picik, aku akan menemukan teman sejati yang setia menemaniku saat ku senang maupun susah. Teman yang akan mengajari membaca Al-Quran, teman yang akan membimbingku memakai jilbab, teman yang akan membantuku naik sepeda.

                                                                           Amel 
    Ciputat   
29 Desember 2010

Jumat, 24 Desember 2010

Sinkronisasi Kemiskinan dan Kebodohan


Oleh : Amel ^^
 Siswa didrop out dari sekolah hanya karena tidak bisa membayar SPP. Bahkan yang lebih miris, seorang anak kelas dua SD bunuh diri hanya karena tidak bisa membeli buku gambar. Dan masih banyak lagi kisah-kisah menyayat hati apabila ditelisik lebih lanjut. Sebenarnya, ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Apakah sedemikian parahnya?
Pendidikan dan ekonomi memang bagaikan benang yang terkait satu sama lain. Bila dikatakan bahwa kemiskinan lah penyebab kebodohan bahkan secara sistematis, hal tersebut patut dibenarkan, meskipun tidak selalu. Namun sinkronisasi ini akan selalu terkait. Bila dikatakan kemiskinan adalah sebab, maka kebodohan adalah akibat. Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan dapat menyebabkan kebodohan dan kebodohan identik dengan kemiskinan.
Sebagai contoh, terdapat sebuah keluarga miskin yang lahir dari ketidak pahaman akan pendidikan. Lingkungan tempat tinggalnya pun tidak memprioritaskan urgensi pendidikan. Tidak ada dukungan secara konkrit dari para orang tua, baik secara materi maupun secara abstrak. Meskipun ada, dukungan tersebut hanya sekedar sunnah yang kadang dilakukan, kadang pun tidak. Alhasil, para orang tua miskin yang tidak memahami urgensi pendidikan, akan memprioritaskan anaknya untuk bekerja saja. Sehingga kemisinan tersebut akan berulang dan berulang, menjadi virus turun menurun. Meskipun begitu, ada pula anak-anak yang memiliki semangat belajar meskipun tidak ada sokongan materi dari orang tuanya, namun lagi-lagi para siswa berprestasi tersebut akan terhalangi oleh mekanisme sistem pendidikan yang digerakkan oleh uang.
Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan  dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98). Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Menurut data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Sungguh ironi, lebih dari setengah rakyat Indonesia yang melimpah akan sumber daya alamnya memiliki predikat miskin.
Terdapat tiga rantai pengait yang menjadi kunci, yaitu;
1.     Kepedulian pemerintah. Penanggulangan kemiskinan dan perbaikan pendidikan selalu dijadikan jargon partai politik demi menarik simpati rakyat. Namun dapat dilihat dengan panca indra kita, tidak ada satupun agenda-agenda tersebut terealisasi. Di Jepang, saat terjadi pengeboman di Hirosima dan Nagasaki, sistem kepemerintahan Jepang luluh lantah. Lalu pemerintah Jepang mengambil inisiatif untuk memajukan pendidikan terlebih dahulu. Tidak ada urusan politik maupun kekuasaan. Tak lama berselang, Jepang berdiri sebagai negara kokoh dan maju. Kemajuan pendidikan dapat terealisasi apabila pemerintah menjadikan pendidikan sebagai agenda utama dalam memperbaiki struktur kepemerintahan.
2.     Penjajahan terselubung. Pada era ini, terdapat penjajahan terselubung oleh negara-negara maju terhadap dimensi kehidupan negara-negara berkembang. Hal tersebut terlaksana dengan memberikan pinjaman hutang. Alhasil dengan hutang yang semakin meningkat, terjadi privatisasi terhadap badan-badan atau lembaga milik negara yang dikuasai pihak-pihak asing. Bahkan lembaga pendidikan tidak luput pada penguasaan ini. Akibatnya pendidikan semakin mahal, sehingga tidak semua rakyat Indonesia dapat mengenyam bangku pendidikan. Bahkan iklim investasi modal menuntut pemerintah untuk melindungi pemodal dan menyediakan buruh murah. Akhirnya terbentuklah sebuah lingkaran  pendidikan yang hanya mampu menyediakan tenaga kuli dan buruh dengan pendapatan minim. Oleh karena itu, tidak salah apabila para orang tua miskin lebih menganjurkan anak-anaknya untuk menjadi buruh dibandingkan menikmati retorika kehidupan kampus.
3.     Yang terakhir adalah ketidakmampuan masyarakat dalam beradaptasi pada lingkungan sekarang. Kondisi krisis multidimensi menjadikan masyarakat memiliki harapan rendah dalam hidup. Sehingga menjadi rendahnya hasrat untuk memperbaiki kondisi pendidikan. Maka yang tampak adalah masyarakat yang lebih mementingkan perut dibandingkan pendidikan. Akibatnya adalah kebodohan semakin menjerat dimana masyarakat miskin akan mereproduksi masyarakat yang kembali miskin, alhasil kemiskinan dan kebodohan menjadikan masyarakat sebagai inang yang sulit lepas.

Minggu, 12 Desember 2010

Gubuk Samping Sungai



Seorang mahasiswi berbaju lusuh berjalan teratih-atih menyusuri halte bis di ujung sana. Mukanya yang gosong dan berminyak karena belaian sinar matahari menunjukkan air muka gusar. Langkahnya dipercepat sambil membetulkan posisi tas ranselnya yang berkali-kali turun dari pundaknya. Gantungan kunci bertuliskan Dema Salsabila beradu dengan gantungan kunci berlambang kampus. Komposisi peraduan itu seakan menimbulkan irama. Sekitar tiga puluh detik sekali dia menatap arloji di tangan kirinya. Jarum panjang dan pendek menunjukkan angka tiga. Detik demi detik waktu berjalan, membuat hatinya semakin menyesak. Berharap jarum panjang itu berhenti untuk sebentar saja.

“Semoga tidak telat”, harapnya dalam hati.

Semoga masih sempat.

Halte yang dipenuhi manusia yang sangat berjubel itu berbau sangat tidak enak. Bau got belakang halte, keringat manusia, bahkan kotoran hewan menyeruak di sekeliling halte tersebut. Walaupun campuran berbagai jenis bau agak mengganggu kenyamanan para pengunjung halte, paling tidak  sedikit sejuk karena banyak pohon besar menyelimuti halte yang berukuran sekitar lima kali dua meter itu. Manusia-manusia penikmat halte itu beraneka ragam, dari mulai karyawan kantor, SPG, mahasiswa, sampai pedagang asongan serta pengamen. Tidak lupa penipu dan pencopet ada di sana. Meskipun mereka abstrak, penipu dan pencopet tidak ingin kehilangan eksistensinya di sana. Mereka pun menjalankan aksinya dengan manis, berdoa semoga misi mereka lancar tanpa galat.

Akhirnya sampai juga.

Kira-kira bagaimana kondisi Toim saat ini? Sudah baikkan kah? Atau tambah parah? Lagi-lagi hati Dema merasa sesak bila memikirkan masalah itu.

“Semoga aku tidak terlambat” lagi-lagi batinnya berbicara.

Langkahnya semakin dipercepat, hatinya yang gusar membuat sesak dan gelisah. Setelah berjalan selama lima belas menit dari perhentian bis tadi, Dema pun sampai di tempat yang di tuju.  Dag dug dag dug.

“Apakah masih sempat?”

“Kakak! Kak Dema, kak Dema uda dateng,” teriak seorang anak perempuan berpenampilan dekil. Rambutnya yang kribo bergoyang ketika dia berteriak sambil meloncat-loncat. Dia langsung berlari menyambut kedatangan mahasiswi berjilbab itu.

Lalu ada seorang anak laki-laki yang sama dekilnya dengan anak perempuan itu, mungkin seusia dengan anak perempuan itu yang tidak kalah dekilnya, datang dengan terburu-buru menuju pertemuan si anak perempuan dengan si mahasiswi.

“Kakak dari mana aja? Kasian Toim, dia udah sekarat.”

Dema tidak menjawab. Gurat cemas tergambar pada wajahnya.

”Ayo kakak ikut kami, kita langsung ke rumah Toim, kondisinya parah Kak!”, kedua anak dekil itu dengan spontan langsung menyergap tangan Dema, menarik ke arah yang mereka maksud. Dema sudah tahu ke arah mana mereka akan berjalan. Ke rumah dengan pondasi kayu, dinding kardus, dan atap seng. Rumah itu tidak sendiri, masih banyak puluhan rumah serupa disekitar kawasan itu. Dengan sungai penuh sampah di belakangnya. Tempat warga tersebut melakukan semua aktifitasnya, mandi, mencuci, sampai buang air besar.

Mereka akhirnya sampai pada tempat yang dituju. Dema kenal dengan rumah itu, di rumah itu terdapat manusia-manusia terkasihnya.

Blakk, pintu di buka. Pintu itu langsung menghadap ruang serba guna. Menerima tamu, makan, tidur, sampai berpakaian dilakukan di ruangan itu. Nuansa cokelat memenuhi ruangan itu. Cokelat kardus. Seketika Dema melihat seorang anak laki-laki berumur sebelas tahun dengan kondisi mengenaskan, darah tidak henti-hentinya mengalir dari pembuluh darah kepalanya yang sudah diperban. Anak itu dengan khidmat berdzikir dengan suara tertatih pelan meskipun rasa sakit menghantam fisiknya. Dema ingin menangis, tapi tidak keluar air mata setetes pun. Anak lelaki itu tidak sendiri, di sampingnya terdapat wanita tua, dia duduk dengan, nafasnya terisak-isak. Masih terlihat sebersit guratan kecantikkannya saat muda. Wanita tua itu tidak sanggup mendongakkan wajah, menatap Dema.

“Adikku sayang.”, Dema membelai tangan Toim. Tangan itu lemah, seakan zat karbohidratnya sudah hilang, dicuri entah kemana.
“Ibu, Dema mohon, ceritakan yang sebenarnya.”, pinta Dema.

Wanita tua itu tetap tidak mau menatap Dema.

“Tadi Baron ke sini, Toim udah tiga hari belum ngasih setoran ke dia.”
“Tapi gimana mau ngasih, uangnya udah abis buat bayar spp Toim. Kalo nggak bayar, TOIM NGGAK BOLEH IKUT UJIAN!!”, wanita tua bernama bu Jenab itu meraung, air matanya meleleh, bajunya yang warnanya sudah pudar itu pun basah. Tangannya memukul-mukul lantai, pikirannya kacau, melihat anak kesayangannya sekarat.

Dema sedikit naik pitam, dia sudah berkali-kali mengatakan pada bu Jenab, jangan lagi menyuruh Toim mengamen. Biar semua biaya pendidikan Toim Dema yang menanggung. Wanita tua itu tidak mendengar dan tidak mau tahu. Tidak peduli. Toim harus mengamen. Sebagai anak, dia harus berbakti pada ibunya. Yaitu dengan mencari uang. Mau berapa pun umurnya, ya nyari uang. Dema yakin, bukan itu masalah sebenarnya. Banyak tetangga sekitar yang mengadu pada Dema, bahwa uang pemberiannya sering digunakan bu Jenab untuk mengadu untung di papan peruntungan.

Itu salah bu Jenab. Bukan salahnya. Buat apa dia merasa bersalah. Toh itu bukan urusannya. Dia sudah banyak memberikan kontribusi pada keluarga itu. Harusnya mereka sadar. Namun segala keegoannya terkalahkan oleh hati nuraninya. Dema tidak tega bila harus menyalahkan wanita tua itu. Air mata yang tertampung itu akhirnya luruh juga. Dema sayang pada keluarga itu.

“Baron tadi bilang, dia nggak mau tau, pokoknya Toim harus nyetor ke dia sekarang juga, katanya tadi. Ibu bingung nak! Ibu udah nyoba semuanya, tapi ibu tetep bingung!!”

“Karena Toim nggak bisa bayar, Baron ngamuk. Awalnya dia mau ngacak-ngacak rumah ini, tapi Toim langsung nyium kakinya, mohon-mohon biar rumah kerdus ini nggak di ancurin. Ternyata bukan rumah ini yang diancurin, tapi Toim, yang....”, bu Jenab tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tangisannya sangat memekakkan telinga.

Lagi-lagi terjadi. Dema sudah sering bilang pada ibu. Tapi ibu....
Bukan salah Dema....
Bukan salah Dema....

‘’Udah bu. Udah! Pokoknya sekarang kita bawa Toim ke rumah sakit Bu. Udin, cepat bereskan baju-baju Toim, biar kakak yang memapah dia.”
“Maemunah, kamu dan ibu ikut. Pegangin ibu!”
“Kita naik apa kak?”
“Kakak akan telpon taksi.”
“Tapi duitnya dari mana?”
“Kita nggak mau ngutang lagi sama kak Dema.”

Kata-kata itu menyentakkan Dema. Apakah karena hal itu, Dema tidak lagi dianggap sebagai keluarga? Dema sudah melakukan semuanya!!
Masa lalu itu menghapus segalanya. Tapi lagi-lagi bukan salah Dema!
Salah Bu Jenab.

 “Paling enggak ibu hubungin Dema, Insya Allah Dema pasti bisa bantu.”, isakkannya memenuhi taksi.
“Mau ngubungin kamu make apa Dem? Hape ibu uda ga ada lagi.”
“Lah, baru sebulan lalu Dema ngasi ibu hape, sekarang kenapa uda ga ada lagi? Ibu jual? Buat apa?“
“Dema udah cape sama Ibu, Ibu selalu gitu, hiks....” Dema tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Dema ga minta kayak gini! Kenapa dulu Ibu nggak ngambil Dema? Kenapa Ibu ngasih Dema ke Abi?”

Toim bukan adik kandung Dema. Ya, Dema tahu, tapi Dema sayang Toim, cuma Toim adik Dema. Kenapa ibu nggak mau ngerti. Dema sayang ibu, tapi kenapa ibu gitu?
“Seminggu yang lalu istri abi Kamu dateng ke rumah ibu. Dia marah-marah sama ibu dan bilang jangan minta apa-apa lagi ke sama Kamu.”
“Ibu ketakutan, dia ngancem ibu, bilang kalo dia bakalan misahin kita selamanya.”
“Ibu keabisan uang, jadi semuanya ibu jual, sampe Toim ibu suruh ngamen lagi.”

Mendengar itu Dema serasa mau pingsan, pikirannya seakan mau muncrat keluar. Teganya dia sudah menuduh ibu tersayangnya. Ibu kandungnya sendiri.
Astagfirullah, setan telah menjadikannya manusia paling jahat. Dema malu. Berarti Abi yang jahat.
Bukan, istri abi yang jahat.
Cukup! Tidak lagi saling menyalahkan, Dema ingin semuanya selesai. Toim harus sembuh agar bisa sekolah lagi.
Dema sayang keduanya, ketiganya dengan ibu tirinya.
Allah sayang keluarganya.
Bila Toim sudah sembuh, Dema akan tinggal di sini saja. Di gubuk samping sungai.

Selasa, 07 Desember 2010

Akhwat make Behel



Assalamu’alaikum Wr. Wb
Khaifa khaluk ukhti-ukhtiku yang dirahmati oleh Allah SAW?
Kalau dilihat dari judulnya, waa, pasti bakalan ngebahas tentang behel alias dental braces ni.
Ehhm,
Behel behel behel
Sudah berapa banyak yaa, para akhwat yang menggunakan behel?
Ratusan? Ribuan?
Yang jelas mungkin tidak bisa dihitung lagi.
Duuh, emang behel apaan sii??
Gubrakkk
Masa ga tauu?
Menurut om Wikipedia, Kawat gigi atau behel (bahasa Inggris: dental braces) adalah salah satu alat yang digunakan untuk meratakan gigi. Menurut jenisnya, bracket (bagian yang menempel) pada kawat gigi untuk tujuan estetis atau kosmetik ada yang bisa dilihat dan tidak bisa dilihat. Ada yang bersifat permanen artinya tidak dapat dilepas dan dipasang, lalu ada juga yang bersifat bisa dilepas dan dipasang. Mekanismenya yaitu dia mengatur, mendorong dan menahan pergerakan gigi. Perawatan ortho bertujuan untuk memperbaiki fungsi bicara, estetis muka, sudut bibir, rahang, senyum. Proses dari awal sampai akhir sesuai standar membutuhkan waktu kurang lebih tiga minggu.
Menurut kamus besar Amalia Larasati Oetomo, behel adalah alat bantu pada ilmu kedokteran gigi untuk merapihkan gigi yang tidak beraturan alias berantakan. Jadi gigi yang maju mundur, muter-muter, split, kayang, bisa tu dipasangkan behel. Behel tidak hanya memperbaiki struktur gigi yang berantakan, tapi bisa juga bikin kita cantik, hihi.
Ayo ukhti, masang behel yuk, namun, ada buanyak syarat yang harus dipenuhi agar bisa lulus pada tahap pemasangan behel. Ehmm, kan banyak tu yang make behel hanya untuk gaya-gayaan aja, trus gimana kalo behel untuk fashion?? Waa, mendingan baca dulu deh...
Prosedur pemasangan behel
Sebelum memutuskan untuk menggunakan behel kita harus melalui pergolakkan batin yang panjang (duillee). Tapi bener lo, memutuskan menggunakan behel adalah sebuah keputusan yang rumit. Istikhoroh berhari-hari, tanya sana sini.
Pertama, perhatikan gigi mu dengan seksama, bila sudah rapi sebaiknya tidak usah menggunakan behel karena pada gigi yang sudah terstruktur rapi, posisinya sudah aman. Namun bila behel dipasang pada struktur gigi yang sudah bagus, maka hal tersebut dapat merusak tatanan atau letak gigi yang sudah rapi. Alhasil bukannya cantik, gigi kita malah maju mundur. Huaaa
Nah kalau gigimu tidak rapih atau maju, berarti kamu sudah lulus tahap satu. Kedua, lihat BUDGET! Why? Because dental braces is so expensive you know??? Ehmm alias mahaaall. Untuk pemasangan atas saja dikenakan biaya 2,5 juta!! Kalau atas bawah, ya, itung sendiri deh. Jadi lihat-lihat dulu dananya, kalau belum ada ya nabung, atau cari tambahan.
Atauu, ini rahasia, jangan bilang-bilang yaa.. Cari aja mahasiswa kedokteran gigi yang lagi praktek pasang behel. Uda gratis, gigi rapi lagi. Asik khann??
Struktur gigi udah, budget udah, jengjeng... berarti kamu uda lulus tahap dua. Ehmm, kamu cari dokter gigi, atau mungkin dokter gigi langganan kamu (biar dikasih diskon, hihi). Dokter biasanya menanyakan keluhan kamu, setelah kamu menjabarkan dengan jelas, beliau akan memeriksa gigi kamu, kira-kira harus dipasang behel atau tidak. Dokter akan melihat susunan gigi kita, walaupun kelihatannya rapi, tapi renggang, maka akan dianjurkan untuk menggunakan behel.
Gigi yang renggang akan menjadi sarang kuman dan cenderung lebih mudah keropos. Gigi dirosen terlebih dahulu agar dokter gigi mengetahui struktur gigimu. Dokter gigi profesional akan jujur, bila gigimu rapi, maka behel tidak akan dianjurkan untuk dipasang. Tapi  jika tidak, beliau akan menganjurkan untuk menggunakan behel.
Untuk catatan, penting bangett malah, jangan datang ke TUKANG GIGI untuk kontrol gigi, apalagi memasang BEHEL!!!!!!!! Aduuhh, jangaann. Ternyata sudah banyak teman-teman yang termakan tipu daya tukang gigi. Biasanya mereka mengenakan tarif yang jauh lebih murah. Bahkan ada yang 1,6 juta atas bawah. Haaaa??? Duuh ukhti, jangan termakan rayuan gombal mereka. Memang si, gaya pake behel, murah lagi, tapii,,, gigi kalian akan semakin berantakan.
Tukang gigi hanya asal memasangkan bracket pada gigi. Mereka tidak tahu struktur atau susunannya seperti apa. Yang lebih parah lagi mereka tidak menggunakan hasil ronsen gigi si pasien. Bagaimana bila pada gusi pasien ada gigi lagi yang tersembunyi?? Kan serem tu.
Seperti yang dialami oleh temen sekosanku, untung aja dia langsung ke klinik dokter gigi, jadi saat dironsen ternyata ada gigi sembunyi di gusinya. Hihi, giginya main tak umpet, hihi. Jadi sebelum dia memasang behel, dia harus menjalankan operasi bedah mulut terlebih dahulu. Untung ya, kalau nggak, giginya mungkin udah patah-patah karena tersangkut kawat.
Nah, seperti yang sudah aku tuliskan tadi, setelah gigi kita diperiksa, kita akan menjalani ronsen terlebih dahulu. Dokter akan melihat susunan gigi kita, akan ditempel di mana bracket-bracketnya, apakah perlu menggunakan karet penarik atau tidak, giginya ada yang harus dicabut atau tidak?. Pemasangan behel akan dilakukan sekitar tiga hari setelah penyerahan hasil rontgen. Gitu deh
Setelah pemasangan
Ceritanya Curhat:
Satu jam setelah pemasangan, aku masih bisa petantang-petenteng ngomong nggak sakit sambil makan ayam goreng disambelin. Kira-kira tiga jam, sakitnya mulai terasa nyut-nyuttan, tapi untungnya dokter memberikan obat penghilang rasa sakit. Tapii, kurang lebih setengah hari, sakitnya sangat terasa, gigiku terasa seperti habis dihantam besi, hiks. Jangankan disentuh, nggak disentuh aja sakitnya pol-polan, Astagfirullahhh.
Parahnya, siang behel dipasang, malamnya aku mengajar privat, jadi bisa kebayang tersiksanya gimana. Yang pasti susah ngomong, saat ngomong kan gigi kesentuh bibir, itu tu sakit banget.. terpaksa minta maaf sama muridnya sambil nyengir kuda. Sehabis mengajar, di angkot aku tersiksa, sendirian, gelap, lupa bawa obat penghilang rasa nyeri lagi. Haha berlebihan.
Pokoknya gitu deh, aku nggak bisa makan selama dua hari. Paling hanya minum susu sama bubur. Tersiksaaa
Apalagi saat ganti karet, karet diganti dua kali sebulan. Gigi lagi sakit-sakitnya, malah ganti karet lagi, huhu
Setelah dua bulan, alhamdulillah aku nggak merasakan nyeri apapun, hihi. Sudah bisa makan ayam disambelin, gigit tomat, ngunyah wortel, lo?
Salah satu keuntungan make behel selain gigi rapih adalah behel bisa membantu kita menguruskan badan. Dua bulan make behel, berat badanku turun tiga kilo, drastis kan? Kalo uda kurus mendingan nggak usah deh, hehe. Hanya intermeso.
Hukum memakai behel
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Allah melaknat para wanita yang mengikir gigi untuk berhias dan yang merubah ciptaan Allah”
Mengikir gigi merupakan perbuatan yang merubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang-buang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi manusia.
Perbuatan tersebut juga merupakan penipuan dan penggelapan serta menunjukkan kerdilnya manusia.

Bagaimana dengan behel?
Bila behel digunakan untuk alasan medis, sehingga bila tidak dipasang maka akan menimbulkan penyakit (seperti gigi jarang yang mengakibatkan penumpukan karang gigi) maka hukumnya mubah.
Namun apabila tidak diperlukan, maka hukumnya tidak boleh. Bahkan terdapat larangan untuk mengubah gigi dan mengikirnya untuk keindahan, beserta ancaman bagi pelakunya, karena perbuatan tersebut termasuk sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.
Jika hal itu untuk pengobatan atau untuk membuang kelainan,atau untuk kebutuhan, misalnya seseorang tidak bisa makan dengan baik kecuali dengan mngubah gigi-giginya, maka hal tersebut diperbolehkan.

Sabtu, 04 Desember 2010

Mimpi Mimpi Bejo


oleh amel

Siang ini aku beranjak dari warung kopi, tempatku mengganjal perut dan meregangkan sebagian otot-otot kaku di sekujur tubuh, ke pangkalan yang setia menungguku setiap hari. Warung kopi itu bernama Makmur Jaya, mungkin si pemiliknya berharap usaha warung kopinya akan makmur dan berjaya. 

Aku kedinginan. Cuaca memang tidak dapat diprediksi akhir-akhir ini, saat ku sudah mempersiapkan mantel hujan, ternyata tidak hujan, begitu pula sebaliknya. Ah, memang takdir tidak ada yang dapat menerka, meskipun peramal yang mengatakan. Peramal itu sama seperti burung gagak, menyalak garing namun tak berisi.

Aku bergerak menuju makhluk hitam tak bernyawa itu. Si Boim, begitu aku menyebutnya, sudah kelihatan kotor, bercak-bercak lumpur penuh menyelimuti badannya. Mungkin sebaiknya aku ke steam motor saja, tinggal datang, bayar, dan selesai. Tapi kutersadar, kurogoh sakuku yang sudah penuh tambalan, ternyata tidak ada dana untuk mencuci si Boim ke steam, uang di sakuku tinggal lima ribu. 
Minum kopi dan makan pisang goreng saja tadi aku pasang muka tembok, memberanikan diri mengutang pada Indah, penjaga warung kopi yang selalu ketus pada pengutang sepertiku. Bila pengutang kira-kira setengah pengunjung warung kopi itu, mungkin namanya bukan lagi Makmur Jaya.
Ku pikirkan lagi ancang-ancangku tadi, jangankan ke steam motor, untuk keperluan dapur Sumi saja tidak akan cukup. Namun ku yakin Sumi tidak akan mengeluh. Istri yang baik memang. Tak pernah membentak suami bila setoran minim, bahkan nol. Belahan hatiku. Sumi, cinta keduaku, setelah istri pertamaku menceraikanku. Masalah biasa. Uang. Uang dengan tamaknya memperbudak manusia. Seakan terbalik, manusia dengan tamaknya memperbudak manusia lain.
Pikiranku masih dibebani utang-utang yang selalu datang di mimpi-mimpiku. Uang sekolah Ratna dan Riga sudah menunggak empat bulan. Iuran sampah, arisan, iuran ini itu, jajan Ratna dan Riga. Alangkah banyaknya kebutuhan hidup di jakarta ini. Meskipun kami sekeluarga tinggal di lingkungan kumuh dan tidak terdaftar di pemerintah, tetap saja pengeluaran seakan mencekik nadi. Setiap bulan wajib bayar iuran air, tapi anehnya kami tidak pernah kebagian air. Terkadang kami menumpang tetangga, kadang pula kami mencuci dan mandi di sungai kotor dekat penampungan sampah.

Hari sudah semakin sore menjelang magrib, ya Allah, tolong dengan kuasamu, tahan hujan ini....

Hujan adalah rejeki, begitu orang-orang yang paham agama menyebutnya. Aku mengiyakan saja karena tidak terlalu paham, kalau berkomentar takut dianggap salah. Yang kutahu hanya solat lima waktu, tadarus Qur’an, tidak boleh berikhtilat, dan menjadi suami setia dan bertanggung jawab. Hanya itu. Hanya itu yang kupelajari semenjak mengaji dengan Kiai Haji Sugeng saat di kampung dulu. Saat itu usiaku baru menginjak sepuluh tahun. 

“Hanya itu yang dilakukan orang Islam”, Kiai Haji Sugeng menasehatiku. Seperti biasa, dulu aku hanya mengangguk-angguk, kelihatan setuju.

Untuk sekarang, aku sangat tidak setuju. 

Kiai Haji Sugeng adalah tokoh masyarakat di kampungku. Perawakannya tinggi besar, berkumis tebal dan tidak berambut. Beliau pemilik hampir semua sawah di kampung kami. 
Dulu sebelum beliau naik haji penduduk kampung memanggilnya dengan pak Sugeng. Namun pada suatu ketika beliau pulang berhaji, beliau mengadakan pesta syukuran di rumahnya.

“Mau denger cerita saya tho? Hahaha”, 

“Saya ini sudah dilantik jadi kiayi saat naik haji kemarin. Hahaha”, ucapnya bangga. Para tamu, yang hampir semuanya buruh tani miskin mendengarkan dengan khidmat sambil mengangguk-angguk terpesona. 

Ada seorang buruh tani dengan pakaian putih mendekati cokelat yang memberanikan diri untuk bertanya, “Lah kok bisa ndoro?”, 

“Wong syarat jadi kiayi ya harus naik haji, hahaha”.

Allah menjabah doaku, hujan akhirnya reda. Udara dingin sedikit menusuk paru-paru, namun aku harus mendapatkan setoran minimal dua puluh ribu rupiah. Oiya, aku teringat, sudah lama aku menjanjikan akan membelikan RPUL edisi terbaru untuk Riga. Aku yakin, saat kupulang nanti anak terakhirku itu akan menagih janji ku padanya.
Riga sering mengeluh padaku, hanya dia yang tidak memiliki RPUL edisi terbaru, walaupun yang edisi lama juga tidak punya. 

“Dengan RPUL edisi baru, aku bisa dapat nilai bagus. Dengan nilai bagus, aku pasti jadi orang sukses pak.”

“Jadilah orang sukses nak. Sukses membagi waktu antara mengejar mimpi dunia dan mengejar akhirat. Hanya di akhirat kita kekal."

Tidak lagi untuk dua puluh ribu. Tapi satu juta! Impian harus setinggi langit, kalau impian hanya setinggi genting, maka kenyataan akan setengah dari tinggi genting. Impian? 
Tapi apakah tukang ojek sepertiku pantas untuk bermimpi. Memiliki setoran dua puluh ribu sehari saja sudah suatu yang muluk-muluk bagiku. Apalagi apa tadi? Sejuta? Haha. Menyentuhnya saja aku tidak pernah, apalagi memlikinya.

Aku memarkir si Boim di trotoar pinggir jalan. Tempat biasanya penumpang sering turun dari bis. Dengan semangat aku mencari sewa, suaraku sangat lantang. 
“Ojek mbak...”, 
“Ojek mas?”, 
“Ojek bu?”, 
“Ojek neng?”, 
“Ojek ojek”. 

Jari telujukku selalu mengacung ke atas. Dengan taktik seakan-akan sudah siap jalan, memakai helm, motor menyala dan membunyikan gas. Tapi lagi-lagi selalu teman seprofesiku yang mendahuluiku. Aku selalu tidak kebagian sewa. Bahkan ada temanku yang sudah dua kali dapat penumpang di waktu yang sama, malah dapat lagi.

Penumpang-penumpang itu sepertinya kebanyakan pegawai kantoran. Terlihat dari gaya busana yang mereka kenakan. Mungkin bila saat sekolah dulu aku rajin belajar, aku akan seperti mereka. Mengabdi pada perusahaan, naik jabatan, gaji besar. Ahh. Bermimpi lagi. Bila ku sadar akan pentingnya belajar, mungkin beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bisa didapatkan dengan mudah. Masa depan gemilang pun senantiasa hadir di pelupuk mata. 

Andaikan aku seperti Tono, temanku saat di kelas enam sd, dialah sang juara kelas. Mendapat beasiswa ke Tokyo, bekerja pada perusahaan asing. Alangkah bahagianya. Seakan dunia ini telah digenggam. Sedangkan aku, smp saja tidak lulus.

Aku tidak terlalu suka belajar. Belajar itu membosankan. Untuk apa mempelajari hal-hal yang tidak aplikatif menurutku. Aku seakan terkurung pada dimensi kepura-puraan. Hanya keabstrakkan yang diajarkan. Hapalan dan hapalan. Aku menginginkan suatu yang rill.

Obsesiku melahirkan cita-cita konyol. Dulu, seorang anak berbadan kurus bercita-cita ingin menjadi pemilik sawah. Pemilik sawah artinya dapat naik haji. Dengan naik haji, langsung bisa jadi kiai haji. 

Berbekal uang jajan sebesar dua puluh rupiah perhari, aku menabung lima belas rupiah agar bisa membeli sawah. Impian itu mendekati nyata. Impian yang mendekati nyata yang konyol untuk anak berumur dua belas tahun. Namun saat smp, impian itu pupus sirna. Ayahku yang merupakan buruh tani sawah meninggal dunia. Satu-satunya tulang punggung di keluargaku. Impianku untuk menabung demi membeli sawah semeter demi semeter hilang. Bersama kepercayaan diriku untuk bermimpi.
Sekarang, aku tidak punya mimpi. Mimpi apa yang pantas untukku?

Setelah satu jam aku berteriak-teriak mencari sewa, ternyata ada juga penumpang yang menghampiriku untuk mengojek. Tapi disaat yang sama pula adzan maghrib berkumandang. 
“Bang, ojek, pasar jumat, lima belas ribu ya”, 
“Duh maaf mas, uda magrib, saya solat dulu ya.”, tolakku dengan halus. 
“Mas sama tukang ojek yang lain aja, maap ya mas.”, 
“Ah abang sombong banget, nggak mau duit bang? Uda kaya?” calon penumpang itu langsung melengos pergi.

Demi pahala berlipat, aku lebih memilih untuk solat fardhu berjamaah di masjid dibanding mendapat uang. Namun bagaimana RPUL?
RPUL masih di pikiranku. Lagi-lagi aku kecewakan anak bungsuku. Sudah seminggu setiap aku pulang ke rumah, dia menagih RPUL edisi baru padaku. Seandainya aku anggota DPR, sudah bapak belikan kau nak, kalau perlu sama pabriknya saja sekalian. Namun, tukang ojek lebih terhormat dari anggota DPR. Karena semua harta kepemilikan tukang ojek adalah hasil keringat sendiri, bukan hasil tilep menilep. Tukang ojek pintar bernegosiasi dengan calon penumpangnya, tawar menawar harga. Kalau bisa dibilang, tukang ojek harus pintar ilmu komunikasi. Pelajaran yang didapatkan secara otodidak dari tukang ojek yang berpengalaman.

Kau jadi ilmuwan saja nak. Ilmuwan itu jujur dan akurat secara empiris. Ilmuwan yang voluntif akan menerima semua kebenaran dari berbagai eksperimennya. Ilmu dunia yang Kau pahami akan menjadikanmu semakin bersyukur atas kuasa-Nya nak. Ilmu akan menjadikanmu semakin sadar atas kecilnya dirimu di mata sang Khalik.

“Bapak pelit.”
“Nak, bapak hanya tukang ojek.” 

RPUL edisi baru seharga lima belas ribu rupiah sudah di genggamanku. Penumpang  tadi berubah pikiran untuk ikut sholat berjamaah. Mungkin tersentuh ucapan seorang tukang ojek. Aku mendapat penumpang. Penumpang terakhir. 

Subhanallah. 

Allah lah yang menentukan takdir seseorang. Rejeki, jodoh, bahkan maut. Qada Qadar.

Kukebut motorku menuju rumah, tak sabar menunjukkan RPUL edisi baru pada jagoan bungsuku. 

Laailahaillallah.
Nak, bapak bawa RPUL edisi baru untukmu nak.
Laailahaillallah.
Truk melintas di depanku. 
Terdengar teriakan. Cahaya itu menyilaukan.
Laailahaillallah.

Share this article ^^