Pengunjung Lapak

Kamis, 28 Juli 2011

Stop Eksploitasi dan Kekerasan PADA ANAK!!!

telah dimuat di Suara Jakarta

28072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

“Terik panas matahari memancarkan radiasi surya mencekamnya. Seorang anak kurus penuh peluh berbaju lusuh mengayun-ayunkan kecrekan tutup botol di samping mobil mewah keluaran eropa. Suara sumbang dengan enggan keluar seadanya. Lama dia bernyanyi diiringi kecrekan tua, tapi jendela hitam itu bergeming tegak, tidak ada tanda-tanda sebuah tangan putih bersih keluar memberikan receh.”

Sejenak itu lah pemandangan yang sehari-hari tampak di jalan ibukota. Walau sebenarnya tidak hanya di ibu kota, anak-anak yang berprofesi sebagai pengemis dan pengamen pun telah merambah ke daerah-daerah pelosok.

Senyatanya, mayoritas dari mereka adalah anak-anak di bawah umur yang sejatinya berada dalam hangatnya dekapan orangtua. Tidak jarang terlihat anak berusia kisaran tiga sampai empat tahun menjual suara seadanya sambil mengiba pada penghuni kendaraan umum. Ada pula bayi-bayi yang disewakan kepada para pengemis dan pengamen demi meraih belas kasihan.

Kondisi nyata anak Indonesia sangat unik dengan adanya perbedaan atau disparitas yang sangat tinggi, akibat kondisi tanah air kita yang begitu luas dengan suku bangsa dan budaya yang heterogen. Kondisi ini jelas berbeda dari negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. Juga dengan negara-negara di Eropa. Selain masalah perbedaan, anak-anak Indonesia juga terkena masalah ambivalen pengambil kebijakan atau orang-orang yang berpengaruh di masyarakat. Masalah eksploitasi terhadap anak dan juga masalah kekerasan terhadap anak sangat tinggi.

Drs Hadi Supeno MSi, Ketua KPAI, mengatakan bahwa eksploitasi anak-anak di Indonesia sangat tinggi dan sangat bervariasi. Hal tersebut ditunjukkan pada beragamnya jenis eksploitasi pada anak di Indonesia. Berikut adalah contoh kasus yang dapat kita komparasikan. Ada kah tampak persamaan antara tiga kasus ini? Orangtua yang membawa anaknya mengemis dan memulung, lalu orangtua yang mendorong anaknya untuk menjadi dai cilik di stasiun televisi, yang terakhir adalah orangtua yang membantu mewujudkan mimpi anaknya untuk menjadi penyanyi terkenal. Benang merah yang terkait dari ketiga kasus tersebut adalah masalah ekonomi.

Ekonomi adalah faktor yang merajai menjamurnya eksploitasi anak di dunia. Contohnya adalah perdagangan anak. Merunut pada fakta yang ada, berdasarkan data Advance Humanity, Unicef, sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Agak mencengangkan memang, apalagi berdasarkan data tersebut, kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan untuk eksploitasi seks. Ada sekitar 2 juta anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya.

Di Indonesia sekali pun, banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) memberikan ancaman hukuman lima tahun penjara bagi siapa saja yang mempekerjakan/ mengeksploitasi anak dibawah umur, namun payung perlindungan hukum tersebut seakan hanya menjadi untaian pelengkap undang-undang saja.

Selain eksploitasi yang berujung pada faktor ekonomi, anak pun tidak terhindar kekerasan berupa pelampiasan buruk lingkungan sekellilingnya. Seperti kekerasan fisik atau psikis dilakukan ayah atau ibu di rumah, atau bahkan kekerasan dari teman-teman sebayanya yang berujung kematian.

Padahal jaminan agar anak-anak terlindungi dari tindak kekerasan telah ada pada konstitusi. Pasal 28 B UUD 45 mengamanatkan, anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Namun sayangnya, delapan tahun sudah aturan ini dibuat, nyatanya masih banyak kekerasan yang terjadi pada anak-anak. Kekerasan mental dan fisik bagi anak sangat berpengaruh dalam pola berpikir dan ketahanan mental anak.

Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada pula yang tidak mempunyai kepibadian, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain, dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Begitu besar dampak kekerasan pada anak.

Oleh karena itu, dibentuk lah suatu lembaga perlindungan anak atau KPAI yang dalam Pasal 74 UU tersebut bertugas meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, menyosialisasikan seluruh aturan per-undang-undangan terkait perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan. Meski nyatanya, perlindungan anak dan pemenuhan hak-haknya di negeri ini, masih belum sistemik, masih parsial dan segmentaris.

Sejatinya, masalah eksploitasi anak sebenarnya bukan lah merupakan masalah internal dalam keluarga yang tidak dapat diikutcampuri oleh masyarakat dan pemerintah. Semua komponen negara yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan LSM juga harus turut berperan serta dalam menyelesaikan masalahan eksploitasi anak. Upaya penanganan masalah harus secara profesional, terorganisir, dan berkesinambungan. Penanganan yang dilakukan harus menggunakan metode yang tepat, misalnya dengan cara persuasif, manusiawi, dan memahami berbagai karakteristik.

Ini adalah masalah kita bersama. Meski dalam pencapaiannya harus terdapat kesadaran sejak dini mengenai bahaya eksploitasi dan kekerasan pada anak. Hal ini harus disadari oleh para orang tua dan calon orang tua dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk tumbuh kembang demi mencapai masa depan cemerlang.  Upaya ini penting, hal ini dikarenakan anak adalah calon penerus bangsa yang harus dijaga mental dan akhlaknya.

Sebuah hadist:

“Bukanlah dari golongan kami yang tidak menyayangi yang lebih muda dan ( bukan dari golongan kami ) orang yang tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At Tirmidzi)

Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, ” Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu).” (HR. Aththusi).

Jumat, 22 Juli 2011

Sebuah Esai: Tentang Guru dan Penghargaannya

-->
-->
 
-->Gambar diambil dari http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3376278673652412781
Ciputat,
22072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

*Berawal dari kegelisahan para guru (termasuk ibu saya), saya (calon guru), dan para praktisi pendidikan lain.

Putu Wijaya: Cerpen Guru
Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh…. (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
                Kutipan cerpen Guru karya Putu Wijaya mengingatkan saya pada segelintir kalimat yang dilontarkan seorang pembicara pada sebuah seminar keguruan, ''Kalau Anda ingin jadi orang kaya, maka jangan pilih menjadi guru,''. Kalimat yang cukup menghentakkan batin saya. Ironi memang. Keironian ini terakumulatif pada realitas diskursif  yang terpatri dalam paradigma berbagai kalangan. Lagi-lagi mengacu pada kondisi mayoritas guru yang duduk di bawah lini ketidakmapanan.
                Realita yang terpatri mengenai kondisi guru di tanah air disebabkan masih banyaknya perlakuan diskriminatif. Aspek imbalan jasa, baik materi maupun non materi, pun jauh dari kepuasan dan keadilan. Mayoritas honor guru PNS luar Jakarta, apalagi guru honor. Bahkan segelintir dari mereka (guru honor) hanya mendapatkan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Mengenaskan memang. Belum lagi tempat mengajar yang (lagi) jauh di bawah standar kemanusiaan: kelas bocor, lantai pecah, ruang kelas roboh, kekurangan alat bantu, halaman sempit dan kotor.
Merujuk kembali pada karya sastra Putu Wijaya, cerpen Guru. Tokoh utama dalam cerpen Guru adalah Aku. Tokoh Aku yakni seorang ayah dengan obsesi besar terhadap putra semata wayangnya, Taksu. Taksu digambarkan berupa sosok idealis, meski di awal cerita, penggambaran karakternya belum terdapat eksplorasi. Karya sastra dengan konfigurasi dialog ini agaknya berhasil membawa pembacanya terhenyak. Betapa tidak, dengan kondisi carut-marutnya sistem kenegaraan kok masih ada yang bermimpi jadi guru (merunut mayoritas pembaca). Padahal sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian tersebut dewasa ini jatuh pada satu kata populis: materi.   
                Materi acapkali merupakan tujuan utama tiap individu ketika duduk di bangku pembelajaran. Alhasil yang dihasilkan dari metode pembelajaran hanyalah produk, bukan proses. Dalam bukunya, Toward a Theory of Instruction, Jerome Bruner (1966) menjelaskan bahwa, “We teach a subject not to produce little living libraries on that subject, but rather to get student to think mathematically for himself, to consider matters as an historian does, to take part in the process of knowledge-getting. Knowing is a process not a product.”[1]
                Pembauran pembelajaran sebagai ‘produk’ versus ‘proses’ inilah yang menjadikan kesalahan paradigma peserta didik dalam menentukan tujuan belajar, ‘Untuk apa saya belajar?’ Agaknya kesalahan paradigma ini menjadi elemen pembenahan terpenting pada pelbagai kelindan persoalan. Dengan mengacu pada proses, bukan produk, diharapkan meminimalisasikan materi sebagai sesuatu yang sentralistik dalam proses pencapaian tujuan. Ketika paradigma matrialistik terminimalisasi, maka diharapkan lahirnya pencitraan seimbang bagi guru dengan profesi lain.
                Acuan paradigma mengenai materi ini lah yang menjadi bumbu utama penyebab konflik Aku dan Taksu. Klimaks kisah ini ialah menghilangnya Taksu dalam kurun waktu sepuluh tahun. Lalu tiba-tiba kembali dengan mendapatkan hadiah gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. Tidak hanya itu, Taksu juga berprofesi sebagai pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
                Yang saya pertanyakan adalah bagaimana bila Taksu yang selama sepuluh tahun tidak pulang, tiba-tiba datang membawa gelar pendidikan dengan profesi (hanya) sebagai guru sekolah? Tanpa embel-embel doktor honoris causa atau pengusaha besar. Akankah ending cerita seindah imajinasi Putu Wijaya? Lagi-lagi pengkultusan terhadap materi yang diusung.
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya baca pada sebuah website milik seorang guru MAN 3 Batusangkar alumni Fakultas Pendidikan Monash University, Australia. Suatu ketika beliau memperkenalkan istrinya yang seorang dokter, seorang temannya kontan berkomentar, “Oh .. you are lucky, Anto. You are only a teacher, and you get a doctor as your wife”. Dengan kernyitan di dahi, beliau menjawab, “So, what. Apa seorang guru tak pantas berjodoh dengan seorang dokter?'”[2] Hmm, lagi-lagi menjadi korban pencitraan rendahan bagi mayoritas kalangan. Hasil dari pencitraan yang dinilai dari pencapaian materi.
                Dengan emosi yang meluap-luap para guru pasti berkata, “Mendingan nyalahin pemerintah aja yang menjadikan guru sebagai profesi rendahan, gaji tidak manusiawi, janji sertifikasi tapi hanya segelintir yang menikmati. Rasanya berprofesi sampai mati, tidak dihargai.”  (saduran representatif mayoritas guru di nusantara).

Birokratisasi Profesi Guru
Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru senyatanya menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan ini sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Disorientasi jabatan tersebut pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah atasan. Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan atasan yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini. Hmm, mengenaskan memang.
Padahal UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.
Lalu pada pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain.
Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbekal dari semboyan ‘pahlawan tanpa tanda jasa ’ yang diusung pemerintah, agaknya bertolak belakang dengan pelbagai fakta yang menyeruak di permukaan. Menurut sebagian kalangan, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan.[3]
Kata ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, agaknya menarik bila dikaji secara mendalam. Yakni pahlawan yang berkontribusi dalam melakukan ekspansi ilmu terhadap peserta didik tanpa embel-embel pamrih di belakangnya. Sejatinya, wajar-wajar saja kalau gaji guru amatlah minim, wong tanpa tanda jasa. Lagi-lagi akibat birokratisasi profesi guru yang menempatkan posisi sebagai bawahan menjadikan guru sebagai objek diskriminatif. Disorientasi jabatan ini lah pemicu ketakutan guru dalam mengusung hak-haknya.
Mungkin menarik apabila saya komparasikan honor guru nusantara dengan Jepang. Ya, mungkin kita tidak dapat menyejajarkan kondisi negara yang sejatinya memiliki kesenjangan cukup jauh. Namun sudah jamak diketahui, ketika Jepang mendapat hadiah Bom Hiroshima dan Nagasaki, pemerintah Jepang hanya mempertanyakan berapa guru yang masih tersisa. Sadar atau tidak, kemajuan suatu negara adalah refleksi dari kualitas pendidikan.

Grade
Teachers
Yen (a month)
Head-Teachers
Yen (a month)
Principal
Yen(a month)
2
156,500
292,500
422,400
4
184,200
320,900
439,800
6
202,500
348,600
456,200
8
217,900
369,500
471,500
10
237,600
389,000
485,600
12
262,000
406,100
500,100
14
288,200
422,200
512,100
16
315,700
437,300
18
342,700
451,000
20
362,900
463,800
22
381,400
474,100
24
397,600
482,200
26
411,200
488,400
28
422,400
30
432,300
32
441,300
34
449,700
36
455,900
Berdasarkan tabel tersebut, selain medapatkan gaji bulanan, para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus dua kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4.65% gaji bulanan.  Gaji guru di sekolah negeri dibayar oleh pemerintahan di tingkat prefecture (provinsi) sebesar 50% dan pemerintah pusat 50%. Prosentasi ini bisa berubah jika kondisi provinsi tidak begitu kaya.  
“Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!” (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
Merunut pada fakta-fakta yang telah diungkap tadi mengenai pendiskriminasian profesi guru, agaknya pengusungan hak-hak guru harus disertai gerakan debirokratisasi profesi guru.  Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya, dan mendapatkan penghargaan setara dengan jerih payahnya. Sehingga hal itu dapat meredam proses diskriminatif yang dialami mayoritas guru Indonesia.
Namun lagi-lagi proses yang tidak instan itu tidak mudah bersinergi dengan fakta lapangan. Bila ada anekdot, ‘orang miskin dilarang pintar’, maka anekdot lain akan berbunyi, ‘guru Indonesia dilarang kaya’.







[1] Ratna Wilis Dahar, 1996: 106
[2] enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/.../guru-indonesia-juga-berhak-kaya
[3] http://nadhirin.blogspot.com/2009/03/guruku-pahlawanku.html
[4] http://www.educationworld.net/salaries_jp.html



Kamis, 14 Juli 2011

Semesta dan Penciptaannya



14 Juli 2011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

Acap kali yang terlintas dalam benak mengenai semesta adalah sekerumuk materi dengan kepadatan yang akumulatif dengan estimasi luas tidak terhingga. Terdiri dari jutaan galaksi yang tersebar pada seluruh ruang semesta, berputar ke arah pusaran lubang hitam supermasif.
Teori penciptaan alam semesta mengalami berbagai liku perkembangan berdasarkan pemikiran-pemikiran para ilmuwan. Dimulai dari pemikiran materialisme pada abad 19 yang berasumsi bahwa alam semesta merupakan kumpulan materi berukuran tak hingga yang telah ada sejak dulu dengan keadaan konstan. Selain meletakkan dasar berpijak bagi paham materialis, pandangan ini menolak keberadaan sang Pencipta dan menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir. Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, sistem berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham Materialisme dialektika Karl Marx.
Pemikiran konservatif tersebut bertentangan dengan teori Big Bang yang diusung oleh George Lemarie. George berteori pada mulanya alam semesta berupa sebuah primeval  atom dengan kepadatan yang sangat besar. Atom tersebut meledak dan seluruh materinya terlempar keruang alam semesta. Timbul dua gaya saling bertentangan, gaya grafitasi dan gaya kosmis. Oleh karena gaya kosmis berperan dominan dibanding gaya gravitasi, alam semesta mengalami ekspansi tanpa henti.
Pada tahun 1929, di observatorium Mount Wilson California, ahli astronomi Amerika, Edwin Hubble membuat salah satu penemuan terbesar di sepanjang sejarah astronomi. Ketika mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa bintang-bintang ini bergerak menjauhi bumi. Spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke warna merah. Selama pengamatan yang dilakukan oleh Hubble, cahaya dari bintang-bintang cenderung berwarna merah. Ini berarti bahwa bintang-bintang ini terus-menerus bergerak menjauhi kita.
Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus-menerus mengembang.
Teori yang dikemukakan George Lemaire memiliki sinkronisasi terikat dengan penemuan yang dilakukan Edwin Hubble. Maha Suci Allah yang telah mengukirnya pada goresan ayat Al-Quran. "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya." (Al Qur'an, 51:47). Kata "langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini bermakna luar angkasa dan alam semesta. Dikatakan bahwa alam semesta "mengalami perluasan atau mengembang". Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini. 
referensi
http://agorsiloku.wordpress.com/2006/06/26/kronologi-alam-semesta-dari-kacamata-sains/

Senin, 11 Juli 2011

Renta yang Dilupakan

Setapak kaki renta tertatih menyusuri lantai kayu tua
Decitan-decitan kayu berbunyi seakan mengingatkan
Decitan indah dan menyedihkan bergantian tiap pijakan

Setapak kaki renta bersinergi dengan lantai kayu demi keseimbangan.
Perlahan dan perlahan
Satu denyit, dua denyit, tiga denyit, empat denyit, lima denyit, tak lagi terdengar denyitan
Setapak kaki renta hentikan tapakan.

Pupil pudar menatap jendela lapang transparan berhias manik-manik dari sedotan
Pupil pudar tak berkedip menatap jalan
Pupil pudar pengharap kedatangan
Pupil pudar perlahan berkaca-kaca sembari tertutup kelopak berkerut

Kelopak berkerut bergetar
Tak kuasa menahan bendungan rindu
Perlahan tetesan air rindu membasahi pipi keriput

Pipi keriput telah lama tak menoreh senyuman
Pipi keriput senantiasa menantikan kecupan yang tak kunjung pulang
Pipi keriput kian keriput setelah satu dasawarsa tak dipandang

Pulang lah, Nak

11072011
oleh Amalia Larasati Oetomo

Menata Emosi

Dalam sebuah peperangan, suatu ketika Khalifah Ali ra berhasil membuat salah satu musuh terjengkang. Saat itu beliau sudah siap menghunus pedangnya untuk memenggal musuhnya. Namun, tiba-tiba sang musuh meludahi wajah Ali ra. Tanpa disangka, beliau tidak jadi membunuh musuh itu, dan pergi begitu saja. Sang musuh menjadi heran dan bertanya-tanya, "Wahai Ali, mengapa engkau tidak membunuhku?" Ali kemudian menjawab, "Aku takut membunuhmu bukan karena Allah, melainkan karena ludahmu yang membuatku marah."

Subhanallah, dengan segala kuasa-Nya, Ali ra memutuskan mengelola emosi negatif dengan berpikir jernih mengenai sebab dan akibat timbulnya rasa marah yang membara.

Menurut penulis buku Psychology of Adjustment, Eastwood Atwater, mengartikan emosi sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks, mencakup sensasi di dalam diri dan ekspresi ke luar yang memiliki kekuatan memotivasi untuk bertindak. Emosi terdiri atas emosi positif dan emosi negatif. Gembira, heran, dan takjub adalah bagian dari emosi positif. Sedangkan marah, benci, ngeri, sedih adalah bagian dari emosi negatif.

Emosi negatif kadang kala menyergap di saat amarah tak tertahan meliputi dengan ganas. Bila hawa amarah telanjur menguasai, maka bersiaplah menghadapi kehancuran diri. Nafsu amarah yang tak terkendali dapat membutakan segala perilaku menjadi di luar ambang batas kenormalan. Sehingga, yang tampak adalah sisi lain kepribadian yang bisa saja menjatuhkan kredibilitas dan martabat seseorang.

Tidak sedikit para petinggi negara jatuh seketika akibat kelalaiannya dalam menata emosi. Bahkan, banyak pula para tokoh budiman yang awalnya disegani menjadi dibenci karena sering lupa menata emosi. Setelah terpuruk, baru menyesal atas segala peristiwa yang telah terjadi.

Padahal, Allah SWT memberikan jaminan yang baik di surga bagi orang yang dapat mengendalikan amarah. Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga hal yang jika seseorang melakukannya, Allah akan menempatkannya di dalam naungan-Nya, mencurahkan rahmat-Nya, dan memasukkannya ke dalam surga-Nya, yaitu jika diberi rezeki ia bersyukur, jika mampu membalas, ia bisa memberi maaf dan jika marah ia bisa menahannya.”

“Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah SWT kecuali akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR Abu Dawud dengan sanad Hasan).

Amarah adalah salah satu emosi negatif yang perlu diwaspadai, maka dibutuhkan pengendalian diri agar emosi dapat dikelola dengan baik sehingga amarah tidak menjalar merasuki.

Emosi yang tidak terkendali adalah media ampuh bagi setan untuk mengendalikan manusia. Sesungguhnya marah digerakkan oleh setan yang terbuat dari api dan api dipadamkan oleh air. Siapa pun yang sedang marah, segera berwudhu. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Amalia Larasati Oetomo


Telah dimuat di kolom Hikmah Republika 13 April 2011

Share this article ^^