Pengunjung Lapak

Sabtu, 10 Desember 2011

Renegoisasi Kontrak Tambang, Royalti Jangan Dikorupsi


Puluhan tahun sejak Indonesia mengusung kemerdekaan, Indonesia dicap gagap dalam mengusung hak-haknya akan pengelolaan pertambangan terhadap pihak asing. Kegagapan pemerintah menelurkan defisitnya nilai keadilan yang telah mengakar bumi. Bila nilai keadilan merangkak turun, rakyat jualah korban yang dipasung.
Dalam bukunya, Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant, mengatakan bahwa semua tindakan yang mengacu pada hak orang-orang lain yang maksim-maksimnya bertentangan dengan kepublikan adalah tidak adil.
 Namun, tradisi turun menurun tersebut agaknya sudah mulai pudar, pemerintah sudah berani tegas mengenai hak-haknya akan sumber daya alam yang dikuasai pihak asing. Seperti yang diketahui, hingga kini pemerintah terus berupaya melakukan renegosiasi seluruh kontrak karya pertambangan yang mencakup prinsip luas wilayah, divestasi, pengelolaan lingkungan, royalti, dan kewajiban menggunakan jasa dalam negeri sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tersebut, mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara sudah jelas bahwa pada tahun 2014 bahan baku mineral sudah harus diolah di dalam negeri. Karena itu, besaran royalti harus direnegosiasi agar lebih adil dan sesuai dengan amanat konstitusi. Berdasarkan PP No.13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. “Pemerintah ingin sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (VIVAnews29/11).
Kesadaran kolektif ini diharapkan berdampak besar dalam kemakmuran dan kemajuan bangsa. Karena apabila pemerintah berhasil melakukan renegoisasi dengan perusahaan tambang, maka royalti yang akan diterima oleh pemerintah pun akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah wajib untuk mengalokasikan dana tersebut tanpa ada manipulasi data. Hal ini ditinjau dari besarnya pendapatan yang apabila ditilik agaknya cukup menggiurkan.
Kondisi struktural masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif menjadikan kekhawatiran mengenai penyimpangan dalam pengalokasian dana semakin tinggi. Kepentingan kolektif ditampik, yang ada hanyalah pemuas dahaga pribadi. Belum hilang dari ingatan kita mengenai kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah. Yang mengenaskan, mayoritas dari kasus tersebut sampai saat ini menggantung bak akar beringin.
Penyimpangan ini berdampak besar dalam kemakmuran dan kemajuan bangsa. Kesadaran kolektif perlu diusung agar oknum-oknum nakal tidak lagi membuat negativitas prahara yang menyebabkan defisitnya nilai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, struktur pengawasan pendapatan dan pengalokasian dana harus diperketat. Tidak ada lagi renegosiasi di bawah mejaantara oknum pemerintah dengan investor.
Pemerintah Indonesia seharusnya tidak hanya menuntut apa yang menjadi hak pemerintah, namun juga menunaikan hak setiap warga negara di Indonesia.

7 Oktober 2011
Amalia Larasati Oetomo

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^