Aku tahu, dengan menorehkan daftar mimpi-mimpiku di buku harian, aku bisa mewujudkannya satu-persatu. Ya, memang terwujud. Satu per satu. Oleh karenanya, aku pun hanyut dalam khayalku. Kuhitung daftar mimpiku, satu, dua, tiga, ah, seratus dua puluh satu. Banyak juga ternyata.
Mimpi agar nilai ulangan setiap pelajaran sepuluh, lalu juara kelas tiap tahun, juara debat bahasa inggris, menang olimpiade Fisika, juara lomba karya tulis siswa, jadi penyiar radio, jadi MC, membeli rice cooker untuk ibu, beli tas baru, sampai memperbaiki genteng rumah yang bocor. Semua mimpiku menjadi nyata. Ya, meski ada satu mimpi belum dapat terwujud.
Teringat saat kali pertama aku menorehkan mimpi, yaitu membeli kursi untuk ruang tamu agar ketika tamu datang, ibu tidak harus bersusah menggelar tikar plastik yang sekiranya agak memalukan ketika menjamu tamu. Rasanya kondisi saat ini jauh berbeda dengan kondisi di mana pertama kali aku meninggalkan bangku SMP, sebagai siswa SMP yang tidak pintar-pintar amat, tidak ada satu pun mimpi yang berani kugapai.
Ketika itu hidupku bagai robot-robotan yang diatur oleh remote control. Dan remote itu dikendalikan penuh oleh seorang pria yang memiliki hak besar atas hidupku. Ayah beranggapan bahwa demi mendapatkan kualitas diri yang baik, yaitu bersekolah di sekolah terbaik. Kata ayah, aku harus mendaftar ke SMA swasta favorit yang memiliki kualitas pengajaran tinggi. Bahasa pengantarnya pun menggunakan tiga bahasa. Inggris, Jerman, dan Perancis. Aneh sekali. Baru pertama kali aku mendengar dagelan seperti ini. Bahkan bahasa pengantarnya pun tiga bahasa? Namun aku hanya mengangguk lemah di hadapan ayah. Kupikir percumalah jutaan kali mengutarakan keinginan terdalamku pada ayah.
“Sudahlah, Nak, ayah tau apa yang terbaik untuk kamu.” nasihat ibu padaku. Saat itu aku hanya terduduk termangu di samping jendela kamar berwarna pink. Bonekaku terhimpit lenganku yang erat memeluk.
“Iya, Asya tau, Asya emang nggak boleh ngelakuin sesuatu sesuka Asya. Jadi penyiar radio nggak boleh, jadi pelukis nggak boleh, bahkan main ke rumah temen nggak boleh. Sebel sebel.”
“Kemarin kamu diijinin pergi ke rumah temen. Ingat kan?” kata ibu sembari membelai lembut rambutku. Bibirnya tersenyum hangat.
“Iih, emang main ke rumah temen, tapi masa mang Encep juga ikutan. Ayah sama Ibu emang nggak sayang sama Asya.” Mukaku semakin ditekuk, mulutku maju. Pokoknya aku benar-benar kesal saat itu.
“Begini Asya, jangan lagi berasumsi kalau ayah dan ibu tidak sayang sama Asya. Mana mungkin orang tua akan membiarkan anak gadis satu-satunya lepas dari kendali mereka. Lihat teman-teman Asya yang diberikan kebebasan penuh oleh orang tuanya. Diperbolehkan main ke sana ke sini, sampai malam. Bebas main dengan siapa saja. Bahkan ada pula orang tua yang hampir tidak pernah ketemu sama anaknya sangking sibuknya bekerja. Apakah itu yang namanya sayang? Apakah memberikan semua keinginan anaknya itu berarti peduli?”
“Tapi tetep aja, ini tuh gara-gara ayah. Paling nggak ayah dengerin kemauan anaknya. Jangan dengan seenaknya ngambil keputusan tanpa memedulikan Asya keberatan ato nggak. Asya nggak mau masuk sekolah aneh itu! Asya nggak mau les piano, les kepribadian, les bahasa bahasa apalah. Pokoknya nggak mau. Asya maunya masuk SMA biasa ajah! Dan Asya nggak mau liat ayah lagi!”
Nafasku tersengal-sengal, gumpalan gundah telah habis kutumpahkan ke hadapan ibu. Wajahku tak berani kudongakkan menatap wajah ibu. Sesal melanda batin ketika kusadar telah membentak ibu dan mengatakan hal yang tidak seharusnya kulontarkan.
“Baik, ibu akan bicara dengan ayah.” tanpa berbicara panjang ibu segera meninggalkanku sendiri.
***
“Ayuk, Sya.” Rani, sahabat terbaikku mengajakku menuju stasiun radio dekat sekolah.
“Tapi aku nggak bisa, Ran. Aku nggak bisa ngomong.” tolakku. Aku ingin segera kabur dari sini.
“Tuh kamu ngomong, hehe. Udah kasih aja dulu CV kamu, yang penting kamu udah usaha.” Rani mencoba membujukku. Tapi lagi-lagi aku menggelengkan kepala.
“Ya ampun Asya, aku udah capek-capek bikinin CV buat kamu, kamu malah nggak ngehargain aku. Pokoknya kamu harus ke sana. Inget kan pas SMP dulu, kamu pengen banget jadi penyiar radio. Sekarang kesempatan kamu. Apalagi kamu dulu les macem-macem. Paling nggak kamu punya kualitas, Sya.” kata-katanya terdengar meyakinkan.
“Kamu kan butuh uang untuk biaya ibu, Sya.” lanjutnya. Sekejap aku tersihir oleh kata-kata terakhirnya. Untuk ibu.
“Ya, untuk ibu.” kataku pelan. Mataku tidak jelas menatap ke mana.
“Bener, Sya, apalagi kita kan baru kelas satu SMA, masih belum terlalu sibuk. Aku yakin kamu bisa ngatur waktu. Semangat.” Rani mengepalkan tangannya ke atas seraya menyemangatiku.
Pasti bisa. Aku pasti diterima. Ya, dengan keyakinan itu, nasib baik dalam genggamanku. Stasiun radio tersebut pun menerimaku dengan baik. Berbekal berbagai les yang sempat kujalani, kualitas diriku pun tidak diragukan. Selain itu tawaran MC deras mengalir. Keadaan kini jauh berbeda saat ayah masih dalam dekapanku. Tidak ada lagi yang menjagaku agar aku tidak keluar tanpa sepengetahuan ayah ibu. Tidak ada lagi yang menjegal mimpi-mimpiku. Seketika butiran sesal menggelayut dalam batinku.
***
Aku menggerakkan kaki melangkah maju menuju rumah sederhana di pinggir jalan itu. Dengan langkah gontai, aku memasuki pintu yang terbuka. Mataku tertuju pada satu sosok lemah yang sangat kusayangi. Kulihat ibu semakin pucat, penyakit kanker getah beningnya terus menggerogoti badannya. Rambut ibu kian lama makin menipis saja. Badannya kuyu dan lemas.
“Ibu.” panggilku pelan. Ibu yang kala itu menatap ayat Quran dengan kusyu sekejap menolehkan pandangannya ke arahku. Ibu pun tersenyum. Tanpa babibu aku merebahkan kepalaku di atas pangkuan ibu. Tangannya yang mulai rapuh membelai kepalaku dengan sayang.
“Besok Ibu harus kontrol lagi kan?” tanyaku sembari melepas belaian ibu. Badanku dirapatkan ke samping ibu, kulihat tangan ibu yang semakin kurus lalu kugenggam erat.
“Nggak usah, nanti saja kapan-kapan. Badan ibu masih sehat.”
“Tapi dokter kan bulan lalu bilang kalau ibu jangan terlambat untuk kontrol. Takutnya nanti makin parah lagi.”
“Kan sudah ibu bilang, ibu akan kontrol kalau ibu merasa sakit. Wong sekarang ibu merasa sehat.”
Aku mengangguk.
“Yaudah, jadwal kontrolnya diundur menjadi minggu depan yah.” Seketika aku menorehkan senyuman di depan ibu. Terlihat agak memaksakan.
“Oh, iya. Asya punya berita baik buat ibu. Liat ni, Asya dapet surat panggilan untuk ikut ujian beasiswa dari Pemda. Tadi Bu Santi, wali kelas Asya, yang ngasih. Katanya yang dapet hanya delapan orang dari sekolah Asya yang dikasih kesempatan untuk nyoba ujian masuk Institut Tekhnologi Negeri. Tapi kita belum tentu lulus, Bu.” aku lalu terdiam, menunggu reaksi yang kuharapkan dari ibu. Ibu pun mengambil sepucuk surat yang kusodorkan ke arahnya. Pelukan hangat ibu seketika menghujamku, surat dari Bu Sinta pun spontan remuk. Betapa bahagianya hatiku.
Namun, anehnya tidak sepatah kata pun keluar dari mulut ibu.
***
Mataku terbuka, rasanya kepala ini sakit sekali. Badan terasa remuk sehingga sukar digerakkan. Aku harus bangun. Aku menggeliatkan badan seraya mengucek mata yang masih saja digelayuti kantuk. Tanganku meraba-raba permukaan kasur, mencari ponsel, hah, jam empat! Aku terlambat dua jam. Seharusnya aku bangun pukul dua malam. Tidak mungkin dengan waktu yang singkat aku dapat belajar ujian beasiswa, belajar Ujian Nasional, sholat Qiyamul Lail delapan rakaat,murajaah Quran, dan masak keperluan dapur. Ya Allah, engkau lalaikan aku atas kelalaianku mengatur waktu.
Hei, aku sudah kelas tiga SMA. Di siang hari tidak ada waktu lagi. Aku harus sekolah sampai siang, lalu bekerja di Mall dekat sekolah untuk menjadi MC, malam harinya aku harus siaran radio sampai pukul sembilan malam. Tapi tak apalah, aku harus tetap semangat.
Berbeda ketika aku duduk di bangku SMP, di mana aku hanya menjadi sosok pecundang yang bahkan tidak pernah sekalipun masuk sepuluh besar. Cobaan hidup mengubah semua. Seakan berbalik 180 derajat, di bangku SMA saat ini, aku sempat menjuarai berbagai lomba seperti lomba debat bahasa Inggris, lomba karya tulis ilmiah, Olimpiade Fisika tingkat provinsi, dan lain-lain. Akulah satu-satunya siswa non organisatoris yang menjadi penyumbang piala terbanyak di sekolahku. Ya, hal melelahkan ini kulakukan agar aku dapat menceklis mimpi-mimpi yang kutorehkan di lembaran buku harian. Tidak, bukan itu, agar aku dapat membiayai kehidupan kami berdua. Bahkan bukan hanya itu, agar aku dapat menggoreskan senyum di bibir ayah dan ibu. Pikiranku menggelayut ke mana-mana.
Setelah murajaah Quran, kubuka kembali buku harian bersampul pink kesayanganku. Aku tersenyum simpul ketika mataku tidak berhenti menatap curahan hatiku saat pertama kali menginjak bangku SMA. Tulisan berisi tangisanku atas kepergian ayah dan berkembangbiaknya kanker di tubuh ibu dan perihnya kerja kerasku membiayai pengobatan ibu. Betapa aku mengubah diri dari menjadi gadis yang sangat biasa menjadi luar biasa. Dengan lembut aku pun membalik halaman buku menuju halaman yang berisikan daftar mimpiku. Tinggal satu mimpi lagi….
***
Selepas sholat Qiyamul Lail, pikiranku sekelebat menuju tiga tahun yang lalu. Saat-saat di mana aku kehilangan semuanya. Seketika aku tersadar, jangan sampai bias lamunan ini mengganggu. Ketika pagi menjelang, segera kulangkahkan kaki menuju papan pengumuman penerima beasiswa Institut Tekhnologi Negeri.
“Stop, Pak.” perintahku pada tukang bajaj ketika sampai di kantor pemda.
“Ini, Pak. Makasih.” Selembar lima ribu kuberikan pada tukang bajaj tersebut. Sesaat turun dari bajaj, aku menarik napas panjang-panjang. Bismillah.
Aku menatap pintu gerbang hijau yang berdiri tegak di depanku. Kutarik napas panjang kembali. Harus yakin, ucapku pada diri sendiri.
“Hei, kamu. Mau liat pengumuman juga ya?” Suara ramah itu bersumber dari seorang perempuan berkacamata yang berjalan mendekatiku.
“Iya.” jawabku juga ramah.
“Kita liat bareng ya. Aku Nisa.” dia menyodorkan tangannya. Tanganku pun menyambut.
“Asya.” jawabku.
Akhirnya kami pun sampai di depan papan tulis berwarna putih yang penuh dengan kertas HVS berisikan daftar nama yang menerima beasiswa. Nomor 423, mana ya nomor 423. Mataku tidak lepas dari daftar nama di depanku.
Tidak kuduga. Ternyata namaku ada di urutan ke dua puluh. Horee!! Tapi, ah, tapi apa itu?
Penerima beasiswa harus membayar sejumlah uang untuk mencairkan dana beasiswa selama perkuliahan. Besarnya dana tidak sama pada setiap jurusan.
Jantungku berdegup kencang. Nafasku sesak tersengal. Badanku gemetaran. Dengan setengah berlari aku menuju kantor yang tempat daftar dana yang harus dibayar. Astagfirullah. Tidak mungkin! Kakiku lemas. Aku ingin pingsan. Aku bolak-balik daftar itu.
Jurusan Teknik Geologi = Rp 20.000.000
Bukk!!! Aku pingsan.
***
Nothing imposibble. Sugesti itu menjalar ke setiap cabang saraf di otakku. Nothing imposibble. Ketika ayah pergi dan meninggalkan kami berdua. Memang tidak ada yang tidak mungkin. Toh siapa yang menyangka ketika saat itu ibu menasihatiku, ternyata ayah menguping di depan pintu kamar. Mendengar semua percakapan kami, semuanya. Bahkan kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak ingin bertemu dengan ayah lagi. Siapa yang menyangka setelah mendengar semuanya, beliau langsung merobek formulir pendaftaran SMA swasta favorit dan pergi membeli formulir di SMA Negeri impianku.
Memang tidak ada yang menyangka. Aku tidak bertemu dengan ayah sejak saat itu. Ibu yang hanya lulusan SMA tidak terlalu paham dengan bisnis ayah. Yang ibu tahu jalan untuk menghidupiku yaitu menjual harta berharga kami, termasuk omset-omset ayah. Ketidakpahaman ibu dimanfaatkan oleh relasi bisnis ayah dan menipu kami. Membayar harta benda kami dengan harga murah. Nothing Impossible.
Masih pada bulan yang sama, ibu didiagnosa mengidap kanker getah bening. Badanku seketika luluh lantah, dadaku sangat sesak. Bagaimana bisa kedua orang yang kusayang mengalami kejadian yang paling menyedihkan. Belum kering air mataku menangisi kepergian ayah tersayang, mengapa ibuku juga ingin Kau ambil?
Dengan sekali sambar, tas ransel kusam di atas tempat tidur aku cangklongkan ke atas pundakku. Semoga perjuanganku selama ini tidak berhenti hanya karena kerikil kecil yang menghadang. Tidak ada yang tidak mungkin. Pasti kerja kerasku akan terbayar. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Ciputat, 21 September 2011