Terjerembab oleh keegoisan kekuatan superior masa orde baru, cukup membekukan letupan paradigma para pelopor muda (baca: mahasiswa) dalam menelurkan gagasan yang mendobrak keterpurukan bangsa. Kedaulatan mahasiswa menjadi terkungkung serta menyempitkan paradigma idealis yang mencoba menyeruak keluar. Kisah lama tersebut merefleksikan realita betapa kelamnya sejarah kedaulatan mahasiswa pada wilayah yang bernama kebisuan.
Meskipun dewasa ini telah jarang terlihat diskriminasi orasi, namun ternyata acap tampak pada pengekangan hak yang terkodifikasi penguasa (baca: rektorat) dalam meredam buncahan pemberontakan. Bahkan pada kampus tanpa kedaulatan mahasiswa, rezim kapitalisme transnasional (melalui tangan negara) berusaha mengakademik dan mendepolitisir mahasiswanya. Gerakan ekstra universiter ideologis diusir dan eksistensi dimatikan. Padahal kampus adalah penelur handal para mahasiswa yang bermilitansi dan berintelektual tingkat tinggi.
Merujuk pada kampus peradaban (baca: UIN Syarif Hidayatullah) yang masih menjunjung tinggi hak pemikiran penghuni universeter, kedaulatan yang bernama legislatif itu masih utuh berdiri tanpa ketimpangan. Legislatif memungsikan diri sebagai badan perwakilan, berisikan wakil mahasiswa yang beranggotakan para penyerap dan penyalur aspirasi masyarakat kampus. Dapat disayangkan masa jaya mahasiswa hanya akan menjadi sejarah tak terulang apabila legitimasi mahasiswa dikonversi menjadi senat.
Senat adalah badan normatif tertinggi dan sekaligus merupakan badan perwakilan dosen pada tingkat universitas. Tapi perlu kita ingat, kita juga memiliki badan tertinggi perwakilan mahasiswa tingkat universitas dan ini juga merupakan bagian dari proses demokrasi kampus yang seharusnya dilibatkan.
Berdasarkan teori dependensia dan teori sistem dunia, konversi tersebut diduga bertujuan demi meretas hambatan dan memperlancar arus kapital nasional ke rezim transnasional (baca: membangun jalan tol kapital). Materialisasi dari upaya itu yakni mendepolitisir mahasiswa dengan mematikan kegiatan ekstra universeter ideoligis. Jika itu terjadi, maka pemotongan proses produksi kader intelektual akan semakin tajam menusuk. Lalu sebenarnya, apa yang menjadi tujuan utama peniadaan demokrasi intelektual tersebut?
Dua asumsi berdasarkan realita yang mengakar akan disibak. Pertama, terdapat kekhawatiran mendalam pada kemungkinan terjadinya perang ideologi antargerakan-ekstra-universiter yang berujung kekerasan. Kedua, ketidaknyamanan terhadap perilaku oposisi mahasiswa yang terkadang merugikan pihak atas.
Apabila ternyata sistem baru tersebut jadi direalisasikan, maka keterpurukan ideologis mahasiswa akan terulang lagi laiknya masa orde baru. Pelbagai aturan yang non-pro rakyat universiter akan memasung eksistensi aspirasi yang menerapkan pengakademisian mahasiswa. Maka tak ayal, mahasiswa terforsir oleh kegiatan belajar sampai habis secara fisik dan psikis. Mereka pun minim waktu untuk bergelut dengan organ gerakan mahasiswa. Lalu habislah para pelopor muda satu demi satu tersandung waktu.
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
10 Mei 2010
Senin, 11 Juli 2011
Senin, 20 Juni 2011
Tugas Mahasiswa Bulan Hanya Kuliah
Politik
layaknya air kopi, pahit namun nikmat dan diramu dengan kemahiran demi mencapai
kemakmuran. Dimulai dari seluk beluk kepahitan, kebebasan dikekang, tanpa bisa
berkoar menyuarakan keadilan. Nampaknya keadaan tersebut sesuai dengan kondisi
mahasiswa Orde Baru yang seakan vakum dalam kegiatan oposisi.
Salah satu
gerakan mahasiswa tersebut adalah kritikan terhadap pemerintah mengenai
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional pada tahun 1977-1978. Ternyata
kegiatan tersebut menjadi pemicu penyerbuan dan pendudukan militer terhadap
kampus-kampus perguruan tinggi Indonesia.
Praktek
restruktuisasi politik menjadi langkah yang ditempuh bapak pembangunan dengan
menghapus Dewan Mahasiswa (DM) dan mengeluarkan SK Kopkamtib No Skep
02/kopkam/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 0156/U/1978
tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) demi membungkam kebebasan mahasiswa
yang bergerak mengikuti nalar intelektualitasnya. Namun puncaknya, pada tahun
1998, persatuan mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Orde Baru dengan libasan
bertubi tanpa ampun. Raga dan ruh perjuangan menyatu demi keadilan yang
sesungguhnya. Sehingga era reformasi telah digenggam dengan mulus. Sejak saat
itu, mahasiswa semakin menunjukkan taringnya yang mencabik segala keputusan pemerintah
yang merugikan.
Mahasiswa
acapkali dianalogikan sebagai agent of change, yaitu kumpulan pemuda pencetus
perubahan yang seringkali bertindak oposisi terhadap rezim yang berkuasa.
Pemilik paradigma idealis yang berpikir demi pengabdian dalam masyarakat,
itulah mahasiswa. Mahasiswa juga dianggap sebagai pelopor runtuhnya kekuasaan
perenggut kebebasan. Sehingga banyak kalangan yang menganggap bahwa mahasiswa
merupakan ancaman terhadap suatu golongan. Maka dibutuhkan pemikiran cerdas dan
pengawasan dalam melakukan suatu tindakan. Mahasiswa harus tetap berpikir
idealis, tanpa dipengaruhi kepentingan politik nasional tertentu.
Lalu
bagaimana dengan politik kampus? Apakah ternoda layaknya dunia perpolitikan
nasional? Hakikatnya, mahasiswa dan politik terpatri bagai benang kusut, sulit
dipisahkan, namun tidak seratus persen menyatu. Secara tidak langsung kehidupan
politik nasional membawa pengaruh besar pada kancah perpolitikan kampus.
Kepemerintahan nasional acapkali sama dengan sistem kepemerintahan kampus.
Sebab itu, mahasiswa selaku aktivis diharapkan menjadi pelopor perubahan yang
berperan dalam pengawasan, pengabdian, serta menyuguhkan perilaku positif demi
kelangsungan sistem kemasyarakatan kampus.
Peran
mahasiswa sebagai pengawas berbagai kebijakan pemerintah dapat direalisasikan
dengan cara pembentukkan organisasi atau aliansi yang berperan aktif dalam
mengawasi dan menakar ada tidaknya keputusan yang bersifat merugikan rakyat.
Oleh karena itu harapan besar membuncah tinggi pada setiap individu terhadap
sepak terjang mahasiswa dalam mengusung perubahan yang lebih baik.
Namun bila
kita amati, tidak semua penghuni kampus berinisiatif mendalangi lakon politik
dengan memasuki salah satu partai, dan bermain adegan di sana. Terdapat
mahasiswa praktisi intelektual akademisi yang berpola pikir anti politik dan
anti aliansi. Padahal suatu kegiatan politik atau aliansi pun diperlukan dalam
mengembangkan kecerdasan pemikiran serta menjaring sebanyaknya ilmu yang tidak
didapatkan pada forum perkuliahan. Sikap apatis mereka cenderung mengaliensi
diri dari hiruk pikuk hegemoni, memandang sambil mengernyitkan dahi terhadap
apa itu tindakan oposisi.
Bila kita
maknai lebih dalam, kontribusi kita terhadap kancah perpolitikan sebenarnya
diperlukan dalam menempatkan diri terhadap kehidupan sesungguhnya. Seorang
individu tidak hanya dapat dikatakan sukses apabila dia hanya mendapatkan
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, namun juga kepiawaian olah diri dalam
membawakan kepribadian yang dapat membaur pada lingkungan sekitar juga dinilai
penting.
Seluk beluk
perpolitikan dalam ranah kampus memang belum dipahami secara merata oleh
mayoritas mahasiswa, padahal kampus merupakan pusat intelektualitas, tempat
pengembangan ranah pemikiran dan tindakan. Tidak hanya berharap IPK tinggi,
namun dapat pula berkontribusi dan ikut andil terhadap pemecahan masalah di
negeri ini. Lalu, apa pula yang menyebabkan mahasiswa cenderung apatis
terhadap kegiatan baik perpolitikan maupun organisasi? Terdapat dua asumsi yang
dinilai menjadi tembok besar penghalang mahasiswa untuk aktif di ranah kampus.
Pertama, takut akan suatu hal yang
baru. Lingkungan universitas kadang membuat tercengang bagi mata yang baru
melihatnya. Bila dahulu hanya berada dalam lingkup sekolah, kini dibuat heran
dan ternganga dengan banyaknya organisasi hingga adanya sistem perpolitikan
yang merupakan duplikat politik nasional. Di sini selayaknya kita sebagai
mahasiswa selayaknya memiliki keingintahuan tinggi terhadap suatu organisasi
kampus, tidak apatis dan harus berani mencoba.
Kedua, paradigma IPK besar tanda
kesuksesan. Sebagian mahasiswa cenderung berlomba demi meraih prestasi di atas
bangku perkuliahan dengan harapan dapat memetik kesuksesan. Mereka berasumsi
akan mudah menduduki jabatan pada pekerjaan apabila mengantongi IPK tinggi.
Namun alangkah baiknya bila di samping itu, terdapat pula kontribusi dan
keaktifan di sela aktifitas perkuliahan. Tidak sedikit para aktifis kampus yang
dengan mudah mengenyam kesuksesan, dan banyak pula para pemilik IPK tinggi yang
terpuruk akibat menganggur.
Mahasiswa
sebagai agent of change selayaknya tidak menjadi mahasiswa yang apatis, mencari
ilmu tidak hanya terpaku pada petuah dosen dan IPK tinggi. Carilah ilmu
layaknya orang yang kehausan di padang pasir, ketika terlihat air, ditelan
habis sampai ke sumbernya.
Jumat, 08 April 2011
Senin, 04 April 2011
Menulis
Menulis adalah cerminan jiwa, goresan frase, kotak sampah bagi ide, pungutan paradigma, lembaran asumsi, teman baik para pemikir. Namun terkadang menusuk dari belakang, menyerang batin hingga nelangsa, nampak oportunis, rentenir bagi ide yang dihisap habis sampai kopong.
Menulis menumbuhkan semangat hidup, semangat berburu ilmu, semangat mencari ide baru, semangat menelurkan karya, semangat berkorban, semangat menjunjung tinggi asas kepenulisan.
Menulis membutuhkan asupan gizi agar tidak kering lalu mati. Maka dibutuhkan vitamin-vitamin terbaik seperti vitamin ilmu, vitamin pengalaman, vitamin kepribadian, vitamin persahabatan, vitamin cinta. Berbagai asupan vitamin dikumpulkan, lalu dicerna sebelum dan sesudah menuangkan ide ke dalam baskom berisikan larutan kepercayaandiri.
Menulis menyejukkan amarah yang meradang, pelampiasan ego, pelopor hak asasi tertinggal, pemupuk bibit kesuksesan, guru bagi sang pembelajar, murid bagi yang dituakan, layaknya komite yang bebas menentukan aturan suatu instansi.
Menulis meninggalkan dampak psikologis bagi pembacanya, mengubah prinsip menahun, membuatnya terpaku terpana hingga terjatuh dari fatamorgana imajinasi klasik yang rumit. Mengira-ngira kebenaran yang selama ini didepak, meraba-raba kemutlakan yang selama ini ditolak.
Menulis merubah haluan, merubah kenyataan, merubah tujuan, merubah keniscayaan.
*Jadilah penulis yang senantiasa menulis apa yang akan ditulis melalui serangkaian khayalan tentang menulis demi menciptakan korelasi perubahan dengan tulisan.
Ciputat
4 april 2011
Amalia Larasati Oetomo
Kamis, 24 Februari 2011
Raja Pohon
240211
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
Akulah si raja pohon. Salah satu penghuni ajek di antara ribuan penghuni ajek lain. Pohon penguasa hutan belantara. Hutan tempat kuasaku terletak di suatu bagian entah di mana. Yang jelas tak pernah sekali pun aku tinggalkan sejak pertama kali aku menatap surya. Saat itu aku hanya sebuah dahan kecil. Lemah dan rapuh. Daunku saja hanya segelintir yang nampak.
Ukuran kecil menjadikanku incaran para penghuni vegetarian. Banyak teman pohon menjadi korban, baru sedetik menggeliat keluar dari tanah, seketika terkunyah menjadi santapan sang perut lapar. Walau begitu, tidak pernah mereka berhasil menangkapku sampai akar. Hanya sebagian daun meski menyakitkan.
Perlahan aku paham, kami, para pohon, dapat tumbuh subur dari suatu gumpalan kotoran yang mereka sematkan di sekitar akar kami. Mereka pun hidup dari asupan dahan kami. Saling menguntungkan. Walau kadang kami ketakutan setengah mati ketika penghuni bergerak berlari kencang, takut tertabrak, terinjak, dan akhirnya mati. Tapi lagi-lagi aku beruntung. Pernah sekali saja aku tertabrak, tidak sampai mati. Saat itu sulit untuk menegakkan tubuh yang sudah patah ini, tapi dengan tekad membara aku bercita untuk hidup lama, menjadi penguasa hutan belantara. Penguasa pecinta kelipan di malam yang menyapa.
Kelipan. Dimulai saat pertama kali aku menatap malam, ribuan titik berkelip menepuk padnangan. Tiba-tiba keinginan besar merasuk dalam xilem dan floemku, menyeruak dari akar sampai ujung daun. Ingin aku menyentuh ribuan kelipan di langit. Berharap dapat loncat tinggi mencapai salah satu dari kelipan. Aku mendongak, menatap sang kelipan tanpa beralih ke pandangan lain. Rasanya aku jatuh cinta, cinta akan kelipan yang berkedip ke arahku, cinta akan kelipan yang terkadang jatuh entah ke mana. Ingin ku tangkap kelipan yang jatuh itu. Lagi-lagi tersadar, aku hanya sebuah dahan kurus kecil antara rimbunan raksasa sekitar.
Pernah aku bertanya pada awan, “Hai awan, kau sering melanglang buana mengitari dunia, pernah kah kau bertemu dengan kelipan?”
“Kelipan? Apa itu wahai dahan kecil? ” jawab awan bingung.
“Apakah kau tidak tahu apa itu kelipan?” “Benda kecil terang menyala di malam hari. Itulah kelipan”
“Oh, apakah maksudmu bintang di langit, dahan kecil?”
“Bintang? Nama macam apa itu?”
“Manusia menamakannya bintang, yang kau maksud dengan kelipan.”
“Manusia? Apa lagi itu, wahai awan?”
“Seperti pernyataanmu tadi, aku sering melanglang buana mengitari dunia. Aku temukan satu jenis penghuni bergerak yang pasti belum pernah kau lihat,” “mereka hampir serupa dengan kera, namun tidak dipenuhi bulu. Berjalan tegak menggunakan dua kaki. Mereka menggunakan suatu lapisan bahan untuk melindungi tubuh.”
“Ada lagi perbedaan yang sangat signifikan dengan para penghuni bergerak di sini. Manusia sangat pintar.”
Aku pikir telah bertemu dengan setiap jenis penghuni bergerak, ternyata ada satu jenis yang bahkan namanya pun baru kudengar. Manusia. Apakah manusia memakan dahan kami? Ataukah mereka melahap tubuh selain jenis mereka? Manusia itu pintar, kata awan. Mungkin saja mereka tidak membunuh dan merusak alam. Bahkan terpikirkan oleh mereka untuk menutupi diri dengan suatu bahan pelindung tubuh. Hebat sekali menusia itu, pikirku. Tapi, masa bodolah dengan manusia. Yang penting sekarang aku tahu nama lain kelipan. Bintang.
***
Perlahan aku membesar, asupan makanku pun bertambah. Air hujan yang menari-nari turun dari langit dengan lahap kuserap habis. Sinar matahari yang menyapa kuhirup puas bercampur dengan gas yang berganti menjadi gas berbeda favorit para penghuni bergerak. Bersamaan dengan tumbuh besarnya badanku, para penghuni lain pun semakin hormat. Bila dulu aku dianggap si kecil tidak berdaya, diinjak dengan sengaja, tapi sekarang makin sering kudengar sapaan para penghuni. Para burung makin banyak hinggap di dahanku, membuat belasan sarang dengan izinku, berkicau tiada henti menghibur penghuni hutan.
Para sahabat satu angkatanku mati dalam seleksi hutan, hanya yang kuat sang pemenang. Badai dan petir mencabiknya. Aku adalah pemenang, hahaha. Tak salah bila mereka memanggilku si raja pohon. Raja pohon hutan belantara. Meskipun gelar raja telah kukantongi, tidak berkurang sedikit pun pandanganku terhadap kelipan. Bukan bintang. Aku canggung apabila harus memanggilnya dengan bintang. Ya, cukup dengan kelipan.
Saat ini usiaku sudah sangat tua, kuhitung telah lima ribu kali bulan menampakkan purnamanya. Tentu saja dengan tubuh semakin besar dan kekar dengan akar kuat menopang para penghuni lain semakin tunduk hormat. Dari penghuni pemilik anggota gerak, sampai penghuni yang ajek pada tempat tinggalnya. Namun aku rasakan ada suatu perlahan hilang. Kelipan satu demi satu hilang tanpa pamit. Meninggalkanku sang raja pohon. Bila kelipan salah satu penghuni hutan ini, akan aku hukum dan penjarakan mereka, sembari memandangi kelipan indah mereka.
Tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan awan, si awan pencerita bintang dan manusia. Mungkin angin badai membawanya nun jauh ke sini.
“Hai, awan. Bertemu lagi kita di sini.” sapaku bersemangat.
Awan mengernyit bingung, atas gerangan apa suatu pohon raksasa menyapanya di langit.
“Siapakah engkau, wahai pohon gagah nan hebat? Apakah kita pernah bertemu?”
“Lupakah kau padaku, awan?” “Aku dahan kecil yang bertanya kelipan padamu.”
“Oh, sungguh, tidak aku sangka kau sehebat ini sekarang. Selama ini aku hanya mendengar kisah sang raja pohon, tapi tidak kutahu bahwa ini engkau, raja.” sahut awan, tidak dia sangka akan bertemu lagi dengan si dahan kecil.
“Tidak perlu kau berkata begitu, awan yang baik hati. Tidak perlu jua kau memanggilku raja, panggil aku dahan, seperti awal bertemu dulu.”
“Baik dahan. Ada apakah gerangan, nampaknya ada pertanyaan yang ingin kau ajukan padaku.” jawab awan tak sabar.
“Aku ingin bertanya tentang kelipan, eh maksudku bintang. Mengapa mereka perlahan hilang?”
Awan terdiam sejenak, seakan tidak sanggup berkisah, “Begini, dahan, apakah kau ingat dengan manusia? Salah satu jenis dari penghuni bergerak. Mereka tidak lagi nampak seperti yang kuceritakan dulu.”
“Apa maksud ucapanmu, awan? Apakah mereka berubah menjadi penghuni ajek sepertiku? Apa pula hubungannya dengan kelipanku?”
“Oh, tidak, bukan berubah seperti itu. Nanti aku ceritakan mengenai kelipanmu.”
“Manusia tidak lagi seperti yang kuceritakan dahulu. Mereka telah berubah, bukan dalam artian fisik, namun perangai. Dalam artian semakin ganas, jauh lebih ganas dari singa hutan. Singa hutan tidak membunuh sesama jenisnya, tapi manusia dengan santai saling membunuh dan merampok. Mereka tidak pernah puas dengan apapun yang mereka miliki. Rakus, licik, dan ganas.”
Aku terdiam, syok mendengar cerita awan. Bukankah yang kudengar dulu mereka makhluk pintar?
“Haha, pasti kau ingin berkata bahwa mereka makhluk yang pintar. Haha. Ya, mereka memang makhluk terpintar di bumi. Sangking pintarnya mereka membuat berbagai macam peralatan bertahan hidup. Mereka membuat rumah, gedung bertingkat, pabrik, hotel,...”
“Halah, sudah sudah. Apa itu rumah, gedung bertingkat, pabrik, dan apa lagi tadi?”
“Hotel.” sahut awan menambahkan.
“Ya, itu tadi hotel dan yang lain itu. Apa itu? Apakah semua itu jenis lain dari penghuni bergerak?”
“Oh, bukan, wahai dahan. Itu adalah sarana pelengkap manusia. Manusia membuatnya dengan cara menggadaikan solidaritas mereka. Mengeruk sebanyak-banyaknya perut bumi demi mendulang kemakmuran. Mereka menggadaikan rasa tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Asal kau tahu saja, wahai pohon, banyak penghuni ajek mati ditebang dan diambil tubuhnya hanya demi lembaran kertas dan menjulangnya tempat tinggal.”
“Apa?!? Akan kuhabisi para manusia itu! Suruh mereka menghadapku, akan kuhukum mereka.”
“Ha ha ha, hanya dengan mimpi kau bisa lakukan itu semua. Bila para penghuni ajek dapat melawan mereka, tidak akan berguguran batang-batang kayu yang akan menyebabkan banjir besar. Kau pasti tidak tahu apa itu banjir. Banjir adalah genangan air berlebih yang menyebabkan para penghuninya mati tenggelam. Itu yang kulihat di sana. Tidak ada lagi penghuni ajek sebesar engkau, wahai Pohon. Mereka bertumbangan mati menjadi papan reklame dan tusuk gigi.”
Tidak aku sangka manusia bisa sebejat itu, emosiku meradang berlipat. Ingin kuhancurkan para manusia itu.
“Lalu bagaimana dengan kelipanku? Apakah mereka diam-diam dipetik manusia untuk dijadikan santapan?”
“Tidak, wahai pohon, kelipanmu tidak hilang, hanya perlahan tertutupi oleh padatnya gas beracun yang menyebar menuju langit. Aku pun kena batunya, gas beracun itu perlahan terbang ke arahku, menyatu dan membuatku berasa asam. Karena itu, di sana aku selalu menumpahkan hujan yang juga berasa asam. Digunakan lagi oleh manusia. Mereka merusak bumi dan menikmati hasil rusakannya.”
Kelipanku, kurang ajar mereka menghalangi para kelipanku masuk ke dalam langit. Akan kubuat perhitungan saat bertemu dengan mereka. Lalu, kira-kira gas apa yang demikian hebatnya menghalangi aku dan kelipan.
“Dari mana gas beracun itu timbul? Mungkin kah manusia mengeluarkannya?” tanyaku sembari menahan amarah, tidak terima atas perlakuan manusia pada kelipanku.
“Manusia menimbulkannya dari suatu benda yang mereka buat untuk menghemat waktu dalam mencapai suatu tujuan. Padahal mereka paham betul dampak perilaku mereka. Banyak dari jenis mereka yang keracunan sampai mati. Anehnya bukannya meredam, malah semakin menjadi.”
“Tahu kah tujuanku mendatangi hutanmu? Awalnya aku berniat untuk berbicara dengan penguasa hutan ini. Tapi karena ternyata sang penguasa adalah teman baikku ini, lebih baik langsung aku katakan padamu.”
“Silakan, wahai awan, apakah yang ingin kau katakan?”
“Dua purnama lalu kudengar mereka berencana ingin datang ke hutanmu ini.”
“Siapa?”
“Siapa lagi. Mereka. Manusia.”
“Tentunya akan kusambut dengan hentakkan akarku.”
“Berusahalah melawan, karena yang aku takutkan adalah nasibmu dan rakyatmu. Aku takut mereka memperlakukanmu layaknya hutan-hutan yang lain. Menghabisimu dan rakyatmu tanpa ampun, demi membangun imajinasi terkutuk mereka.”
Oh, tidak, ini tidak boleh terjadi, tidak ada yang boleh menyakiti rakyatku. Mereka tidak hanya menghalangi aku dan kelipan, mereka akan menghabisi rakyatku!
***
Aku hanya berbagi cerita dengan kelipan. Menceritakan penderitaan rakyatku akibat ulah sang manusia. Ah, percuma, kelipan tanpa peduli demi satu hilang tanpa jejak. Aku menangis tersedu-sedu, menangisi kelipan yang perlahan habis tanpa bisa kupandangi lagi cantiknya.
Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Penghancuran, penyiksaan, penembakkan. Suara desingan dan umpatan. Bukankah mereka makhluk terpintar?
Penghuni begerak ditembak, disakiti tanpa ampun. Penghuni ajek disiksa, dengan paksa mereka menguliti, memotong, menghabisi sampai akar terdalam. Aku dengar manusia terkekeh setiap kali berhasil mendobrak pertahanan kami.
Lagi-lagi aku yang tersisa, rupanya tuhan menjabah doaku dahulu saat masih berupa dahan kecil layu. Doa mengharap kekuatan dan umur panjang. Tubuhku semakin besar, namun kulitku tidak segar layaknya dulu. Kulit menghitam akibat gas beracun yang kudengar dari awan. Gas beracun tidak hanya menyerang kulit, daun pun lambat laun menciut meronta minta tolong. Terlalu banyak gas yang harus diubah menjadi oksigen. Gas beracun terakumulasi dalam pembuluh tubuh. Aku telah sakit.
Udara sekitar semakin semeraut, aura panas membungkus tubuh. Anehnya mereka selalu berlindung di bawah dahan rimbunku. Takut kepanasan katanya. Semakin lama hampir tidak ada penghuni ajek sepertiku. Aku tersiksa akan kesendirian. Gedung menjulang merupakan pemandangan wajar sekarang ini. Lagi-lagi aku tetap menjadi raja pohon. Raja bagi satu-satunya pohon, aku.
Sabtu, 12 Februari 2011
RPUL untuk Riga
Rombakan cerpen mimpi-mimpi Bejo yang sebelumnya banyak dikritik. Saat cerpen ini diadili ternyata makin banyak kritik dan sarannya. Syukron kawan
11-02-2011
Amalia Larasati Oetomo
Siang ini Bejo beranjak dari warung kopi, tempat pengganjal perut dan meregangkan sebagian otot-otot kaku di sekujur tubuh, ke pangkalan yang selalu setia menunggunya. Tidak hanya Bejo, manusia-manusia satu profesinya pun tak luput dari penantian si pangkalan. Mereka adalah para ahli setir. Setir motor maksudnya. Ahli setir motor yang kerap disebut tukang ojek.
Pangkalan itu kira-kira berusia dua puluh satu tahun. Di sudut kanan terdapat pohon tua yang daunnya seakan botak. Pohon tua tersebut dipaku dengan kayu lapuk yang dijadikan tempat duduk para tukang ojek lelah. Seakan lunglai menderita, setiap ada yang ingin mendudukinya, kayu tersebut berkata dengan memelas, “Tolong, hancurkan saja aku! Aku tidak sanggup menopang kalian lagi!”
Tidak hanya kayu lapuk, di bagian atas pohon, ditempel pula papan yang bertuliskan nama pangkalan ojek. Asal tahu saja, papan warna warni yang bergambar seorang laki-laki mengendarai motor dengan tersenyum lebar tersebut baru dipasang dua bulan yang lalu. Sebelumnya pangkalan itu tidak bernama. Namun karena pangkalan lain memiliki nama dan logo tersendiri, para perkumpulan tukang ojek ini pun tidak mau kalah.
“Ojek Ceria.”
Tidak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan, usulan tersebut disertai anggukan para penghuni pangkalan. Syukuran pun dilaksanakan. Dengan menyumbang masing-masing lima ribu, mereka dapat menikmati dua buah pisang goreng beserta kopi hitam. Sisanya dipakai untuk pembuatan papan nama.
Meskipun selintas kekanak-kanakkan, namun nama tersebut memiliki makna mendalam bagi para penghuninya. Makna yang tidak dapat diuraikan menjadi serpihan debu yang dikorek lalu ditiup dari batu bata rapuh. Makna yang hanya dapat diuraikan oleh para tukang ojek pengharap seonggok harapan dan sebutir cinta dari Tuhan Sang Pencipta. Keceriaan dambaan sang tukang ojek ketika mendapat penumpang setelah menghabiskan peluh mengantri tukang ojek lain. Seribu dua ribu masuk ke dalam kantongnya berteriak kelaparan.
Mereka sudah muak dengan teka-teki hidup yang membuat mereka hampir mati penasaran.
“Kapan kami kaya?”
“Kapan kami bahagia?”
“Kapan kami ceria?”
Di bawah pohon tua itu, Bejo memarkirkan Boim, sahabat lama pengantar nafkah masuk pintu rumah, pengantar kedua anaknya menjemput harapan, cita dan cinta.
Bejo duduk di atas Boim, kali ini wajah Bejo tidak mencerminkan jargon pangkalannya. Wajahnya kuyu dan kusut. Kegelisahan menyelimuti bahasa tubuhnya. Bejo turun dari motor, lalu duduk lagi di atas motor. Setiap ada penumpang mendekat, Bejo berlari mendatangi seraya berkata, “Ojek, Mbak.”. “Ojek, Dek”. “Ojek, Mas”.
Namun selalu naas bagi Bejo, tukang ojek bergantian mendahuluinya. Hari sudah menjelang siang, sedangkan Bejo sama sekali belum mendapatkan seorang penumpang pun.
Sekelibat terlintas dalam bayangan. SPP sekolah Riga dan Ratna sudah empat bulan belum terbayar. Uang listrik pun menunggak kurang lebih tiga bulan. Bahkan petugas PLN telah berkali-kali mengancam memutus aliran listrik bila bulan ini belum juga lunas.
Lalu yang paling mencekik nadi adalah tagihan air. Tagihan tersebut selalu datang ke rumahnya meskipun keluarganya sama sekali tidak pernah menikmati air tersebut. Setahun yang lalu, istrinya mendapatkan kabar bahwa akan ada aliran air bersih gratis dari pemerintah untuk kawasan tempat tinggalnya. Karena hati sudah terburu merekah, istrinya dengan sigap ikut mendaftar untuk mendapatkan air bersih dari pemerintah, hal tersebut dilakukan dengan spontan, tanpa berkonsolidasi terlebih dahulu dengan suaminya.
Besoknya, petugas air bersih menagih biaya pendaftaran kepada warga yang telah mendaftar. Istri Bejo bingung, alangkah polosnya dia sampai hati mengira bahwa pemerintah akan tulus meringankan beban rakyat. Kebingungan yang menghantamnya menjadikannya berpikir bahwa tidak ada yang cuma-cuma di sini. Bahkan demi mendapatkan air bersih saja mesti mencengkram leher.
Sebulan kemudian datanglah tagihan air yang sama sekali tidak mereka selami sebutir pun. Pasalnya data keluarga Bejo telah masuk dalam data pemakai meskipun alat belum dipasang karena memang tidak ada uang.
“Tagihan Malapetaka.” Sebut Bejo kepada tagihan air setiap kali tagihan itu mulai mengetuk pintu rumahnya yang reyot.
Tiba-tiba lamunan Bejo tentang ‘Tagihan Malapetaka’ itu tertebas oleh wajah anak bungsunya, Riga. Sudah sebulan Bejo berjanji akan membelikan jagoannya itu RPUL. Bahkan tadi malam adalah malam yang kesekian puluh Riga merengek minta dibelikan RPUL.
***
Adzan Magrib terdengar dari masjid sebelah. Panggilan adzan bertalu-talu menghembuskan angin segar di sekujur badan. Dengan lunglai, Bejo menyeret tubuh tipisnya menuruni Boim, menuju pintu usang yang amat dikenalnya. Pintu itu dibuka, nampak ruangan berisikan kursi plastik merah pudar tanpa meja. Ruangan tersebut berdinding semen dengan cat mengelupas. Dinding tersebut nampak seakan sakit cacar menahun. Di sebelah kiri, terdapat dua ruangan lain yang hanya dibatasi dengan kain sarung robek.
“Bapak pulang, horee.” Riga melonjak kegirangan saat bapaknya bahkan belum sempat duduk untuk melepas penat.
“Mana RPUL nya Pak?” wajahnya bersinar penuh harapan. Dan Bejo adalah penjahat paling kejam yang tega meredupkan sinar di wajah jagoannya itu.
“Maafin bapak, Nak.” “Bapak hanya bawa dapet setoran dua puluh ribu, buat beli bensin sama uang makan kita. Sewa lagi sepi, Nak.” ujar Bejo dengan lirih sembari mengelus kepala anak kelas tiga SD itu. Riga hanya terdiam, bibirnya manyun, matanya dipicingkan. Bejo sudah hapal arti raut wajah anaknya itu.
“Aku sebel sama Bapak.” Riga lalu berlari ke kamarnya, meninggalkan Bejo duduk berdua dengan kursi plastik merah pudar.
Dengan rasa sesak tertahan, Bejo mengambil air wudu ke sumur belakang rumah lalu melangkahkan kakinya yang kaku menuju masjid.
Sepulangnya dari masjid, makan malam berupa nasi dan oseng oncom hangat telah tersaji di atas tikar plastik usang di samping kursi plastik merah.
“Makan dulu, Pak.” bujuk istrinya seraya mengambil sajadah yang di bawa suaminya dan meletakkannya di kamar. Lalu dia bersegera menyendokkan nasi ke atas piring suaminya itu.
“Riga masih ngambek, Bu?” tanya Bejo sambil menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
“Tadi udah ibu bujuk, tapi dia nggak mau keluar kamar. Pas mau ibu suapin di kamar, dia nutup mukanya make bantal.” urai istrinya yang telah mengisi kehampaannya selama delapan belas tahun ini. Bejo hanya diam.
Seusai makan malam, Bejo duduk di teras depan pintu rumah, Bejo melamun. Apakah usahanya selama ini kurang maksimal? Tidakkah Allah melihat usahanya selama ini? Bejo tahu, tidak lah Allah memberikan cobaan kepada hambanya sesuatu yang tidak bisa dilaluinya. Bejo percaya itu.
Lamunan Bejo dibuyarkan dengan tepukan halus anak sulungnya tiba-tiba. Ranti duduk di samping ayahnya seraya berbisik, “Pak, tadi Ranti udah ngitung uang tabungan Ranti, ternyata udah dua puluh ribu.”
“Ya, siapa tau cukup buat beli RPULnya Riga.”
Dengan cepat Bejo menolehkan kepala ke arah Ranti.
“Jangan, Nak, katanya Kamu mau nabung untuk beli kamus Bahasa Inggris. Uang itu Kamu simpen aja ya. Insya Allah besok bapak bawa uang yang banyak untuk Kamu, Riga, dan ibu.”
“Enggak, Pak. Ranti belum terlalu butuh kok, masih bisa pinjem sama Cahya.”
Sebenarnya tidak hanya RPUL untuk Riga, namun semua tagihan-tagihan yang ditujukan kepada keluarganya membuat hatinya terjerembab.
Bejo menatap gadis kelas enam SD itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak disengaja bulir air matanya jatuh menyebar di pipi lelaki berusia empat puluh tahun itu. Raut wajahnya yang lebih tua dari usianya tersebut tersenyum bahagia.
Bejo memeluk anak sulungnya dengan isak tertahan.
***
Di bawah terik matahari yang menyengat kulit, Bejo menuju tempat para pedagang kaki lima di sudut jalan. Mereka terlihat tersiksa karena panasnya udara siang ini. Derasnya peluh membasahi baju mereka yang lusuh. Bejo mengendarai motornya dengan pelan, sambil berharap masih ada penjual buku kaki lima seperti yang dilihatnya minggu lalu. Sesaat kemudian, pandangan Bejo terpaut pada sebuah buku dengan sampul warna merah dan hitam dengan judul ‘RPUL Lengkap edisi baru’.
Betapa bahagianya Bejo, hanya dalam hitungan jam, dia akan melihat pancaran sinar di wajah anaknya lagi. Telah lama Bejo terdiam pilu saat mendengar bahwa hanya Riga satu-satunya murid di kelas yang tidak memiliki buku seharga dua puluh ribu itu.
Sekarang saatnya kembali mencari rejeki. Apabila kemarin di pangkalan hanya mendapatkan dua penumpang, siapa tahu dengan menyisiri jalan, penumpang akan berebut menghampiri. Bejo pun mengendarai Boim mengitari jalan yang padat kendaraan. Berharap ada penumpang yang menggunakan jasa antarnya. Udara panas bercampur unsur berat seakan memenuhi paru-paru Bejo yang kembang kempis meneriakkan udara bersih.
Setelah berkali-kali memutari jalan yang sama, akhirnya di bawah sebuah jembatan penyeberangan terlihat seorang lelaki muda melambaikan tangan ke arah Bejo.
Dengan perasaan gembira, Bejo menghentikan motornya di depan lelaki itu. Tidak di sangka-sangka, dengan nafsu membara, lelaki berusia sekitar dua puluh tahunan tersebut spontan meloncat ke atas motor Bejo.
“Cepet jalan, Bang!”
“Kemana, Mas?”
“Udah, jalan dulu, nggak usah banyak nanya lu!” orang itu mendorong-dorong punggung Bejo. Namun belum sempat Bejo meghidupkan motor, ternyata terdengar teriakan.
“Maling! Maling!”
Mendengar teriakan itu, Bejo dilanda kepanikan, kepalanya menoleh ke arah kanan dan kiri. Namun sumber suara tersebut tidak nampak. Hanya berselang beberapa detik, terlihat jelas massa berjumlah puluhan turun dari jembatan penyeberangan seraya berteriak-teriak.
“Maling! Maling!”
“Uda gua bilang, jalannya cepetan! Ah tau ah!” lelaki itu lalu turun dari motor Bejo dan berlari kencang seraya meninggalkan sebuah dompet di atas jok motornya. Bejo panik setengah mati saat massa tersebut hampir mendekat. Berkali-kali dihidupkan, motornya tidak mau menyala.
“Itu tu temennya maling!” teriak seseorang di antara kerumunan massa itu.
“Gebukkiiiiinn!!!”
***
Berkali-kali aku mengatakan pada diriku sendiri. Aku tidak pantas mempunyai cita-cita. Cita-cita apa yang berhak dimiliki tukang ojek sepertiku? Memang sudah seharusnya aku menolak usulan nama pangkalan itu. Kami, tukang ojek, tidak akan pernah ceria.
“Pak! Bapak! Ratna, bapak udah siuman. Alhamdulillah ya Allah!” dengan sayup-sayup Bejo mendengar suara seorang wanita paruh baya.
“Bapak!” terdengar pula isakan seorang anak perempuan dan anak laki-laki memenuhi pendengarannya.
“Ratna, panggil dokter! Cepetan!” Bejo mendengar langkah kaki yang menjauh.
Bejo membuka matanya dengan lirih.
“Bapak, udah sembilan hari bapak koma. Hiks hiks. Alhamdulillah ibu-ibu yang dompetnya dicopet bersedia ngebiayain rumah sakit. Ibu itu bilang kalo yang ngambil dompetnya itu anaknya. Jadi pas lagi di dalam mobil, mereka berdua berantem karena ibu itu nggak mau ngasih uang ke anaknya. Anaknya sering ngambur-ngamburin duit.” jelas istrinya, sangat terlihat rona kepanikan dan derasnya air mata menyeruak di wajahnya.
“Tau-tau si ibu itu teriak uangnya diambil. Orang-orang yang denger nyangkanya si ibu kemalingan.”
“Tapi yang penting bapak udah siuman.” ujar istri Bejo seraya memeluk suaminya yang sedang terbaring lemah.
Bejo mencoba bangun dari tempat tidur. Tangannya yang lemah menyentuh tubuh, terasa balutan perban mendominasi. Lalu matanya menuju sesosok wajah, air muka Bejo menyiratkan kebingungan. “Siapa Kamu?”
Mata istrinya membelalak kaget.
Langganan:
Postingan (Atom)