Kita
tidak tahu kapan kematian datang. Apakah sepuluh tahun lagi, satu bulan lagi,
atau bahkan besok. Kita pun tidak tahu bagaimana kematian menjemput. Dengan
berbagai cara takdir menunjukkan giginya dalam menarik kembali ruh dalam raga.
Bisa jadi kematian datang dengan cara yang baik, atau sebaliknya, datang dengan
cara yang paling buruk. Sebagai manusia yang lemah sudah sepantasnya meminta
pada Allah yang maha Agung agar saat ruh terpisah dari raga, keadaan diri dalam
khusnul khotimah.
Sebagai makhluk yang tidak kekal, tentunya tidak ingin di saat hati ini lalai, keimanan jauh dari kebaikan, tiba-tiba
saat itu pula malaikat pencabut nyawa melaksanakan tugasnya mengambil ruh.
Tidak sedikit orang-orang yang berada dalam kondisi tersebut. Seperti banyak
berita di media massa mengenai sekelompok pemuda yang meninggal akibat minum
miras oplosan, atau bahkan seorang laki-laki yang meninggal karena habis
menegak obat kuat di sebuah bilik wts. Na’udzubillahi min dzalik.
Manusia
bukannya tidak tahu pentingnya beribadah. Namun nafsu seringkali mendorong
manusia untuk berbuat menyimpang. Manusia pun bukannya tidak tahu bahwa akan
ada kehidupan setelah kematian, bahwa perhitungan amal dan dosa menentukan masa
depan akhirat. Namun lagi-lagi setan penggoda selalu menang menggoda para keturunan
Adam.
“Setiap yang berjiwa
pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan
kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan
dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Kematian akan menghampiri siapa pun, baik seorang yang shalih atau
durhaka, seorang pencari ilmu atau pun duduk diam di rumahnya, seorang yang
menginginkan negeri akhirat yang kekal atau pun ingin dunia yang fana, seorang
yang bersemangat meraih kebaikan atau pun yang lalai dan malas-malasan.
Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya.
Kematian
sudah pasti menjemput, sedangkan harta dan jabatan bukanlah suatu yang kekal.
Sungguh disayangkan bila obsesi pada suatu yang tidak kekal justru mengorbankan
masa depan akhirat. Menjemput harta dengan cara yang jelas-jelas diharamkan hanya
demi kepuasan sesaatu. Harta haram hanya memuaskan kebutuhan ragawi, tapi tidak
dengan ruhani. Hati akan selalu merasa was-was, tidak tenang, bahkan seperti
efek domino, harta haram bisa menyeret istri dan keturunan ke dalam jurang
kemaksiatan. Lalu bagaimana dengan kematian? Sungguh sulit para manusia dengan
harta haram dan kemaksiatan yang sudah mendarah daging masih teringat akan
datangnya kematian.
Kita
sebagai manusia hanya dapat mempersiapkan diri agar ketika kematian menjemput,
kita dapat menuju alam barzah dengan hati ringan. Kematian datang tanpa kita
duga sebelumnya. Amal seketika terputus, kecuali tiga hal. Amal jariyah, doa
anak yang soleh, dan ilmu yang bermanfaat. Sehingga perlu persiapan yang matang
dalam mempersiapkan kematian.
“Perbanyaklah
kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah
no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan
shahih.”)
Ada sebuah cerita. Beberapa
waktu yang lalu saat menghadiri talim di sebuah masjid daerah Kemang Bekasi,
saya dikejutkan dengan berita bahwa akan ada jenazah yang akan disholatkan di masjid
tersebut. Pengunjung talim memang sedang sangat ramai, hampir sekitar seratus
pengunjung. Dan memang tidak setiap hari
masjid tersebut mengadakan kajian keislaman. Maka di sela kajian, ketika
jenazah datang, kami pun segera menyolatkan jenazah beliau. Sungguh hal ini
menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tentunya ini bukan jenazah biasa sampai
Allah berkehendak beliau disholatkan oleh para pencari ilmu. InSyaAllah
ketaatannya yang menghantarkannya sampai di masjid ini.
Pilihan
selalu ada, akankah ruh dijemput kematian dengan kesiapan amal ibadah yang
matang, atau kematian akan menjemput saat kemaksiatan sedang melumuri diri.
Wallahu alam bishowab.
30 Oktober 2013
Amalia Larasati Oetomo
0 komentar:
Posting Komentar