Alhamdulillah alam sudah memasuki musim penghujan.
Langit yang biasanya terang menyelekit, saat ini agak menurunkan frekuensi
panasnya. Biru langit berubah menjadi kegelapan. Saat itu, awan yang selama ini menampung uap air merasa lega karena sudah tidak lagi membawa beban. Hujan turun
berbau harum saat menyentuh aspal yang tadinya panas. Tumbuhan yang letih karena terus menerus melakukan fotosintesis bisa terpuaskan dahaganya. Aah, indahnya hujan.
Hampir memasuki bulan November, sudah terlihat awan mendung dan hujan mengguyur. Siklus ini dapat dikatakan normal bila mengingat beberapa bulan
lalu musim hujan datang di bulan yang tidak semestinya.
Beberapa saat lalu, musim di Indonesia memang sering mengalami
keanehan. Saat SD dulu, pada pelajaran IPA kita pasti ingat, bahwa musim kemarau
terjadi pada bulan April sampai Oktober, sedangkan musim penghujan terjadi pada
bulan November sampai Maret. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Hujan di musim kemarau
terjadi karena ada peristiwa La Nina. La Nina akan muncul apabila suhu di permukaan
Laut Pasifik lebih tinggi dari tekanan udara di Indonesia, sehingga terdapat
hembusan angin yang membawa uap air menuju Indonesia.
Bersyukur bahwa musim hujan saat ini sesuai
prakiraan, yakni di bulan November. Hujan yang datang sesuai prediksi membuat
persiapan menyambut rintikan hujan semakin mudah. Apalagi hujan datang di awal
bulan. Para karyawan bisa bersiap tanpa memikirkan dompet menjadi tipis. Payung
yang sudah rusak dapat dengan segera diperbaiki. Mantel hujan yang sudah sobek
bisa diganti yang baru.
Bagi sebagian orang, hujan dirasa mengganggu
aktivitas. Ibu rumah tangga merasa kesal karena jemurannya tidak kunjung
kering. Tukang ojek mesti menepi di sisi toko pinggir jalan agar badan tidak
basah kuyup. Apalagi pedagang asongan dan gorengan, mungkin mereka merutuk bila
hujan seharian tidak berhenti.
Di sisi lain, hujan menjadi lahan rejeki baru
bagi segelintir orang yang gemar berpikir dan bersyukur. Anak-anak kecil ketika
pulang sekolah mencari-cari simpanan payung besar di sudut rumah mereka,
berharap mendapat beberapa koin untuk menambah uang jajan. Para tukang ojek pun
tidak kehabisan akal. Saat hujan turun, saingan dalam perebutan mendapatkan
penumpang pun berkurang. Hanya yang memiliki jas hujan yang menang. Sungguh
indah apabila kita senantiasa bersyukur tanpa mengeluh pada pencipta.
Ketika langit tidak henti-hentinya mengalirkan
hujan, genangan air meninggi, btak diapat dielakkan banjir pun melanda beberapa kawasan di
tanah air. Tidak terhitung lagi rumah dan pertokoan yang tergenang akibat
banjir. Pengungsi yang menjadi korban banjir menumpuk pada suatu titik,
mengharap bantuan dari pemerintah dan saudagar. Bahkan belum hilang di ingatan kita, kawasan
perkantoran Sudirman dilanda banjir, mengakibatkan beberapa orang tewas
tenggelam. Banjir seolah menunjukkan kekuatan yang selama ini dipendam, menghabisi tidak pandang bulu. Anak-anak
pengungsi terkena diare, bahkan bayi-bayi banyak yang menderita tipus dan
akhirnya meninggal. Rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung, luluh lantah akibat dihanyut banjir.
Banjir seperti menjadi malapetaka bagi sebagian
orang. Tidak hanya itu, luapan air serta-merta membuat lalu lintas terhenti,
macet semakin parah. Sudah dapat diprediksi, sistem perekonomian menjadi
tersendat. Distribusi barang tidak sampai tepat waktu, janji-janji terpaksa
diingkari karena sulit datang sesuai waktu yang disepakati.
Lalu siapa yang salah? Para pengeluh mulai sibuk mencari si kambing hitam. Sibuk menengok sana-sini, akhirnya lirikan tertuju pada hujan. Hujan tidak mau
disalahkan. Toh dia hanya menurunkan anggotanya yang selama ini menjadi beban para awan. Kalau
mau salahkan saja air laut yang menguap, mengapa banyak sekali air yang menguap
menuju langit. Air laut pun tidak mau bertanggung jawab akan kematian dan
kerugian materil manusia. Hey, salahkan saja matahari, mengapa terlalu terik
bersinar, sehingga menyebabkan air memanas dan menguap ke langit. Matahari yang
namanya baru saja disebut merasa kesal karena turut dimasukkan ke dalam permasalahan ini. Lalu matahari berkata, tahukan kalian
siapa yang salah? Dia berasal dari golongan makhluk yang membaca tulisan ini.
31 Oktober 2013
Amalia Larasati Oetomo
31 Oktober 2013
Amalia Larasati Oetomo
0 komentar:
Posting Komentar