Pengunjung Lapak

Rabu, 01 Februari 2012

Setitik Noda Jatuh, Kertas Itu Tetap Putih



Untuk Sena, Rafki, dan Penyandang Disabilitas yang lain.
Pukul Sembilan malam, dua laki-laki itu menjadi tujuan tatapan puluhan pasang mata di sana. Sena dan Rafki. Mereka berdua tampil di hadapan para peserta Inagurasi FLP Ciputat yang lain. Lampu dimatikan sebagian, terdengar suara satu sosok mengagumkan. Suara itu melontarkan puisi-puisi yang kala itu membuat hampir seisi ruangan tertegun. Termasuk saya. Baru beberapa kalimat pertama yang terdengar, sudah membuat saya menangis sesegukan. Puisi tersebut puisi cinta. Cinta kepada sesama manusia. Cinta kepada Allah SWT. Cinta yang menjadikan kita merasa malu telah begitu sering tidak bersyukur akan kesempurnaan. Seringkali celah kecil membuat kita merutuk sepanjang jalan. Sedangkan masih banyak sosok-sosok dengan kekurangan, namun menjadikan kekurangannya sebagai doping dalam
berusaha mencapai cita.
Dia adalah Sena yang dengan lantang membacakan puisi dari hati. Dari hati? Ya, dia menuliskan puisi itu di hatinya. Bukan di selembar kertas. Selain Sena, tampak Rafki mengiringinya dengan gitar. Selain itu ada tiga perempuan yang berperan sebagai sosok Sena dan Rafki. Berkeliling panggung sembari memegang tongkat putih.
Puisi itu menggambarkan suasana hati mereka akan ketidaksempuraan yang dimiliki. Puisi itu bercerita mengalun mengenai cerita tentang persahabatan dua penyandang disabilitas di sebuah sekolah normal yang penuh “ketidaknormalan”, bagaimana saat itu Sena dijemur berdua bersama temanya di tengah lapangan karena tidak sengaja mengunci temannya di gudang, cerita sendu akan sedihnya Sena ketika ternyata temannya tersebut meninggalkannya untuk menghadap Allah SWT terlebih dahulu, cerita tentang impian menjadi sosok hebat tanpa mengait-ngaitkan kekurangannya, cerita tentang impian untuk menepiskan anggapan bahwa tuna netra hanya dapat menjadi tukang pijat. Saya yakin usaha Sena dan Rafki akan berbuah manis. Memasuki sebuah komunitas penulis
Sebelumnya, saya memberanikan diri untuk mencoba berkenalan dengan Sena dan Rafki. Meski sebenarnya awalnya agak canggung karena sebelumnya saya belum pernah mengobrol dengan seorang penyandang tuna netra. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya pun mencoba untuk menegur sapa. Setelah mengobrol beberapa menit, ternyata mereka berdua adalah sosok yang sangat menyenangkan. Namun pada akhirnya saya lebih banyak mengobrol dengan Rafki karena saya duduk bersebelahan dengannya saat itu.
Dari percakapan panjang, saya menemukan sisi lain dari mereka. Banyak hal yang membuat saya kagum berat. Rafki berkuliah di UIN semester sepuluh. Bahkan satu fakultas dengan saya. Jujur, saya sedikit terkejut, pasalnya saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Saya memang sering melihat seorang mahasiswa penyandang tuna netra, tapi bukan Rafki. Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia itu bernama Wijaya. Awalnya saya berpikir mahasiswa penyandang disabilitas hanya mahasiswa bahasa Indonesia itu, namun ternyata masih banyak yang lain, termasuk Rafki. Sedangkan Sena adalah siswa SMA 66 Jakarta.
Kami berdua pun saling bercerita, saya baru tahu bahwa Rafki sudah sangat lama tidak menginjakkan kaki di sekolah luar biasa (SLB). Rafki tidak lagi bersekolah di SLB sejak memasuki jenjang SMP. Awesome! Pasti sangat berat untuk seseorang dengan disabilitas bersekolah di sekolah umum. Tapi nyatanya dia berhasil! Terakhir kali Rafki memasuki SLB yaitu saat melakukan praktek mengajar (PPKT) di sebuah SMP SLB yang ternyata merupakan sekolah Sena. Kereenn.
Setelah tampil, Sena masih sempat melontarkan kelucuan. Saya berkata, “Hebat tadi penampilanya, buat aku nangis. Banyak yang nangis loh, Sen. Menyentuh banget. Kereen”, pujiku sembari menyodorkan dua jempol tanganku di hadapan mereka. Sambil terkekeh-kekeh Sena dengan enteng menjawab, “Hypnowriting saya berhasil, udah bikin banyak orang nangis, hehehe.” Mendengar jawaban dari Sena, beberapa temanku berkata, “Sena harus tanggung jawab udah bikin kita nangis.”
Banyak hal yang saya pelajari ketika berbincang dengan mereka. Mereka sangat peka terhadap suara. Ketika siang harinya saya menegur mereka lagi, lalu dengan spontan Rafki mengatakan “Amel ya?” padahal tidak hanya saya yang berbicara dengannya di hari itu. Selain itu, saya yakin mereka memiliki imajinasi yang sangat tinggi melebihi manusia normal. Bayangkan, seseorang yang belum pernah melihat apapun seumur hidupnya, dituntut harus membayangkan sesuatu di sekelilingnya. Maka, ketika acara berlangsung, seperti pertunjukkan yang tidak dapat mereka pahami, biasanya ada beberapa teman yang menceritakan kejadian yang tengah berlangsung. Biasanya mereka selalu merespon dengan antusias. Mereka bertanya sembari membayangkan.
Selain itu, mereka luar biasa menyenangkan. Mereka selalu ber-positive thinking dalam menilai persoalan. Tawa dan canda tidak perlah luput dari keseharian mereka. Sungguh Allah telah menciptakan kelebihan yang tidak terlihat mata.
Dalam hati, aku sungguh iri dengan semangatmu, kawan. Perjuangan ini belum berakhir. Betapa saya takjub melihat mereka tidak pernah melupakan solat. Mereka pun sering membaca al-Quran dengan huruf braile. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada mereka, sehingga mereka tetap bersemangat dalam mencapai cita di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Hei kawan, tidak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah manusia malas. Malas belajar, malas bermimpi, malas berusaha, malash bekerja keras, malas membantu sesama. Semestinya kita yang masih menyandang kata malas harus belajar kepada mereka, penyandang disabilitas. Atau sebenarnya kita yang normal ini sebenarnya penyandang disabilitas. Kita ini tuna karya, tuna kemanusiaan, tuna kedermawanan, tuna kerja keras, bahkan tuna kepercayaan.
Mereka menyadarkan kita akan pentingnya bersyukur kepada Allah SWT.

30 Januari 2012
Amalia Larasati Oetomo

1 komentar:

outbound malang mengatakan...

kunjungan..
sukses selalu ..:)

Posting Komentar

Share this article ^^