Pengunjung Lapak

Selasa, 31 Januari 2012

Narasi Perijinan


Oleh: Amalia Larasati Oetomo
20 Januari 2012
Somalia, mungkin ini negara pertama yang akan saya kunjungi sebelum saya menginjakkan kaki saya di negara impian saya, Arab Saudi. Memang, negara Somalia bukanlah negara tujuan umat muslim untuk umrah atau pun pergi haji, tapi saya yakin akan ada sejuta cerita dan kebaikan di sana.
Bersama dengan keenam sahabat, kami semua memiliki kesempatan untuk dapat pergi ke sana. Terlepas siapa pun yang diberikan amanah untuk menjadi relawan. Menjadi relawan bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya diperlukan perjuangan tenaga dan pikiran, namun juga keikhlasan hati yang besar. Selain itu dibutuhkan keahlian khusus dalam meringankan beban trauma dan memberikan penyuluhan mental kepada para korban. Hal itu yang akan kami pelajari.
Banyak persiapan yang pastinya akan kami persiapkan dalam mengemban amanah ini. Dari persiapan program, dana, ilmu, keahlian, dan pastinya ijin dari orang tua. Bagi saya, persiapan terakhir inilah yang paling sulit saya lakukan. Karena apabila persiapan lain sudah
dilaksanakan tapi ijin dari orang tua belum saya dapatkan, maka rencana yang sudah disusun rapi tersebut akan mengakibatkan kegagalan.
Penuh rangkaian panjang setiap meminta suatu hal kepada orang tua. Baik meminta ijin maupun meminta suatu materi. Bapak selalu meminta penjelasan rinci tiap kali saya meminta sesuatu. Dimulai dari apa latar belakang saya meminta ijin, bersama siapa, apa tujuan dan manfaatnya. Apabila kalimat saya dalam mengungkapkan alasan tidak dapat diterima, maka hasil akhir yang saya peroleh adalah penolakan. Apapun keputusan bapak adalah suatu keputusan akhir yang tidak dapat digugat. Maka, biasanya bapak tidak pernah seketika memberikan keputusan, selalu menunggu agar saya dapat meyakinkan beliau. Berbeda dengan ibu, ibu selalu spontan dalam memberikan pendapat. Beliau selalu memberikan keputusannya saat itu juga, meski keputusannya tersebut dapat diubah-ubah.
Begitu juga dalam meminta perijinan terkait pemberangkatan ke Somalia. Agak sulit untuk memulai pembicaraan terkait perijinan kepada orang tua. Saya selalu memulainya untuk berbicara kepada ibu terlebih dahulu untuk melihat respon dari beliau. Ketika berbicara dengan ibu, biasanya saya mengawali dengan bercerita mengenai kegiatan yang saya lakukan di kampus dan luar kampus. Seperti cerita mengenai kegiatan perkuliahan, teman-teman, organisasi, dan lain-lain. Lalu akhirnya cerita pun merembet terkait Somalia.

Saya: “Bu, tadi Laras diskusi tentang jurnalistik. Awalnya ngomongin tentang jurnalistik, terus terakhir-terakhirnya ada tawaran untuk jadi relawan ke Somalia.”

Ibu: “Oh, nggak bisa. Nggak boleh. Kemaren Laras minta ijin mau ke Palembang untuk jadi volunteer Sea Games aja ibu nggak bolehin. Ke Palembang aja Laras nggak boleh, apalagi ke Somalia. Pokoknya nggak boleh.”

Saya: “Ibu, Laras di sana kan mau jadi relawan ngajar di sana, jadi paling cuma seminggu. Nggak lama kok.”

Ibu: “Somalia negara miskin, jadi pasti rawan. Di sana pasti banyak penyakit. Kemaren Laras abis kena tipes kan? Gimana mau bantu orang, Laras aja sakit-sakitan terus. Muka Laras aja tampangnya kayak orang penyakitan. ”

Saya: #SKAKMAT

                Saya pikir, percuma saja meminta ijin kepada ibu saat ini, beliau perlu untuk diyakinkan lagi. Sebenarnya saya bukan seseorang yang mudah sakit, karena konsumsi makan saya selalu melebihi porsi normal. Hanya, seminggu sebelumnya saya memang baru sembuh dari sakit, jadi ibu mengasumsikan bahwa saya orang yang mudah jatuh sakit. Terlepas dari hal itu, terlihat ibu sangat menghawatirkan saya. Beliau pasti tidak akan mudah melepas anak gadisnya untuk pergi ke suatu tempat yang jauh tanpa ditemani orang tua.
                Selanjutnya saya pun berbicara dengan bapak. Seperti yang saya duga sebelumnya, bapak tidak pernah langsung memberikan jawaban terkait rencana pemberangkatan ke Somalia. Beliau mempertanyakan:
-Pergi bersama siapa?
-Dalam rangka apa?
-Apa tujuannya?
-Apakah ada manfaatnya?
-Apakah keberangkatan tersebut sesuai dengan syariat Islam atau tidak?
                Setelah menelan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menjelaskan panjang lebar apa itu Somalia, rencana kegiatan yang akan kami lakukan, apa saja persiapan yang kami persiapkan, dan tentunya menjawab-menjawab pertanyaan beliau. Seperti biasa, bapak selalu mendengar dengan penuh antusias dan balik bertanya. Akhir diskusi pun diakhiri dengan jawaban yang masih mengambang.
^^sebulan kemudian
                Suatu hari di rumah makcik* Febri, kami sangat panik melihat nenek tiba-tiba pingsan. Padahal beliau kemarin tidak salah makan. Akhirnya kami membawa beliau ke rumah sakit terdekat. Dokter mengatakan bahwa beliau harus dirawat di ruang ICU, kami pun terkaget-kaget. Memang, nenek harus menjaga makan dan pikirannya. Karena beliau sebelumnya sudah menderita darah tinggi, lemah lambung, dan asam urat. Namun berdasarkan hasil analisa dokter, ternyata kadar gula dalam darah beliau sudah tinggi. Saya semakin terperanjat, pasalnya beliau tidak memiliki riwayat gula darah tinggi. Bahkan sehari sebelumnya ketika beliau buka puasa, saya memasak semur ayam dan oseng kangkung. Kedua masakan saya tersebut memang manis karena nenek tidak boleh memakan makanan yang pedas. Selain itu saya juga memberikan es sirup markisa. Seketika saya pun lemas, jangan-jangan karena masakan saya nenek terkapar di rumah sakit. Ternyata ketika makcik Febri mengatakan bahwa nenek memang sudah dinasehati untuk mengurangi minuman dan makanan manis, namun karena nenek gemar makanan dan minuman manis, sehingga kami bingung juga untuk melarang beliau.
Nenek adalah nenek satu-satunya bagi saya. Beliau sangat berharga, karena apabila beliau dipanggil oleh Allah, saya tidak akan memiliki nenek lagi. Pasalnya, ibu dari ibu saya tersebut merupakan satu-satunya orang tua bagi orang tua saya. Bahkan ketika lahir, mereka sudah menghadap Allah SWT terlebih dahulu sebelum saya sempat melihatnya.
                Malam itu saya dan makcik Febri menginap di rumah sakit. Saat itu saya bercerita terkait rencana saya untuk pergi ke Somalia. Makcik Febri pun merepon dengan sangat baik. Beliau mendukung saya untuk melakukan hal tersebut. Bahkan beliau mengatakan bahwa sebaiknya ambillah semua pengalaman ketika muda selama itu baik. Saya meminta beliau untuk membujuk ibu agar memberi ijin. Makcik Febri pun dengan semangat ingin membantu saya.
                Siangnya, ibu, dan beberapa saudara datang menjenguk. Saat itu saya melihat betapa anak-anak dari nenek saya begitu peduli dengan ibu mereka. Ketika mereka mendengar nenek pingsan, seketika itu juga mereka langsung berangkat ke sini, meskipun tempat tinggal amatlah jauh. Ada yang bertempat tinggal di Wates Jawa Tengah, Sleman Jawa Tengah, Palembang, dan sebagian lagi di Jakarta. Sebelum tinggal dengan makcik Febri, nenek sebenarnya tinggal sendiri di rumahnya yang terletak Kasui, perbatasan Lampung dengan Palembang. Rumah beliau masih berupa rumah panggung adat suku Semende, yang terbuat dari papan kayu. Awalnya, kedelapan anak beliau sudah menawarkan untuk tinggal bersama mereka, namun beliau dengan tegas mengatakan tidak ingin meninggalkan rumahnya. Namun setelah sekian lama dibujuk, akhirnya beliau mau untuk tinggal bersama anak beliau. Karena kondisi nenek yang sudah tua dan rapuh.
Di ruang tunggu pasien, saya bersama ibu saya, Syita (adik perempuan saya), sepupu-sepupu, makcik-makcik, makwo**, dan mamang*** duduk bersantai di sana. Bapak dan Zhofran (adik saya yang paling kecil) sedang di luar. Saat itu juga saya mengatakan keinginan saya untuk berangkat ke Somalia. Saya pun mendengar respon yang baik dari mereka. Dan mayoritas dari mereka ingin mendukung saya. Seketika itu juga mereka langsung berbicara dengan ibu untuk mengijinkan saya berangkat ke Somalia. Apabila pada awalnya ibu sangat yakin tidak mengijinkan, saat itu pendapat ibu tampak goyah. Kondisi itu saya manfaatkan untuk bercerita lebih banyak mengenai kegiatan apa yang akan saya lakukan, lalu manfaat-manfaat yang akan diperoleh, meskipun saya tetap mengatakan bahwa saya belum tentu akan berangkat karena keberangkatan tergantung dengan dana yang diperoleh. Tapi lucunya ada salah satu makcik yang mengatakan, “Laras kan kuliah fisika, kok malah jadi relawan. Emang ada hubungannya sama kuliahnya?”

^^dua minggu kemudian
                Di ACT, sore itu kami mempresentasikan program kerja kami di depan petinggi ACT dan KISS. Tanpa kami duga sebelumnya, mayoritas konsep kami diterima dengan baik. Alhamdulillah pembimbing kami, Pak Iqbal, selalu memberikan masukan-masukan terbaik kepada kami. Sepulangnya, tim kami masih tetap berdiskusi mengenai program kedepan yang akan kami lakukan.
                Di rumah. Dua hari setelah rapat mengenai Somalia di ACT, saya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, saya segera beristirahat di kamar. Karena ketika sampai sudah malam hari, sehingga perlu mengistirahatkan diri sejenak. Setengah jam kemudian, ibu memanggil saya untuk makan malam. Di meja makan, kami pun mengobrol panjang. Sembari menyuap nasi ke mulut, saya bercerita kembali mengenai rencana pemberangkatan ke Somalia. Karena merasa sudah sedikit mendapat lampu hijau, saya bercerita panjang lebar. Cerita mengenai rapat-rapat internal kami, baik di ACT maupun di luar. Lalu dengan spontan ibu menjawab tidak mengijinkan.

Ibu: “Tadi ibu liat di TV ada relawan yang ke Somalia meninggal. Namanya dokter Andreas. Udahlah, nggak usah mimpi mau ke sana. Ibu sama bapak nggak akan ngijinin. Jadi nggak usah ngabisin waktu untuk persiapan, karena Laras nggak akan ikut toh?”

             Saya terdiam. Berpikir apa yang harus saya jawab. Mengapa saat ini ada saja hal yang mengintervensi ibu yang menyebabkan ibu tidak lagi mengijinkan saya. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan.

Saya: “Kemaren pas rapat di ACT udah sempet dibahas. Dokter Andreas itu bukan bagian dari tim ACT, tapi dari tim yang lain, Bu. Insya Allah tim ACT yang udah berangkat ke sana nggak apa-apa. Udah tiga kali mereka ngirim relawan.”

Ibu: “Enggak enggak. Tetep nggak boleh. Somalia itu negara konfilk, Ras. Nggak ada jaminan keselamatan di sana.”

Saya: “Gini, bu. Kematian adalah takdir. Kalau sudah waktunya, kapan dan dimana pun pasti ajal akan menjemput. Jadi nggak usah dipusingin masalah ajal, karena nggak ada yang tau kapan kematian akan datang.”

Ibu: “Sama aja, Ras. Kalau Laras kenapa-kenapa di sana gimana? Apakah masih mau menyalahkan takdir? Lagipula Laras ke sana nggak sama mahram. Nanti ibu sama bapak berdosa membiarkan anaknya pergi tanpa mahram.”

Saya: “Kan yang berangkat ada perempuannya, jadi masih diperbolehkan, Bu.”

Ibu: “Enggak, enggak boleh. Ibu sama bapak nggak mau berdosa. Kalau tetep mau berangkat, Laras nikah dulu, baru boleh pergi. Jadi, Laras bukan tanggung jawab ibu sama bapak lagi.”

Saya: #membisu#

Ibu: “Makanya Laras nikah dulu aja ya. Udah ada calonnya belum? Inget loh, jodoh itu sudah ada, tapi mendapatkannya tergantung usaha. Nikah dulu aja ya. Laras udah 21 tahun, bentar lagi 22 tahun, jadi harus disegerakan. Kalau bisa sebelum lulus harus udah ada, jadi pas lulus bisa langsung nikah. Nggak usah nunggu S2 dulu. Kalau udah S2 malah susah dapetnya. Makanya lain kali kalau ada yang ngelamar langsung diterima aja. Makin banyak nolak, takutnya makin susah loh dapetnya.”

Saya: %$%@&%!!!@$#%$&*@@$#

Masalah perijinan yang berakhir pada masalah mencari jodoh. Sebaiknya saya pending dulu terkait perijinan ini.

*sebutan adik perempuan ibu dalam bahasa semende.
**sebutan untuk kakak perempuan ibu dalam bahasa semende.
***sebutan untuk adik laki-laki ibu dalam bahasa semende.

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^