Pengunjung Lapak

Jumat, 20 Januari 2012

Berpikir kritis meningkatkan ranah keilmuan

Can Asians Think?(2005)
Kalimat tersebut merupakan judul sebuah buku karangan seorang pemikir Asia progresif Kishore Mahbubani yang disadur dari artikel Abdul Allam Amrullah. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dapatkan Orang Asia Berpikir? Kalimat yang agak provokatif menurut Abdul. Menurutnya, lebih ke arah provokatif sensitif. Mengapa sensitif? Karena sudah memasuki fragmen rasis yang berkaitan dengan martabat dan harga diri bangsa.
Kawasan Asia yakni kawasan yang terdiri negara dengan sejuta peradaban. Sebut saja kawasan timur tengah dengan peradaban Islamnya. Betapa jayanya masa Bani Ustmani yang ternyata terporakporandak oleh manipulasi politik dan teror rendahan yang dibumbui serta penghianatan. Lalu Negara Cina dengan peradaban Tionghoa, dan tentu saja Indonesia yang kaya akan budaya. Lalu, bagaimana bisa bangsa-bangsa Asia yang awalnya merupakan pelopor dari berbagai pengetahuan dan ilmu tertua dapat begitu mundur dan beralih menjadi
bangsa kelas dua. Padahal kawasan barat saat itu merupakan bangsa yang diliputi jaman kegelapan?
Peradaban Asia akan mencapai tingkat perkembangan yang sama dengan peradaban Barat. Realitas mendasar yang masih baru di Asia adalah keyakinan sejati dan kepercayaan diri dalam pikiran baru orang Asia bahwa saat ini mereka telah datang. Dan diakui atau tidak, banyak pikiran orang Asia telah mencapai tingkatan-tingkatan tertinggi peradaban Barat di bidang ilmu dan pengetahuan, bisnis dan administrasi, seni dan sastra. Hampir semuanya berkembang pesat. 
Yang menjadi polemik saat ini adalah, mengapa saat ini bangsa Asia selalu membebek pada barat? Tidakkah orang Asia dapat berpikir? Atau saya mengerucutkannya menjadi, apakah orang Indonesia berpikir? Apabila ditelisik lebih jauh, terdapat kesalahan dalam sistem pengajaran yang mengajarkan perspektif yang salah dalam teori belajar.

Stagnannya Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia mengalami kondisi yang stagnan. Belum ada kemajuan yang signifikan pada bidang keilmuan di Indonesia, khususnya pada bidang sains.  Setiap tahun siswa terpilih dikirim ke luar negeri untuk memenangkan lomba Olimpiade tingkat dunia. Sewaktu menyaksikan pengumuman hasil olimpiade biologi internasional, semua orang berkomentar bahwa ini adalah "All Asian Final" karena nyaris semua peraih medali emas adalah dari negara Asia, atau kalaupun bukan dari negara Asia, wajah mereka semua Asia. Jadi di bidang2 tertentu, orang Asia justru lebih unggul daya pikirnya daripada bangsa-bangsa lain. Tidak hanya itu, setiap tahun pula siswa Indonesia memeroleh medali emas. Berdasarkan dari fenomena tersebut, sebenarnya kecerdasan masyarakat Indonesia cenderung unggul di bandingkan dengan negara lain. Tapi pada kenyataannya, tidak pernah sekali pun ilmuwan Indonesia memenangkan nobel.
Di Indonesia, seorang guru cenderung menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman, sedangkan aspek aplikasi, analisis, sintesis, dan bahkan evaluasi hanya merupakan sebagian kecil dari pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa kurang mengembangkan daya nalarnya dalam memecahkan konsep-konsep yang telah dipelajari dalam kehidupan nyata.
Padahal keterampilan berpikir merupakan modal terbesar dalam memahami konsep ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga perlu kiranya bahwa masyarakat Indonesia berpikir cerdas dan terampil. Karena seorang yang cerdas tidak begitu saja menerima informasi yang diterimanya. Perlu adanya beberapa informasi yang perlu dikaji secara mendalam, sehingga didapatkan konklusi akhir dalam menentukan sikap.
Sikap inilah yang sangat dibutuhkan oleh para ilmuwan, khususnya fisikawan, karena dengan kemampuan berpikir kritisnya, dapat ditemukan konsep-konsep, hukum, dan teori fisika dalam menyambangi rasa ingin tahunya akan fenomena alam.

Intelektualitas Berawal dari Struktur mental
Seorang ahli biologi Swis, J. Piaget, tertarik akan hal ini. Mengapa seorang ilmuwan seperti Newton dapat menemukan teori seperti mekanika klasik, atau Max Planck dengan teori radiasi benda hitamnya. Tahap berpikir dibutuhkan dalam menemukan suatu hipotesis yang hanya berdasarkan fakta, bukan asumsi. Bukan kecerdasan dengan hapalan tanpa pemahaman. Selain itu, didapatkan hasil bahwa faktor usia tidak menjamin taraf perkembangan berpikir. Menurut Piaget, perkembangan intelektual ditentukan oleh struktur mental yang disebut dengan skemata (scheme). Struktur mental terbentuk ketika anak berinteraksi dengan lingkungannya yang akan menyebabkan suatu perubahan dalam perkembangan berpikir.
Dalam struktur berpikir anak, dapat ditemukan konten yang tampak pada respon dalam menghadapi berbagai masalah dan situasi. Sehingga struktur berpikir ini akan membuat kemajuan intelektual dalam bentuk organisasi dan adaptasi. Pada anak dengan taraf berpikir formal (berpikir abstrak), adaptasi dapat dimulai dari proses asimilasi atau akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi menjadikan seorang anak mencapai kesetimbangan yang mampu memungsikan taraf kemampuan kognitif kepada taraf yang lebih tinggi.
Namun sayangnya, pembinaan struktur mental lagi-lagi dilupakan oleh pengajar. Sekolah hanya sibuk mendulang nilai kognitif dengan tidak mengindahkan afektif dan psikomotorik. Standar kelulusan siswa pun hanya ditentukan dari satu bundel tipis soal UN. Ironinya, tujuan seorang siswa sekolah adalah menghapal materi yang akan tertera di soal, bukan untuk menguasai konsep dan keterampilan berpikir.

Pola Pikir
Keterampilan berpikir yang diterapkan saat ini masih jauh dari sempurna. Faktor kognitif yang dikedepankan dalam proses pengajaran bertolak belakang pada struktur mental yang menjadi acuan pengembangan intelektualitas oleh Piaget. Walaupun sebenarnya beberapa aliran psikologi kognitif menyatakan bahwa ilmu tidak hanya bersumber dari guru, siswa dapat memperoleh informasi terkait dan mengembangkannya tanpa bantuan guru.
Pola pikir dapat membantu seseorang dalam memahami dan mengukur fenomena alam serta mengembangkannya dalam bentuk konsep. Dalam mengajar, seorang guru semestinya menerapkan pola pikir realistik, karena menurut Bochenski (1987), diperlukan usaha dalam menetapkan pemahaman akan objek atau permasalahan yang akan dicari permasalahannya.
Dalam pola pikir seorang fisikawan, dituntut untuk mengembangkan pikiran dari beberapa fakta lalu berakhir dalam penarikan konklusi. Pada momen penarikan konklusi, perlu dipertimbangkan akanproses berpikir yang didasari asumsi bahwa sesuatu yang benar pada suatu fakta dari suatu kelompok fenomena tertentu adalah benar bagi seluruh anggota kelompok hukum tertentu. Contohnya, pada hukum Newton 1, 2, dan 3. Hukum Newton tercakup dalam mekanika klasik, yang dalam aplikasinya terkadang juga digunakan oleh mekanika quantum. Karena aspek yang menonjol pada sains adalah bahwa semuanya tersebut berkaitan erat satu sama lain.
 Menurut Kadri Nowsky Siregar, dosen FMIPA IKIP Medan, seorang siswa yakni manusia yang memiliki potensi dalam mengembangkan pola pikirnya layaknya fisikawan memecahkan masalah fisika. Perbedaan di antara mereka hanyalah taraf pengetahuan yang ditelaahnya.
Yang menjadi masalah di sini adalah kurangnya penghargaan seorang guru terhadap pencapaian analisis siswa. Jadi agak sulit bagi seorang anak untuk mengembangkan pengetahuannya dalam menemukan suatu penemuan yang baru. Guru tidak menekankan analisis terhadap suatu proses. Hanya hapalan dan hapalan. Mungkin mobil Kiat Esemka sedikit menepiskan anggapan tersebut, terbukti anak Indonesia telah menghasilkan produk yang layak dibanggakan. Walaupun tetap saja pencapaian masyarakat Indonesia dalam mengubah cara pandang akan ilmu pengetahuan harus diubah.

Oleh: Amalia Larasati Oetomo
19 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^