Pengunjung Lapak

Sabtu, 11 Februari 2012

Melukis Senyum



Takdir merupakan suatu ketetapan yang haq, tidak dapat diganggu dan digugat. Suatu perkara yang terjadi adalah rentetan takdir yang telah ditetapkan sebelumnya. Seorang insan tidak dapat mengetahui takdir yang telah ditentukan oleh-Nya. Seorang insan hanya dapat melakukan usaha dan kerja keras dalam mencapai takdir, meski takdir hanya bisa diperoleh berdasar kehendak-Nya.

Persahabatan kami dimulai dari suatu jalinan proses yang panjang. Takdir yang mempertemukan kami. Berawal dari mengikuti suatu organisasi kampus, sampai akhirnya menemukan beberapa komunitas dan organisasi di mana rasa nyaman dan ukhuwah diperoleh. Bergelut dengan dunia organisasi banyak menanamkan pelajaran dalam keseharian. Pelajaran mengenai solidaritas, kedewasaan, dan banyak lagi ilmu-ilmu bermanfaat.
Terkadang terbersit kekhawatiran orangtua ketika saya menggeluti berbagai organisasi. Kekhawatiran itu timbul akibat saya yang memang kurang pandai mengatur waktu. Bertubi-tubi nasihat pun saya dapatkan ketika memulai perkuliahan. Nasihat bahwa kegiatan perkuliahan adalah tanggung jawab pribadi dan mereka akan mengurangi kontrol terhadap saya. Lagi-lagi mereka berkata bahwa kuliah di UIN adalah pilihan, mereka lebih merestui perkuliahan jurusan pendidikan di kampus sekarang dibandingkan kedokteran hewan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Padahal sudah jelas nama dan nomor saya tertera di koran nasional kala itu. Tinggal selangkah lagi, yakni mendaftar ulang, saya akan bisa berkuliah di almamater yang sama dengan bapak. Namun, bujuk rayu nyatanya tak mempan dalam meraih ijin dari mereka. Tidak ingin melepas anak gadisnya pergi jauh adalah alasan terkuat. Dengan hati gondok, akhirnya dengan berat hati saya menuruti keputusan mereka. Melepas impian “Laras mau jadi dokter”sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Setahun berlalu, tidak diduga sebelumnya, banyak hal baru yang menjadi momen awal pendewasaan diri, yang mungkin tidak dapat saya peroleh di universitas impian saya itu.
Perjalanan panjang itu ternyata sampai pada suatu momen berharga ini. Momen yang sempat saya torehkan pada buku mimpi. Meski pada awalnya tidak sempat membayangkan akan mendapat kesempatan untuk merealisasikan. Namun ketika pena menggoreskan satu kalimat itu, pikiran dan hati sekelebat tidak sinkron. Pikiran menuntut si hati yang tidak realistis menjunjung mimpi dan harapan. Pikiran pun menolak memberikan perintah pada sensor motorik untuk menggerakkan tangan menulis torehan kata. Ternyata hati memiliki andil kuat dalam menentukan arah, hati berkata pada si pikiran bahwa jalan hidup tidak seperti air mengalir. Kehidupan tidak melulu konkrit, dengan keyakinan kuat, mimpi-mimpi besar pasti dapat diraih.
Lihatlah bagaimana umat Islam mengalami pertempuran paling heroik di era awal perkembangan Islam, yakni Perang Mut’ah. Pasukan umat Islam yang hanya berkekuatan 3000 muslim melawan pasukan Romawi dengan kaisarnya bernama Heraclius. Pasukan Romawi dengan jumlah 200.000 nyatanya berhasil dikalahkan oleh pasukan Islam. Hati akhirnya mengendalikan pikiran yang termaktub dalam untaian keyakinan.
Keyakinan itu yang membawa kami sampai pada titik ini. Keyakinan yang berasal dari kekuatan hati dilanjutkan dengan pengendalian akal sehat. Keyakinan berawal pada hati kami. Diawali betapa hati terenyuh melihat saudara yang begitu menderita terombang ambing takdir, menyebabkan mereka tidak dapat hidup layak. Ketika raga menyelusuri jalan, tampak penuh para gelandangan memadati kolong jembatan layang. Tidur pulas beralas terpal bekas berselimut sarung kumuh. Tidak dapat dibayangkan apabila turun hujan, mereka kedinginan tanpa dapat menghangatkan tubuh. Sebatang kara hidup meminta. Memeluk tubuh menggigil di atas tanah becek.
Selain itu tampak pula anak kecil berusia tiga tahun berbaju lusuh bernyanyi dengan suara parau di sebuah angkutan umum. Mungkin kelelahan setelah seharian mengamen, atau terlalu capek dibentak karena setoran yang kurang. Wajahnya memelas ketika menadahkan tangan seusai bernyanyi, berharap koin-koin tersisa yang terselip di kantung para penumpang. Tampak beragam respon yang ia terima, ada penumpang yang mengabaikannya, ada pula yang dengan santun menolak, dan meski ada juga penumpang yang memberikan sisa recehnya.
Sebenarnya mimpi yang tersimpan ini sederhana, ingin mengembalikan senyum ceria mereka. Betapa hati ini bahagia ketika melihat anak-anak pemulung dengan terbata-bata dapat membaca iqro. Dengan semangat yang tak pernah luntur, mereka belajar meski tempat tidak memadai. Bertempat di sebuah ruangan yang terbuat dari atap seng, dan beralaskan tikar di atas tanah, dikelilingi tumpukan sampah, mereka tetap semangat. Bahkan ketika kami para pengajar tidak sempat hadir, mereka ternyata menunggu kami sampai jam selesai.
Pernah suatu hari, ketika itu turun hujan, ada seorang anak dengan baju basah kuyup datang. Saya bertanya kepadanya, “Sayang, kamu nggak ngaji? Kok masih pake baju sekolah? Basah lagi.” Dengan tas basah dipelukan, dia menjawab, “Aku baru pulang sekolah. Kakak, jangan dulu selesai ya ngajinya. Aku mau ngaji, tungguin aku ya, aku mau ganti baju dulu.” Badannya menggil kedinginan. Aku menatap wajahnya sambil mengangguk. Selepas dia pergi, tak sengaja setetes air mata mengalir.
Setengah jam kemudian, terdengar adzan maghrib, dia tak kunjung datang. Salah seorang teman mengatakan sebaiknya kami segera pulang. Namun aku tidak sanggup meninggalkan anak perempuan itu. Dia ingin mengaji. Lalu salah seorang murid berkata padaku, “Kak, dia kayaknya lagi disuruh bantuin ibunya di rumah, jadi jarang ngaji, Kak.” Kepalaku mendadak pening. Aku menatap gunungan sampah di samping gubuk ini. Tampak rumah-rumah terbuat dari seng berisikan keluarga yang semuanya berprofesi sebagai pemulung. Hal tersebut yang membuat hati semakin sakit. Sakit karena belum dapat memberikan bantuan maksimal terhadap mereka.
Takdir pula yang membawa kami menuju suatu puncak harapan ini. Harapan yang seakan membuncah ingin segera melakukan kegiatan kemanusiaan kepada para korban. Betapa bahagianya kami ketika sudah mencapai tahap itu. Tahap ketika mata kami menatap senyum para korban yang sumringah bahagia karena perjuangan kami. Mungkin hati kami tidak dapat dibendung ketika melihat anak-anak bermain gembira karena tetesan peluh kami.
Meski perjuangan ini baru dimulai, kami yakin dapat melukis senyum melalui untaian jalinan persahabatan kami.

Ciputat, 5 Februari 2012

1 komentar:

outbound malang mengatakan...

kunjungan ..
sukses selalu ..:)

Posting Komentar

Share this article ^^