oleh amel
Siang ini aku beranjak dari warung kopi, tempatku mengganjal perut dan meregangkan sebagian otot-otot kaku di sekujur tubuh, ke pangkalan yang setia menungguku setiap hari. Warung kopi itu bernama Makmur Jaya, mungkin si pemiliknya berharap usaha warung kopinya akan makmur dan berjaya.
Aku kedinginan. Cuaca memang tidak dapat diprediksi akhir-akhir ini, saat ku sudah mempersiapkan mantel hujan, ternyata tidak hujan, begitu pula sebaliknya. Ah, memang takdir tidak ada yang dapat menerka, meskipun peramal yang mengatakan. Peramal itu sama seperti burung gagak, menyalak garing namun tak berisi.
Siang ini aku beranjak dari warung kopi, tempatku mengganjal perut dan meregangkan sebagian otot-otot kaku di sekujur tubuh, ke pangkalan yang setia menungguku setiap hari. Warung kopi itu bernama Makmur Jaya, mungkin si pemiliknya berharap usaha warung kopinya akan makmur dan berjaya.
Aku kedinginan. Cuaca memang tidak dapat diprediksi akhir-akhir ini, saat ku sudah mempersiapkan mantel hujan, ternyata tidak hujan, begitu pula sebaliknya. Ah, memang takdir tidak ada yang dapat menerka, meskipun peramal yang mengatakan. Peramal itu sama seperti burung gagak, menyalak garing namun tak berisi.
Aku bergerak menuju makhluk hitam tak bernyawa itu. Si Boim, begitu aku menyebutnya, sudah kelihatan kotor, bercak-bercak lumpur penuh menyelimuti badannya. Mungkin sebaiknya aku ke steam motor saja, tinggal datang, bayar, dan selesai. Tapi kutersadar, kurogoh sakuku yang sudah penuh tambalan, ternyata tidak ada dana untuk mencuci si Boim ke steam, uang di sakuku tinggal lima ribu.
Minum kopi dan makan pisang goreng saja tadi aku pasang muka tembok, memberanikan diri mengutang pada Indah, penjaga warung kopi yang selalu ketus pada pengutang sepertiku. Bila pengutang kira-kira setengah pengunjung warung kopi itu, mungkin namanya bukan lagi Makmur Jaya.
Ku pikirkan lagi ancang-ancangku tadi, jangankan ke steam motor, untuk keperluan dapur Sumi saja tidak akan cukup. Namun ku yakin Sumi tidak akan mengeluh. Istri yang baik memang. Tak pernah membentak suami bila setoran minim, bahkan nol. Belahan hatiku. Sumi, cinta keduaku, setelah istri pertamaku menceraikanku. Masalah biasa. Uang. Uang dengan tamaknya memperbudak manusia. Seakan terbalik, manusia dengan tamaknya memperbudak manusia lain.
Pikiranku masih dibebani utang-utang yang selalu datang di mimpi-mimpiku. Uang sekolah Ratna dan Riga sudah menunggak empat bulan. Iuran sampah, arisan, iuran ini itu, jajan Ratna dan Riga. Alangkah banyaknya kebutuhan hidup di jakarta ini. Meskipun kami sekeluarga tinggal di lingkungan kumuh dan tidak terdaftar di pemerintah, tetap saja pengeluaran seakan mencekik nadi. Setiap bulan wajib bayar iuran air, tapi anehnya kami tidak pernah kebagian air. Terkadang kami menumpang tetangga, kadang pula kami mencuci dan mandi di sungai kotor dekat penampungan sampah.
Hari sudah semakin sore menjelang magrib, ya Allah, tolong dengan kuasamu, tahan hujan ini....
Hujan adalah rejeki, begitu orang-orang yang paham agama menyebutnya. Aku mengiyakan saja karena tidak terlalu paham, kalau berkomentar takut dianggap salah. Yang kutahu hanya solat lima waktu, tadarus Qur’an, tidak boleh berikhtilat, dan menjadi suami setia dan bertanggung jawab. Hanya itu. Hanya itu yang kupelajari semenjak mengaji dengan Kiai Haji Sugeng saat di kampung dulu. Saat itu usiaku baru menginjak sepuluh tahun.
“Hanya itu yang dilakukan orang Islam”, Kiai Haji Sugeng menasehatiku. Seperti biasa, dulu aku hanya mengangguk-angguk, kelihatan setuju.
Untuk sekarang, aku sangat tidak setuju.
Kiai Haji Sugeng adalah tokoh masyarakat di kampungku. Perawakannya tinggi besar, berkumis tebal dan tidak berambut. Beliau pemilik hampir semua sawah di kampung kami.
Dulu sebelum beliau naik haji penduduk kampung memanggilnya dengan pak Sugeng. Namun pada suatu ketika beliau pulang berhaji, beliau mengadakan pesta syukuran di rumahnya.
“Mau denger cerita saya tho? Hahaha”,
“Saya ini sudah dilantik jadi kiayi saat naik haji kemarin. Hahaha”, ucapnya bangga. Para tamu, yang hampir semuanya buruh tani miskin mendengarkan dengan khidmat sambil mengangguk-angguk terpesona.
Ada seorang buruh tani dengan pakaian putih mendekati cokelat yang memberanikan diri untuk bertanya, “Lah kok bisa ndoro?”,
“Wong syarat jadi kiayi ya harus naik haji, hahaha”.
Allah menjabah doaku, hujan akhirnya reda. Udara dingin sedikit menusuk paru-paru, namun aku harus mendapatkan setoran minimal dua puluh ribu rupiah. Oiya, aku teringat, sudah lama aku menjanjikan akan membelikan RPUL edisi terbaru untuk Riga. Aku yakin, saat kupulang nanti anak terakhirku itu akan menagih janji ku padanya.
“Mau denger cerita saya tho? Hahaha”,
“Saya ini sudah dilantik jadi kiayi saat naik haji kemarin. Hahaha”, ucapnya bangga. Para tamu, yang hampir semuanya buruh tani miskin mendengarkan dengan khidmat sambil mengangguk-angguk terpesona.
Ada seorang buruh tani dengan pakaian putih mendekati cokelat yang memberanikan diri untuk bertanya, “Lah kok bisa ndoro?”,
“Wong syarat jadi kiayi ya harus naik haji, hahaha”.
Allah menjabah doaku, hujan akhirnya reda. Udara dingin sedikit menusuk paru-paru, namun aku harus mendapatkan setoran minimal dua puluh ribu rupiah. Oiya, aku teringat, sudah lama aku menjanjikan akan membelikan RPUL edisi terbaru untuk Riga. Aku yakin, saat kupulang nanti anak terakhirku itu akan menagih janji ku padanya.
Riga sering mengeluh padaku, hanya dia yang tidak memiliki RPUL edisi terbaru, walaupun yang edisi lama juga tidak punya.
“Dengan RPUL edisi baru, aku bisa dapat nilai bagus. Dengan nilai bagus, aku pasti jadi orang sukses pak.”
“Jadilah orang sukses nak. Sukses membagi waktu antara mengejar mimpi dunia dan mengejar akhirat. Hanya di akhirat kita kekal."
Tidak lagi untuk dua puluh ribu. Tapi satu juta! Impian harus setinggi langit, kalau impian hanya setinggi genting, maka kenyataan akan setengah dari tinggi genting. Impian?
Tapi apakah tukang ojek sepertiku pantas untuk bermimpi. Memiliki setoran dua puluh ribu sehari saja sudah suatu yang muluk-muluk bagiku. Apalagi apa tadi? Sejuta? Haha. Menyentuhnya saja aku tidak pernah, apalagi memlikinya.
Aku memarkir si Boim di trotoar pinggir jalan. Tempat biasanya penumpang sering turun dari bis. Dengan semangat aku mencari sewa, suaraku sangat lantang.
“Ojek mbak...”,
“Ojek mas?”,
“Ojek bu?”,
“Ojek neng?”,
“Ojek ojek”.
Jari telujukku selalu mengacung ke atas. Dengan taktik seakan-akan sudah siap jalan, memakai helm, motor menyala dan membunyikan gas. Tapi lagi-lagi selalu teman seprofesiku yang mendahuluiku. Aku selalu tidak kebagian sewa. Bahkan ada temanku yang sudah dua kali dapat penumpang di waktu yang sama, malah dapat lagi.
“Ojek mbak...”,
“Ojek mas?”,
“Ojek bu?”,
“Ojek neng?”,
“Ojek ojek”.
Jari telujukku selalu mengacung ke atas. Dengan taktik seakan-akan sudah siap jalan, memakai helm, motor menyala dan membunyikan gas. Tapi lagi-lagi selalu teman seprofesiku yang mendahuluiku. Aku selalu tidak kebagian sewa. Bahkan ada temanku yang sudah dua kali dapat penumpang di waktu yang sama, malah dapat lagi.
Penumpang-penumpang itu sepertinya kebanyakan pegawai kantoran. Terlihat dari gaya busana yang mereka kenakan. Mungkin bila saat sekolah dulu aku rajin belajar, aku akan seperti mereka. Mengabdi pada perusahaan, naik jabatan, gaji besar. Ahh. Bermimpi lagi. Bila ku sadar akan pentingnya belajar, mungkin beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bisa didapatkan dengan mudah. Masa depan gemilang pun senantiasa hadir di pelupuk mata.
Andaikan aku seperti Tono, temanku saat di kelas enam sd, dialah sang juara kelas. Mendapat beasiswa ke Tokyo, bekerja pada perusahaan asing. Alangkah bahagianya. Seakan dunia ini telah digenggam. Sedangkan aku, smp saja tidak lulus.
Aku tidak terlalu suka belajar. Belajar itu membosankan. Untuk apa mempelajari hal-hal yang tidak aplikatif menurutku. Aku seakan terkurung pada dimensi kepura-puraan. Hanya keabstrakkan yang diajarkan. Hapalan dan hapalan. Aku menginginkan suatu yang rill.
Obsesiku melahirkan cita-cita konyol. Dulu, seorang anak berbadan kurus bercita-cita ingin menjadi pemilik sawah. Pemilik sawah artinya dapat naik haji. Dengan naik haji, langsung bisa jadi kiai haji.
Obsesiku melahirkan cita-cita konyol. Dulu, seorang anak berbadan kurus bercita-cita ingin menjadi pemilik sawah. Pemilik sawah artinya dapat naik haji. Dengan naik haji, langsung bisa jadi kiai haji.
Berbekal uang jajan sebesar dua puluh rupiah perhari, aku menabung lima belas rupiah agar bisa membeli sawah. Impian itu mendekati nyata. Impian yang mendekati nyata yang konyol untuk anak berumur dua belas tahun. Namun saat smp, impian itu pupus sirna. Ayahku yang merupakan buruh tani sawah meninggal dunia. Satu-satunya tulang punggung di keluargaku. Impianku untuk menabung demi membeli sawah semeter demi semeter hilang. Bersama kepercayaan diriku untuk bermimpi.
Sekarang, aku tidak punya mimpi. Mimpi apa yang pantas untukku?
Setelah satu jam aku berteriak-teriak mencari sewa, ternyata ada juga penumpang yang menghampiriku untuk mengojek. Tapi disaat yang sama pula adzan maghrib berkumandang.
“Bang, ojek, pasar jumat, lima belas ribu ya”,
“Duh maaf mas, uda magrib, saya solat dulu ya.”, tolakku dengan halus.
“Mas sama tukang ojek yang lain aja, maap ya mas.”,
“Ah abang sombong banget, nggak mau duit bang? Uda kaya?” calon penumpang itu langsung melengos pergi.
Demi pahala berlipat, aku lebih memilih untuk solat fardhu berjamaah di masjid dibanding mendapat uang. Namun bagaimana RPUL?
RPUL masih di pikiranku. Lagi-lagi aku kecewakan anak bungsuku. Sudah seminggu setiap aku pulang ke rumah, dia menagih RPUL edisi baru padaku. Seandainya aku anggota DPR, sudah bapak belikan kau nak, kalau perlu sama pabriknya saja sekalian. Namun, tukang ojek lebih terhormat dari anggota DPR. Karena semua harta kepemilikan tukang ojek adalah hasil keringat sendiri, bukan hasil tilep menilep. Tukang ojek pintar bernegosiasi dengan calon penumpangnya, tawar menawar harga. Kalau bisa dibilang, tukang ojek harus pintar ilmu komunikasi. Pelajaran yang didapatkan secara otodidak dari tukang ojek yang berpengalaman.
Kau jadi ilmuwan saja nak. Ilmuwan itu jujur dan akurat secara empiris. Ilmuwan yang voluntif akan menerima semua kebenaran dari berbagai eksperimennya. Ilmu dunia yang Kau pahami akan menjadikanmu semakin bersyukur atas kuasa-Nya nak. Ilmu akan menjadikanmu semakin sadar atas kecilnya dirimu di mata sang Khalik.
“Bapak pelit.”
Kau jadi ilmuwan saja nak. Ilmuwan itu jujur dan akurat secara empiris. Ilmuwan yang voluntif akan menerima semua kebenaran dari berbagai eksperimennya. Ilmu dunia yang Kau pahami akan menjadikanmu semakin bersyukur atas kuasa-Nya nak. Ilmu akan menjadikanmu semakin sadar atas kecilnya dirimu di mata sang Khalik.
“Bapak pelit.”
“Nak, bapak hanya tukang ojek.”
RPUL edisi baru seharga lima belas ribu rupiah sudah di genggamanku. Penumpang tadi berubah pikiran untuk ikut sholat berjamaah. Mungkin tersentuh ucapan seorang tukang ojek. Aku mendapat penumpang. Penumpang terakhir.
Subhanallah.
Allah lah yang menentukan takdir seseorang. Rejeki, jodoh, bahkan maut. Qada Qadar.
RPUL edisi baru seharga lima belas ribu rupiah sudah di genggamanku. Penumpang tadi berubah pikiran untuk ikut sholat berjamaah. Mungkin tersentuh ucapan seorang tukang ojek. Aku mendapat penumpang. Penumpang terakhir.
Subhanallah.
Allah lah yang menentukan takdir seseorang. Rejeki, jodoh, bahkan maut. Qada Qadar.
Kukebut motorku menuju rumah, tak sabar menunjukkan RPUL edisi baru pada jagoan bungsuku.
Laailahaillallah.
Nak, bapak bawa RPUL edisi baru untukmu nak.
Laailahaillallah.
Truk melintas di depanku.
Terdengar teriakan. Cahaya itu menyilaukan.
Terdengar teriakan. Cahaya itu menyilaukan.
Laailahaillallah.
2 komentar:
Ehmmm...mau kritikan pedas bagaikan silet apa maknyoooos kayak agar-agar, hehehe... Sudah bagus, paling revisi saja itu poaragrafnya. Setiap buka dialog harus paragraf baru, tidak boleh bertumpuk. Bukan ku, tapi aku, ya...kemudian coba lebih fokuuuuussss! Pokoknya salam kreatif dan terus berkaryaaa!
oke teh, hihi
jazakillah masukkannya
teh pipet senja...^^
Posting Komentar