Pengunjung Lapak

Minggu, 12 Desember 2010

Gubuk Samping Sungai



Seorang mahasiswi berbaju lusuh berjalan teratih-atih menyusuri halte bis di ujung sana. Mukanya yang gosong dan berminyak karena belaian sinar matahari menunjukkan air muka gusar. Langkahnya dipercepat sambil membetulkan posisi tas ranselnya yang berkali-kali turun dari pundaknya. Gantungan kunci bertuliskan Dema Salsabila beradu dengan gantungan kunci berlambang kampus. Komposisi peraduan itu seakan menimbulkan irama. Sekitar tiga puluh detik sekali dia menatap arloji di tangan kirinya. Jarum panjang dan pendek menunjukkan angka tiga. Detik demi detik waktu berjalan, membuat hatinya semakin menyesak. Berharap jarum panjang itu berhenti untuk sebentar saja.

“Semoga tidak telat”, harapnya dalam hati.

Semoga masih sempat.

Halte yang dipenuhi manusia yang sangat berjubel itu berbau sangat tidak enak. Bau got belakang halte, keringat manusia, bahkan kotoran hewan menyeruak di sekeliling halte tersebut. Walaupun campuran berbagai jenis bau agak mengganggu kenyamanan para pengunjung halte, paling tidak  sedikit sejuk karena banyak pohon besar menyelimuti halte yang berukuran sekitar lima kali dua meter itu. Manusia-manusia penikmat halte itu beraneka ragam, dari mulai karyawan kantor, SPG, mahasiswa, sampai pedagang asongan serta pengamen. Tidak lupa penipu dan pencopet ada di sana. Meskipun mereka abstrak, penipu dan pencopet tidak ingin kehilangan eksistensinya di sana. Mereka pun menjalankan aksinya dengan manis, berdoa semoga misi mereka lancar tanpa galat.

Akhirnya sampai juga.

Kira-kira bagaimana kondisi Toim saat ini? Sudah baikkan kah? Atau tambah parah? Lagi-lagi hati Dema merasa sesak bila memikirkan masalah itu.

“Semoga aku tidak terlambat” lagi-lagi batinnya berbicara.

Langkahnya semakin dipercepat, hatinya yang gusar membuat sesak dan gelisah. Setelah berjalan selama lima belas menit dari perhentian bis tadi, Dema pun sampai di tempat yang di tuju.  Dag dug dag dug.

“Apakah masih sempat?”

“Kakak! Kak Dema, kak Dema uda dateng,” teriak seorang anak perempuan berpenampilan dekil. Rambutnya yang kribo bergoyang ketika dia berteriak sambil meloncat-loncat. Dia langsung berlari menyambut kedatangan mahasiswi berjilbab itu.

Lalu ada seorang anak laki-laki yang sama dekilnya dengan anak perempuan itu, mungkin seusia dengan anak perempuan itu yang tidak kalah dekilnya, datang dengan terburu-buru menuju pertemuan si anak perempuan dengan si mahasiswi.

“Kakak dari mana aja? Kasian Toim, dia udah sekarat.”

Dema tidak menjawab. Gurat cemas tergambar pada wajahnya.

”Ayo kakak ikut kami, kita langsung ke rumah Toim, kondisinya parah Kak!”, kedua anak dekil itu dengan spontan langsung menyergap tangan Dema, menarik ke arah yang mereka maksud. Dema sudah tahu ke arah mana mereka akan berjalan. Ke rumah dengan pondasi kayu, dinding kardus, dan atap seng. Rumah itu tidak sendiri, masih banyak puluhan rumah serupa disekitar kawasan itu. Dengan sungai penuh sampah di belakangnya. Tempat warga tersebut melakukan semua aktifitasnya, mandi, mencuci, sampai buang air besar.

Mereka akhirnya sampai pada tempat yang dituju. Dema kenal dengan rumah itu, di rumah itu terdapat manusia-manusia terkasihnya.

Blakk, pintu di buka. Pintu itu langsung menghadap ruang serba guna. Menerima tamu, makan, tidur, sampai berpakaian dilakukan di ruangan itu. Nuansa cokelat memenuhi ruangan itu. Cokelat kardus. Seketika Dema melihat seorang anak laki-laki berumur sebelas tahun dengan kondisi mengenaskan, darah tidak henti-hentinya mengalir dari pembuluh darah kepalanya yang sudah diperban. Anak itu dengan khidmat berdzikir dengan suara tertatih pelan meskipun rasa sakit menghantam fisiknya. Dema ingin menangis, tapi tidak keluar air mata setetes pun. Anak lelaki itu tidak sendiri, di sampingnya terdapat wanita tua, dia duduk dengan, nafasnya terisak-isak. Masih terlihat sebersit guratan kecantikkannya saat muda. Wanita tua itu tidak sanggup mendongakkan wajah, menatap Dema.

“Adikku sayang.”, Dema membelai tangan Toim. Tangan itu lemah, seakan zat karbohidratnya sudah hilang, dicuri entah kemana.
“Ibu, Dema mohon, ceritakan yang sebenarnya.”, pinta Dema.

Wanita tua itu tetap tidak mau menatap Dema.

“Tadi Baron ke sini, Toim udah tiga hari belum ngasih setoran ke dia.”
“Tapi gimana mau ngasih, uangnya udah abis buat bayar spp Toim. Kalo nggak bayar, TOIM NGGAK BOLEH IKUT UJIAN!!”, wanita tua bernama bu Jenab itu meraung, air matanya meleleh, bajunya yang warnanya sudah pudar itu pun basah. Tangannya memukul-mukul lantai, pikirannya kacau, melihat anak kesayangannya sekarat.

Dema sedikit naik pitam, dia sudah berkali-kali mengatakan pada bu Jenab, jangan lagi menyuruh Toim mengamen. Biar semua biaya pendidikan Toim Dema yang menanggung. Wanita tua itu tidak mendengar dan tidak mau tahu. Tidak peduli. Toim harus mengamen. Sebagai anak, dia harus berbakti pada ibunya. Yaitu dengan mencari uang. Mau berapa pun umurnya, ya nyari uang. Dema yakin, bukan itu masalah sebenarnya. Banyak tetangga sekitar yang mengadu pada Dema, bahwa uang pemberiannya sering digunakan bu Jenab untuk mengadu untung di papan peruntungan.

Itu salah bu Jenab. Bukan salahnya. Buat apa dia merasa bersalah. Toh itu bukan urusannya. Dia sudah banyak memberikan kontribusi pada keluarga itu. Harusnya mereka sadar. Namun segala keegoannya terkalahkan oleh hati nuraninya. Dema tidak tega bila harus menyalahkan wanita tua itu. Air mata yang tertampung itu akhirnya luruh juga. Dema sayang pada keluarga itu.

“Baron tadi bilang, dia nggak mau tau, pokoknya Toim harus nyetor ke dia sekarang juga, katanya tadi. Ibu bingung nak! Ibu udah nyoba semuanya, tapi ibu tetep bingung!!”

“Karena Toim nggak bisa bayar, Baron ngamuk. Awalnya dia mau ngacak-ngacak rumah ini, tapi Toim langsung nyium kakinya, mohon-mohon biar rumah kerdus ini nggak di ancurin. Ternyata bukan rumah ini yang diancurin, tapi Toim, yang....”, bu Jenab tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tangisannya sangat memekakkan telinga.

Lagi-lagi terjadi. Dema sudah sering bilang pada ibu. Tapi ibu....
Bukan salah Dema....
Bukan salah Dema....

‘’Udah bu. Udah! Pokoknya sekarang kita bawa Toim ke rumah sakit Bu. Udin, cepat bereskan baju-baju Toim, biar kakak yang memapah dia.”
“Maemunah, kamu dan ibu ikut. Pegangin ibu!”
“Kita naik apa kak?”
“Kakak akan telpon taksi.”
“Tapi duitnya dari mana?”
“Kita nggak mau ngutang lagi sama kak Dema.”

Kata-kata itu menyentakkan Dema. Apakah karena hal itu, Dema tidak lagi dianggap sebagai keluarga? Dema sudah melakukan semuanya!!
Masa lalu itu menghapus segalanya. Tapi lagi-lagi bukan salah Dema!
Salah Bu Jenab.

 “Paling enggak ibu hubungin Dema, Insya Allah Dema pasti bisa bantu.”, isakkannya memenuhi taksi.
“Mau ngubungin kamu make apa Dem? Hape ibu uda ga ada lagi.”
“Lah, baru sebulan lalu Dema ngasi ibu hape, sekarang kenapa uda ga ada lagi? Ibu jual? Buat apa?“
“Dema udah cape sama Ibu, Ibu selalu gitu, hiks....” Dema tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
“Dema ga minta kayak gini! Kenapa dulu Ibu nggak ngambil Dema? Kenapa Ibu ngasih Dema ke Abi?”

Toim bukan adik kandung Dema. Ya, Dema tahu, tapi Dema sayang Toim, cuma Toim adik Dema. Kenapa ibu nggak mau ngerti. Dema sayang ibu, tapi kenapa ibu gitu?
“Seminggu yang lalu istri abi Kamu dateng ke rumah ibu. Dia marah-marah sama ibu dan bilang jangan minta apa-apa lagi ke sama Kamu.”
“Ibu ketakutan, dia ngancem ibu, bilang kalo dia bakalan misahin kita selamanya.”
“Ibu keabisan uang, jadi semuanya ibu jual, sampe Toim ibu suruh ngamen lagi.”

Mendengar itu Dema serasa mau pingsan, pikirannya seakan mau muncrat keluar. Teganya dia sudah menuduh ibu tersayangnya. Ibu kandungnya sendiri.
Astagfirullah, setan telah menjadikannya manusia paling jahat. Dema malu. Berarti Abi yang jahat.
Bukan, istri abi yang jahat.
Cukup! Tidak lagi saling menyalahkan, Dema ingin semuanya selesai. Toim harus sembuh agar bisa sekolah lagi.
Dema sayang keduanya, ketiganya dengan ibu tirinya.
Allah sayang keluarganya.
Bila Toim sudah sembuh, Dema akan tinggal di sini saja. Di gubuk samping sungai.

1 komentar:

myun mengatakan...

terima kasih postingannya ya..
kunjungi halaman kami ya!!

Posting Komentar

Share this article ^^