Pengunjung Lapak

Selasa, 30 November 2010

Resensi Dwilogi Padang Bulan

 Andrea Hirata



Novel pertama dwilogi padang bulan
Andrea Hirata
Peresensi: Amalia Larasati Oetomo

Wanita sering kali dikaitkan sebagai makhluk lemah oleh makhluk superior ciptaan Tuhan (lelaki), dipuja namun dilecehkan. Dicinta namun disiksa. Dapur, kasur, sumur, hanya itu paradigma yang dipaksakan untuk ditelan bulat-bulat oleh kaum hawa. Lambat laun dua jenis yang berlainan tersebut pun menelan bulat-bulat hal itu. Sehingga muncul tokoh emansipasi wanita, menegakkan hak-hak wanita katanya. Wanita diubah paradigmanya, wanita diasumsikan sebagai makhluk lebih superior dari yang katanya lebih dahulu superior. Wanita didorong bekerja bersama laki-laki, tidak ikhtilat tidak modern. Menikah muda dianggap kampungan dan merenggut masa muda. Perawan dianggap tidak tren,  bagi mereka yang tren adalah bergelut bagai ayam. Itulah kemelut hidup bagi makhluk yang memilih hidup di masa kini.
Seorang wanita tangguh pendulah timah hadir menelisik batin. Enong wanita tangguh pecinta pelajaran bahasa Inggris, cerdas dan idealis. Enong menjadi korban negosiasi takdir dengan Tuhan yang mengharuskan enong menjadi yatim dan berhenti dari sekolah. Namun sebagai anak kecil yang haus ilmu, enong tak berhenti belajar. Jabatan sebagai tulang punggung cukup menyayat hatinya. Sarkasme kehidupan layaknya terus menghantui hidup Enong. Mencoba segala cara untuk mendapat kerja, dari tukang cuci sampai baju berlapis dicoba. Hanya satu yang pantang dilakukan, melepas jilbab dan memakai make up tebal agar diterima sebagai pelayan toko baju.
Lalu ada seorang lelaki pencemburu, mencemburui takdir sepertinya. Takdir membawa angan-angannya lepas dan hinggap di atap. Lagi-lagi korban negosiasi takdir dengan Tuhan. Lelaki itu aneh. Cinta pertama menjadikannya berantakan menjadi serpihan. Intermeso seakan tidak berusaha mampir padanya, hanya sikap apatis yang menolak segala simpang siur kecemburuannya. Pergolakan batin menerima takdir atau melawan takdir.
Novel Padang Bulan membawa pembacanya hanyut dalam tekanan sedang. Kita dihadapkan pada kisah anak perempuan melayu miskin yang berjuang sebagai pendulah timah wanita pertama di Belitong. Serta lelaki pencemburu yang menghabiskan hidupnya untuk bernegosiasi dengan kecemburuannya. Andrea menyuguhkan lembaran demi lembaran mengalunkan aksara dalam diam. Dengan sudut pedalaman melayu, Andrea tidak hanya menampilkan kisah patriotik, namun juga menyuguhkan tatanan informatif mengenai kebudayaan masyarakat serta parodi kepedihan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhanallah..pilihan yang sulit

Posting Komentar

Share this article ^^