telah dimuat di Suara Jakarta
28072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
“Terik panas matahari memancarkan radiasi surya mencekamnya. Seorang anak kurus penuh peluh berbaju lusuh mengayun-ayunkan kecrekan tutup botol di samping mobil mewah keluaran eropa. Suara sumbang dengan enggan keluar seadanya. Lama dia bernyanyi diiringi kecrekan tua, tapi jendela hitam itu bergeming tegak, tidak ada tanda-tanda sebuah tangan putih bersih keluar memberikan receh.”
Sejenak itu lah pemandangan yang sehari-hari tampak di jalan ibukota. Walau sebenarnya tidak hanya di ibu kota, anak-anak yang berprofesi sebagai pengemis dan pengamen pun telah merambah ke daerah-daerah pelosok.
Senyatanya, mayoritas dari mereka adalah anak-anak di bawah umur yang sejatinya berada dalam hangatnya dekapan orangtua. Tidak jarang terlihat anak berusia kisaran tiga sampai empat tahun menjual suara seadanya sambil mengiba pada penghuni kendaraan umum. Ada pula bayi-bayi yang disewakan kepada para pengemis dan pengamen demi meraih belas kasihan.
Kondisi nyata anak Indonesia sangat unik dengan adanya perbedaan atau disparitas yang sangat tinggi, akibat kondisi tanah air kita yang begitu luas dengan suku bangsa dan budaya yang heterogen. Kondisi ini jelas berbeda dari negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura. Juga dengan negara-negara di Eropa. Selain masalah perbedaan, anak-anak Indonesia juga terkena masalah ambivalen pengambil kebijakan atau orang-orang yang berpengaruh di masyarakat. Masalah eksploitasi terhadap anak dan juga masalah kekerasan terhadap anak sangat tinggi.
Drs Hadi Supeno MSi, Ketua KPAI, mengatakan bahwa eksploitasi anak-anak di Indonesia sangat tinggi dan sangat bervariasi. Hal tersebut ditunjukkan pada beragamnya jenis eksploitasi pada anak di Indonesia. Berikut adalah contoh kasus yang dapat kita komparasikan. Ada kah tampak persamaan antara tiga kasus ini? Orangtua yang membawa anaknya mengemis dan memulung, lalu orangtua yang mendorong anaknya untuk menjadi dai cilik di stasiun televisi, yang terakhir adalah orangtua yang membantu mewujudkan mimpi anaknya untuk menjadi penyanyi terkenal. Benang merah yang terkait dari ketiga kasus tersebut adalah masalah ekonomi.
Ekonomi adalah faktor yang merajai menjamurnya eksploitasi anak di dunia. Contohnya adalah perdagangan anak. Merunut pada fakta yang ada, berdasarkan data Advance Humanity, Unicef, sekitar 1,2 juta anak diperdagangkan setiap tahunnya. Agak mencengangkan memang, apalagi berdasarkan data tersebut, kebanyakan (anak-anak laki-laki dan perempuan) diperdagangkan untuk eksploitasi seks. Ada sekitar 2 juta anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini menangguk untung 12 miliar dolar per tahunnya.
Di Indonesia sekali pun, banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Berdasarkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) memberikan ancaman hukuman lima tahun penjara bagi siapa saja yang mempekerjakan/ mengeksploitasi anak dibawah umur, namun payung perlindungan hukum tersebut seakan hanya menjadi untaian pelengkap undang-undang saja.
Selain eksploitasi yang berujung pada faktor ekonomi, anak pun tidak terhindar kekerasan berupa pelampiasan buruk lingkungan sekellilingnya. Seperti kekerasan fisik atau psikis dilakukan ayah atau ibu di rumah, atau bahkan kekerasan dari teman-teman sebayanya yang berujung kematian.
Padahal jaminan agar anak-anak terlindungi dari tindak kekerasan telah ada pada konstitusi. Pasal 28 B UUD 45 mengamanatkan, anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Namun sayangnya, delapan tahun sudah aturan ini dibuat, nyatanya masih banyak kekerasan yang terjadi pada anak-anak. Kekerasan mental dan fisik bagi anak sangat berpengaruh dalam pola berpikir dan ketahanan mental anak.
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, ada yang menjadi sangat pasif dan apatis, ada pula yang tidak mempunyai kepibadian, ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain, dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Begitu besar dampak kekerasan pada anak.
Oleh karena itu, dibentuk lah suatu lembaga perlindungan anak atau KPAI yang dalam Pasal 74 UU tersebut bertugas meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, menyosialisasikan seluruh aturan per-undang-undangan terkait perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan dan melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan. Meski nyatanya, perlindungan anak dan pemenuhan hak-haknya di negeri ini, masih belum sistemik, masih parsial dan segmentaris.
Sejatinya, masalah eksploitasi anak sebenarnya bukan lah merupakan masalah internal dalam keluarga yang tidak dapat diikutcampuri oleh masyarakat dan pemerintah. Semua komponen negara yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan LSM juga harus turut berperan serta dalam menyelesaikan masalahan eksploitasi anak. Upaya penanganan masalah harus secara profesional, terorganisir, dan berkesinambungan. Penanganan yang dilakukan harus menggunakan metode yang tepat, misalnya dengan cara persuasif, manusiawi, dan memahami berbagai karakteristik.
Ini adalah masalah kita bersama. Meski dalam pencapaiannya harus terdapat kesadaran sejak dini mengenai bahaya eksploitasi dan kekerasan pada anak. Hal ini harus disadari oleh para orang tua dan calon orang tua dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk tumbuh kembang demi mencapai masa depan cemerlang. Upaya ini penting, hal ini dikarenakan anak adalah calon penerus bangsa yang harus dijaga mental dan akhlaknya.
Sebuah hadist:
“Bukanlah dari golongan kami yang tidak menyayangi yang lebih muda dan ( bukan dari golongan kami ) orang yang tidak menghormati yang lebih tua.” (HR At Tirmidzi)
Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, ” Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu).” (HR. Aththusi).