Kamis, 24 Februari 2011
Raja Pohon
240211
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
Akulah si raja pohon. Salah satu penghuni ajek di antara ribuan penghuni ajek lain. Pohon penguasa hutan belantara. Hutan tempat kuasaku terletak di suatu bagian entah di mana. Yang jelas tak pernah sekali pun aku tinggalkan sejak pertama kali aku menatap surya. Saat itu aku hanya sebuah dahan kecil. Lemah dan rapuh. Daunku saja hanya segelintir yang nampak.
Ukuran kecil menjadikanku incaran para penghuni vegetarian. Banyak teman pohon menjadi korban, baru sedetik menggeliat keluar dari tanah, seketika terkunyah menjadi santapan sang perut lapar. Walau begitu, tidak pernah mereka berhasil menangkapku sampai akar. Hanya sebagian daun meski menyakitkan.
Perlahan aku paham, kami, para pohon, dapat tumbuh subur dari suatu gumpalan kotoran yang mereka sematkan di sekitar akar kami. Mereka pun hidup dari asupan dahan kami. Saling menguntungkan. Walau kadang kami ketakutan setengah mati ketika penghuni bergerak berlari kencang, takut tertabrak, terinjak, dan akhirnya mati. Tapi lagi-lagi aku beruntung. Pernah sekali saja aku tertabrak, tidak sampai mati. Saat itu sulit untuk menegakkan tubuh yang sudah patah ini, tapi dengan tekad membara aku bercita untuk hidup lama, menjadi penguasa hutan belantara. Penguasa pecinta kelipan di malam yang menyapa.
Kelipan. Dimulai saat pertama kali aku menatap malam, ribuan titik berkelip menepuk padnangan. Tiba-tiba keinginan besar merasuk dalam xilem dan floemku, menyeruak dari akar sampai ujung daun. Ingin aku menyentuh ribuan kelipan di langit. Berharap dapat loncat tinggi mencapai salah satu dari kelipan. Aku mendongak, menatap sang kelipan tanpa beralih ke pandangan lain. Rasanya aku jatuh cinta, cinta akan kelipan yang berkedip ke arahku, cinta akan kelipan yang terkadang jatuh entah ke mana. Ingin ku tangkap kelipan yang jatuh itu. Lagi-lagi tersadar, aku hanya sebuah dahan kurus kecil antara rimbunan raksasa sekitar.
Pernah aku bertanya pada awan, “Hai awan, kau sering melanglang buana mengitari dunia, pernah kah kau bertemu dengan kelipan?”
“Kelipan? Apa itu wahai dahan kecil? ” jawab awan bingung.
“Apakah kau tidak tahu apa itu kelipan?” “Benda kecil terang menyala di malam hari. Itulah kelipan”
“Oh, apakah maksudmu bintang di langit, dahan kecil?”
“Bintang? Nama macam apa itu?”
“Manusia menamakannya bintang, yang kau maksud dengan kelipan.”
“Manusia? Apa lagi itu, wahai awan?”
“Seperti pernyataanmu tadi, aku sering melanglang buana mengitari dunia. Aku temukan satu jenis penghuni bergerak yang pasti belum pernah kau lihat,” “mereka hampir serupa dengan kera, namun tidak dipenuhi bulu. Berjalan tegak menggunakan dua kaki. Mereka menggunakan suatu lapisan bahan untuk melindungi tubuh.”
“Ada lagi perbedaan yang sangat signifikan dengan para penghuni bergerak di sini. Manusia sangat pintar.”
Aku pikir telah bertemu dengan setiap jenis penghuni bergerak, ternyata ada satu jenis yang bahkan namanya pun baru kudengar. Manusia. Apakah manusia memakan dahan kami? Ataukah mereka melahap tubuh selain jenis mereka? Manusia itu pintar, kata awan. Mungkin saja mereka tidak membunuh dan merusak alam. Bahkan terpikirkan oleh mereka untuk menutupi diri dengan suatu bahan pelindung tubuh. Hebat sekali menusia itu, pikirku. Tapi, masa bodolah dengan manusia. Yang penting sekarang aku tahu nama lain kelipan. Bintang.
***
Perlahan aku membesar, asupan makanku pun bertambah. Air hujan yang menari-nari turun dari langit dengan lahap kuserap habis. Sinar matahari yang menyapa kuhirup puas bercampur dengan gas yang berganti menjadi gas berbeda favorit para penghuni bergerak. Bersamaan dengan tumbuh besarnya badanku, para penghuni lain pun semakin hormat. Bila dulu aku dianggap si kecil tidak berdaya, diinjak dengan sengaja, tapi sekarang makin sering kudengar sapaan para penghuni. Para burung makin banyak hinggap di dahanku, membuat belasan sarang dengan izinku, berkicau tiada henti menghibur penghuni hutan.
Para sahabat satu angkatanku mati dalam seleksi hutan, hanya yang kuat sang pemenang. Badai dan petir mencabiknya. Aku adalah pemenang, hahaha. Tak salah bila mereka memanggilku si raja pohon. Raja pohon hutan belantara. Meskipun gelar raja telah kukantongi, tidak berkurang sedikit pun pandanganku terhadap kelipan. Bukan bintang. Aku canggung apabila harus memanggilnya dengan bintang. Ya, cukup dengan kelipan.
Saat ini usiaku sudah sangat tua, kuhitung telah lima ribu kali bulan menampakkan purnamanya. Tentu saja dengan tubuh semakin besar dan kekar dengan akar kuat menopang para penghuni lain semakin tunduk hormat. Dari penghuni pemilik anggota gerak, sampai penghuni yang ajek pada tempat tinggalnya. Namun aku rasakan ada suatu perlahan hilang. Kelipan satu demi satu hilang tanpa pamit. Meninggalkanku sang raja pohon. Bila kelipan salah satu penghuni hutan ini, akan aku hukum dan penjarakan mereka, sembari memandangi kelipan indah mereka.
Tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan awan, si awan pencerita bintang dan manusia. Mungkin angin badai membawanya nun jauh ke sini.
“Hai, awan. Bertemu lagi kita di sini.” sapaku bersemangat.
Awan mengernyit bingung, atas gerangan apa suatu pohon raksasa menyapanya di langit.
“Siapakah engkau, wahai pohon gagah nan hebat? Apakah kita pernah bertemu?”
“Lupakah kau padaku, awan?” “Aku dahan kecil yang bertanya kelipan padamu.”
“Oh, sungguh, tidak aku sangka kau sehebat ini sekarang. Selama ini aku hanya mendengar kisah sang raja pohon, tapi tidak kutahu bahwa ini engkau, raja.” sahut awan, tidak dia sangka akan bertemu lagi dengan si dahan kecil.
“Tidak perlu kau berkata begitu, awan yang baik hati. Tidak perlu jua kau memanggilku raja, panggil aku dahan, seperti awal bertemu dulu.”
“Baik dahan. Ada apakah gerangan, nampaknya ada pertanyaan yang ingin kau ajukan padaku.” jawab awan tak sabar.
“Aku ingin bertanya tentang kelipan, eh maksudku bintang. Mengapa mereka perlahan hilang?”
Awan terdiam sejenak, seakan tidak sanggup berkisah, “Begini, dahan, apakah kau ingat dengan manusia? Salah satu jenis dari penghuni bergerak. Mereka tidak lagi nampak seperti yang kuceritakan dulu.”
“Apa maksud ucapanmu, awan? Apakah mereka berubah menjadi penghuni ajek sepertiku? Apa pula hubungannya dengan kelipanku?”
“Oh, tidak, bukan berubah seperti itu. Nanti aku ceritakan mengenai kelipanmu.”
“Manusia tidak lagi seperti yang kuceritakan dahulu. Mereka telah berubah, bukan dalam artian fisik, namun perangai. Dalam artian semakin ganas, jauh lebih ganas dari singa hutan. Singa hutan tidak membunuh sesama jenisnya, tapi manusia dengan santai saling membunuh dan merampok. Mereka tidak pernah puas dengan apapun yang mereka miliki. Rakus, licik, dan ganas.”
Aku terdiam, syok mendengar cerita awan. Bukankah yang kudengar dulu mereka makhluk pintar?
“Haha, pasti kau ingin berkata bahwa mereka makhluk yang pintar. Haha. Ya, mereka memang makhluk terpintar di bumi. Sangking pintarnya mereka membuat berbagai macam peralatan bertahan hidup. Mereka membuat rumah, gedung bertingkat, pabrik, hotel,...”
“Halah, sudah sudah. Apa itu rumah, gedung bertingkat, pabrik, dan apa lagi tadi?”
“Hotel.” sahut awan menambahkan.
“Ya, itu tadi hotel dan yang lain itu. Apa itu? Apakah semua itu jenis lain dari penghuni bergerak?”
“Oh, bukan, wahai dahan. Itu adalah sarana pelengkap manusia. Manusia membuatnya dengan cara menggadaikan solidaritas mereka. Mengeruk sebanyak-banyaknya perut bumi demi mendulang kemakmuran. Mereka menggadaikan rasa tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Asal kau tahu saja, wahai pohon, banyak penghuni ajek mati ditebang dan diambil tubuhnya hanya demi lembaran kertas dan menjulangnya tempat tinggal.”
“Apa?!? Akan kuhabisi para manusia itu! Suruh mereka menghadapku, akan kuhukum mereka.”
“Ha ha ha, hanya dengan mimpi kau bisa lakukan itu semua. Bila para penghuni ajek dapat melawan mereka, tidak akan berguguran batang-batang kayu yang akan menyebabkan banjir besar. Kau pasti tidak tahu apa itu banjir. Banjir adalah genangan air berlebih yang menyebabkan para penghuninya mati tenggelam. Itu yang kulihat di sana. Tidak ada lagi penghuni ajek sebesar engkau, wahai Pohon. Mereka bertumbangan mati menjadi papan reklame dan tusuk gigi.”
Tidak aku sangka manusia bisa sebejat itu, emosiku meradang berlipat. Ingin kuhancurkan para manusia itu.
“Lalu bagaimana dengan kelipanku? Apakah mereka diam-diam dipetik manusia untuk dijadikan santapan?”
“Tidak, wahai pohon, kelipanmu tidak hilang, hanya perlahan tertutupi oleh padatnya gas beracun yang menyebar menuju langit. Aku pun kena batunya, gas beracun itu perlahan terbang ke arahku, menyatu dan membuatku berasa asam. Karena itu, di sana aku selalu menumpahkan hujan yang juga berasa asam. Digunakan lagi oleh manusia. Mereka merusak bumi dan menikmati hasil rusakannya.”
Kelipanku, kurang ajar mereka menghalangi para kelipanku masuk ke dalam langit. Akan kubuat perhitungan saat bertemu dengan mereka. Lalu, kira-kira gas apa yang demikian hebatnya menghalangi aku dan kelipan.
“Dari mana gas beracun itu timbul? Mungkin kah manusia mengeluarkannya?” tanyaku sembari menahan amarah, tidak terima atas perlakuan manusia pada kelipanku.
“Manusia menimbulkannya dari suatu benda yang mereka buat untuk menghemat waktu dalam mencapai suatu tujuan. Padahal mereka paham betul dampak perilaku mereka. Banyak dari jenis mereka yang keracunan sampai mati. Anehnya bukannya meredam, malah semakin menjadi.”
“Tahu kah tujuanku mendatangi hutanmu? Awalnya aku berniat untuk berbicara dengan penguasa hutan ini. Tapi karena ternyata sang penguasa adalah teman baikku ini, lebih baik langsung aku katakan padamu.”
“Silakan, wahai awan, apakah yang ingin kau katakan?”
“Dua purnama lalu kudengar mereka berencana ingin datang ke hutanmu ini.”
“Siapa?”
“Siapa lagi. Mereka. Manusia.”
“Tentunya akan kusambut dengan hentakkan akarku.”
“Berusahalah melawan, karena yang aku takutkan adalah nasibmu dan rakyatmu. Aku takut mereka memperlakukanmu layaknya hutan-hutan yang lain. Menghabisimu dan rakyatmu tanpa ampun, demi membangun imajinasi terkutuk mereka.”
Oh, tidak, ini tidak boleh terjadi, tidak ada yang boleh menyakiti rakyatku. Mereka tidak hanya menghalangi aku dan kelipan, mereka akan menghabisi rakyatku!
***
Aku hanya berbagi cerita dengan kelipan. Menceritakan penderitaan rakyatku akibat ulah sang manusia. Ah, percuma, kelipan tanpa peduli demi satu hilang tanpa jejak. Aku menangis tersedu-sedu, menangisi kelipan yang perlahan habis tanpa bisa kupandangi lagi cantiknya.
Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Penghancuran, penyiksaan, penembakkan. Suara desingan dan umpatan. Bukankah mereka makhluk terpintar?
Penghuni begerak ditembak, disakiti tanpa ampun. Penghuni ajek disiksa, dengan paksa mereka menguliti, memotong, menghabisi sampai akar terdalam. Aku dengar manusia terkekeh setiap kali berhasil mendobrak pertahanan kami.
Lagi-lagi aku yang tersisa, rupanya tuhan menjabah doaku dahulu saat masih berupa dahan kecil layu. Doa mengharap kekuatan dan umur panjang. Tubuhku semakin besar, namun kulitku tidak segar layaknya dulu. Kulit menghitam akibat gas beracun yang kudengar dari awan. Gas beracun tidak hanya menyerang kulit, daun pun lambat laun menciut meronta minta tolong. Terlalu banyak gas yang harus diubah menjadi oksigen. Gas beracun terakumulasi dalam pembuluh tubuh. Aku telah sakit.
Udara sekitar semakin semeraut, aura panas membungkus tubuh. Anehnya mereka selalu berlindung di bawah dahan rimbunku. Takut kepanasan katanya. Semakin lama hampir tidak ada penghuni ajek sepertiku. Aku tersiksa akan kesendirian. Gedung menjulang merupakan pemandangan wajar sekarang ini. Lagi-lagi aku tetap menjadi raja pohon. Raja bagi satu-satunya pohon, aku.
Sabtu, 12 Februari 2011
RPUL untuk Riga
Rombakan cerpen mimpi-mimpi Bejo yang sebelumnya banyak dikritik. Saat cerpen ini diadili ternyata makin banyak kritik dan sarannya. Syukron kawan
11-02-2011
Amalia Larasati Oetomo
Siang ini Bejo beranjak dari warung kopi, tempat pengganjal perut dan meregangkan sebagian otot-otot kaku di sekujur tubuh, ke pangkalan yang selalu setia menunggunya. Tidak hanya Bejo, manusia-manusia satu profesinya pun tak luput dari penantian si pangkalan. Mereka adalah para ahli setir. Setir motor maksudnya. Ahli setir motor yang kerap disebut tukang ojek.
Pangkalan itu kira-kira berusia dua puluh satu tahun. Di sudut kanan terdapat pohon tua yang daunnya seakan botak. Pohon tua tersebut dipaku dengan kayu lapuk yang dijadikan tempat duduk para tukang ojek lelah. Seakan lunglai menderita, setiap ada yang ingin mendudukinya, kayu tersebut berkata dengan memelas, “Tolong, hancurkan saja aku! Aku tidak sanggup menopang kalian lagi!”
Tidak hanya kayu lapuk, di bagian atas pohon, ditempel pula papan yang bertuliskan nama pangkalan ojek. Asal tahu saja, papan warna warni yang bergambar seorang laki-laki mengendarai motor dengan tersenyum lebar tersebut baru dipasang dua bulan yang lalu. Sebelumnya pangkalan itu tidak bernama. Namun karena pangkalan lain memiliki nama dan logo tersendiri, para perkumpulan tukang ojek ini pun tidak mau kalah.
“Ojek Ceria.”
Tidak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan, usulan tersebut disertai anggukan para penghuni pangkalan. Syukuran pun dilaksanakan. Dengan menyumbang masing-masing lima ribu, mereka dapat menikmati dua buah pisang goreng beserta kopi hitam. Sisanya dipakai untuk pembuatan papan nama.
Meskipun selintas kekanak-kanakkan, namun nama tersebut memiliki makna mendalam bagi para penghuninya. Makna yang tidak dapat diuraikan menjadi serpihan debu yang dikorek lalu ditiup dari batu bata rapuh. Makna yang hanya dapat diuraikan oleh para tukang ojek pengharap seonggok harapan dan sebutir cinta dari Tuhan Sang Pencipta. Keceriaan dambaan sang tukang ojek ketika mendapat penumpang setelah menghabiskan peluh mengantri tukang ojek lain. Seribu dua ribu masuk ke dalam kantongnya berteriak kelaparan.
Mereka sudah muak dengan teka-teki hidup yang membuat mereka hampir mati penasaran.
“Kapan kami kaya?”
“Kapan kami bahagia?”
“Kapan kami ceria?”
Di bawah pohon tua itu, Bejo memarkirkan Boim, sahabat lama pengantar nafkah masuk pintu rumah, pengantar kedua anaknya menjemput harapan, cita dan cinta.
Bejo duduk di atas Boim, kali ini wajah Bejo tidak mencerminkan jargon pangkalannya. Wajahnya kuyu dan kusut. Kegelisahan menyelimuti bahasa tubuhnya. Bejo turun dari motor, lalu duduk lagi di atas motor. Setiap ada penumpang mendekat, Bejo berlari mendatangi seraya berkata, “Ojek, Mbak.”. “Ojek, Dek”. “Ojek, Mas”.
Namun selalu naas bagi Bejo, tukang ojek bergantian mendahuluinya. Hari sudah menjelang siang, sedangkan Bejo sama sekali belum mendapatkan seorang penumpang pun.
Sekelibat terlintas dalam bayangan. SPP sekolah Riga dan Ratna sudah empat bulan belum terbayar. Uang listrik pun menunggak kurang lebih tiga bulan. Bahkan petugas PLN telah berkali-kali mengancam memutus aliran listrik bila bulan ini belum juga lunas.
Lalu yang paling mencekik nadi adalah tagihan air. Tagihan tersebut selalu datang ke rumahnya meskipun keluarganya sama sekali tidak pernah menikmati air tersebut. Setahun yang lalu, istrinya mendapatkan kabar bahwa akan ada aliran air bersih gratis dari pemerintah untuk kawasan tempat tinggalnya. Karena hati sudah terburu merekah, istrinya dengan sigap ikut mendaftar untuk mendapatkan air bersih dari pemerintah, hal tersebut dilakukan dengan spontan, tanpa berkonsolidasi terlebih dahulu dengan suaminya.
Besoknya, petugas air bersih menagih biaya pendaftaran kepada warga yang telah mendaftar. Istri Bejo bingung, alangkah polosnya dia sampai hati mengira bahwa pemerintah akan tulus meringankan beban rakyat. Kebingungan yang menghantamnya menjadikannya berpikir bahwa tidak ada yang cuma-cuma di sini. Bahkan demi mendapatkan air bersih saja mesti mencengkram leher.
Sebulan kemudian datanglah tagihan air yang sama sekali tidak mereka selami sebutir pun. Pasalnya data keluarga Bejo telah masuk dalam data pemakai meskipun alat belum dipasang karena memang tidak ada uang.
“Tagihan Malapetaka.” Sebut Bejo kepada tagihan air setiap kali tagihan itu mulai mengetuk pintu rumahnya yang reyot.
Tiba-tiba lamunan Bejo tentang ‘Tagihan Malapetaka’ itu tertebas oleh wajah anak bungsunya, Riga. Sudah sebulan Bejo berjanji akan membelikan jagoannya itu RPUL. Bahkan tadi malam adalah malam yang kesekian puluh Riga merengek minta dibelikan RPUL.
***
Adzan Magrib terdengar dari masjid sebelah. Panggilan adzan bertalu-talu menghembuskan angin segar di sekujur badan. Dengan lunglai, Bejo menyeret tubuh tipisnya menuruni Boim, menuju pintu usang yang amat dikenalnya. Pintu itu dibuka, nampak ruangan berisikan kursi plastik merah pudar tanpa meja. Ruangan tersebut berdinding semen dengan cat mengelupas. Dinding tersebut nampak seakan sakit cacar menahun. Di sebelah kiri, terdapat dua ruangan lain yang hanya dibatasi dengan kain sarung robek.
“Bapak pulang, horee.” Riga melonjak kegirangan saat bapaknya bahkan belum sempat duduk untuk melepas penat.
“Mana RPUL nya Pak?” wajahnya bersinar penuh harapan. Dan Bejo adalah penjahat paling kejam yang tega meredupkan sinar di wajah jagoannya itu.
“Maafin bapak, Nak.” “Bapak hanya bawa dapet setoran dua puluh ribu, buat beli bensin sama uang makan kita. Sewa lagi sepi, Nak.” ujar Bejo dengan lirih sembari mengelus kepala anak kelas tiga SD itu. Riga hanya terdiam, bibirnya manyun, matanya dipicingkan. Bejo sudah hapal arti raut wajah anaknya itu.
“Aku sebel sama Bapak.” Riga lalu berlari ke kamarnya, meninggalkan Bejo duduk berdua dengan kursi plastik merah pudar.
Dengan rasa sesak tertahan, Bejo mengambil air wudu ke sumur belakang rumah lalu melangkahkan kakinya yang kaku menuju masjid.
Sepulangnya dari masjid, makan malam berupa nasi dan oseng oncom hangat telah tersaji di atas tikar plastik usang di samping kursi plastik merah.
“Makan dulu, Pak.” bujuk istrinya seraya mengambil sajadah yang di bawa suaminya dan meletakkannya di kamar. Lalu dia bersegera menyendokkan nasi ke atas piring suaminya itu.
“Riga masih ngambek, Bu?” tanya Bejo sambil menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
“Tadi udah ibu bujuk, tapi dia nggak mau keluar kamar. Pas mau ibu suapin di kamar, dia nutup mukanya make bantal.” urai istrinya yang telah mengisi kehampaannya selama delapan belas tahun ini. Bejo hanya diam.
Seusai makan malam, Bejo duduk di teras depan pintu rumah, Bejo melamun. Apakah usahanya selama ini kurang maksimal? Tidakkah Allah melihat usahanya selama ini? Bejo tahu, tidak lah Allah memberikan cobaan kepada hambanya sesuatu yang tidak bisa dilaluinya. Bejo percaya itu.
Lamunan Bejo dibuyarkan dengan tepukan halus anak sulungnya tiba-tiba. Ranti duduk di samping ayahnya seraya berbisik, “Pak, tadi Ranti udah ngitung uang tabungan Ranti, ternyata udah dua puluh ribu.”
“Ya, siapa tau cukup buat beli RPULnya Riga.”
Dengan cepat Bejo menolehkan kepala ke arah Ranti.
“Jangan, Nak, katanya Kamu mau nabung untuk beli kamus Bahasa Inggris. Uang itu Kamu simpen aja ya. Insya Allah besok bapak bawa uang yang banyak untuk Kamu, Riga, dan ibu.”
“Enggak, Pak. Ranti belum terlalu butuh kok, masih bisa pinjem sama Cahya.”
Sebenarnya tidak hanya RPUL untuk Riga, namun semua tagihan-tagihan yang ditujukan kepada keluarganya membuat hatinya terjerembab.
Bejo menatap gadis kelas enam SD itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak disengaja bulir air matanya jatuh menyebar di pipi lelaki berusia empat puluh tahun itu. Raut wajahnya yang lebih tua dari usianya tersebut tersenyum bahagia.
Bejo memeluk anak sulungnya dengan isak tertahan.
***
Di bawah terik matahari yang menyengat kulit, Bejo menuju tempat para pedagang kaki lima di sudut jalan. Mereka terlihat tersiksa karena panasnya udara siang ini. Derasnya peluh membasahi baju mereka yang lusuh. Bejo mengendarai motornya dengan pelan, sambil berharap masih ada penjual buku kaki lima seperti yang dilihatnya minggu lalu. Sesaat kemudian, pandangan Bejo terpaut pada sebuah buku dengan sampul warna merah dan hitam dengan judul ‘RPUL Lengkap edisi baru’.
Betapa bahagianya Bejo, hanya dalam hitungan jam, dia akan melihat pancaran sinar di wajah anaknya lagi. Telah lama Bejo terdiam pilu saat mendengar bahwa hanya Riga satu-satunya murid di kelas yang tidak memiliki buku seharga dua puluh ribu itu.
Sekarang saatnya kembali mencari rejeki. Apabila kemarin di pangkalan hanya mendapatkan dua penumpang, siapa tahu dengan menyisiri jalan, penumpang akan berebut menghampiri. Bejo pun mengendarai Boim mengitari jalan yang padat kendaraan. Berharap ada penumpang yang menggunakan jasa antarnya. Udara panas bercampur unsur berat seakan memenuhi paru-paru Bejo yang kembang kempis meneriakkan udara bersih.
Setelah berkali-kali memutari jalan yang sama, akhirnya di bawah sebuah jembatan penyeberangan terlihat seorang lelaki muda melambaikan tangan ke arah Bejo.
Dengan perasaan gembira, Bejo menghentikan motornya di depan lelaki itu. Tidak di sangka-sangka, dengan nafsu membara, lelaki berusia sekitar dua puluh tahunan tersebut spontan meloncat ke atas motor Bejo.
“Cepet jalan, Bang!”
“Kemana, Mas?”
“Udah, jalan dulu, nggak usah banyak nanya lu!” orang itu mendorong-dorong punggung Bejo. Namun belum sempat Bejo meghidupkan motor, ternyata terdengar teriakan.
“Maling! Maling!”
Mendengar teriakan itu, Bejo dilanda kepanikan, kepalanya menoleh ke arah kanan dan kiri. Namun sumber suara tersebut tidak nampak. Hanya berselang beberapa detik, terlihat jelas massa berjumlah puluhan turun dari jembatan penyeberangan seraya berteriak-teriak.
“Maling! Maling!”
“Uda gua bilang, jalannya cepetan! Ah tau ah!” lelaki itu lalu turun dari motor Bejo dan berlari kencang seraya meninggalkan sebuah dompet di atas jok motornya. Bejo panik setengah mati saat massa tersebut hampir mendekat. Berkali-kali dihidupkan, motornya tidak mau menyala.
“Itu tu temennya maling!” teriak seseorang di antara kerumunan massa itu.
“Gebukkiiiiinn!!!”
***
Berkali-kali aku mengatakan pada diriku sendiri. Aku tidak pantas mempunyai cita-cita. Cita-cita apa yang berhak dimiliki tukang ojek sepertiku? Memang sudah seharusnya aku menolak usulan nama pangkalan itu. Kami, tukang ojek, tidak akan pernah ceria.
“Pak! Bapak! Ratna, bapak udah siuman. Alhamdulillah ya Allah!” dengan sayup-sayup Bejo mendengar suara seorang wanita paruh baya.
“Bapak!” terdengar pula isakan seorang anak perempuan dan anak laki-laki memenuhi pendengarannya.
“Ratna, panggil dokter! Cepetan!” Bejo mendengar langkah kaki yang menjauh.
Bejo membuka matanya dengan lirih.
“Bapak, udah sembilan hari bapak koma. Hiks hiks. Alhamdulillah ibu-ibu yang dompetnya dicopet bersedia ngebiayain rumah sakit. Ibu itu bilang kalo yang ngambil dompetnya itu anaknya. Jadi pas lagi di dalam mobil, mereka berdua berantem karena ibu itu nggak mau ngasih uang ke anaknya. Anaknya sering ngambur-ngamburin duit.” jelas istrinya, sangat terlihat rona kepanikan dan derasnya air mata menyeruak di wajahnya.
“Tau-tau si ibu itu teriak uangnya diambil. Orang-orang yang denger nyangkanya si ibu kemalingan.”
“Tapi yang penting bapak udah siuman.” ujar istri Bejo seraya memeluk suaminya yang sedang terbaring lemah.
Bejo mencoba bangun dari tempat tidur. Tangannya yang lemah menyentuh tubuh, terasa balutan perban mendominasi. Lalu matanya menuju sesosok wajah, air muka Bejo menyiratkan kebingungan. “Siapa Kamu?”
Mata istrinya membelalak kaget.
Jumat, 11 Februari 2011
Anak dan Imajinasinya
Dua hari lalu aku dan adik bungsuku (Oplan) yang berusia lima tahun menonton tayangan sebuah stasiun televisi swasta. Acara itu menjabarkan mengenai hukum mengecat rambut. Tidak hanya hukum dalam agama, namun juga dampak bagi kesehatan.
Narator : “Dampak pewarna rambut kimia bagi kesehatan adalah timbulnya bercak-bercak merah dan bentol di permukaan kulit, gatal-gatal, bahkan sampai menderita sesak napas.”
Oplan: “Aku mah ga bakalan bentol-bentol ya kak, soalnya aku pake sampo Ben Ten.”
Krik krik.
Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna lontaran kalimat Oplan. Dengan spontan aku tertawa ngakak saat mengkorelasikan pernyataan si narator dengan kata-kata lucu Oplan.
Teringat pula kata-kata adikku sesaat setelah dia menonton film kartun yang berkisah mengenai kehebatan gangsing. Kalau judulnya saya lupa, hehe.
Ketika aku sedang membereskan rumah, Oplan berlari-lari kecil menghampiriku. “Kakak, aku tadi nonton film gangsing. Gangsingnya punya kekuatan, Kak. Aku juga pengen punya gangsing yang punya kekuatan juga, Kak.”
“Punya kekuatan? Kekuatan apaan dek?”
“Kekuatan api, kekuatannya keren, liat ni, jesssssss.” ujarnya sembari memutar gangsingnya.
“Walah, itu kan cuma di film, Plan. Ga ada gangsing yang punya kekuatan.”
“Dih, nggak si, Sauki gangsingnya punya kekuatan naga api. Dia yang bilang ke aku.”
“Sauki? Sauki temen Oplan? Nggak dek, boong tu.”
“Nggak, Kak, beneran. Dia beli gangsing naga api di deket SD situ, trus dia nunjukkin kekuatannya sambil terbang.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang rumah.
Dasar anak-anak. Meskipun begitu, masih terekam dengan jelas tingkah ku saat berusia sembilan tahun. Siang itu ibu baru membeli kursi rotan. Tertarik dengan bentuknya, aku pun langsung menjungkirkannya ke belakang. Lalu aku menaiki kaki kursi itu. Aku miringkan ke kanan dan ke kiri seakan aku sedang menarik becak. Dalam imajinasiku terpancang gambar aku sedang mengayuh becak yang berjalan menyusuri jalan raya. Betapa tidak masuk akalnya tingkah anak itu, pikir para dewasa.
Imajinasi adalah hal terpenting dalam pembentukkan kecerdasan dan karakter anak. Imajinasi mencakup rasa ingin tahu dan sikap kritis. Seorang anak begitu takjub melihat sebuah bola. Lalu timbul rasa ingin tahu yang membuatnya berimajinasi untuk menemukan jawaban atas penglihatannya itu. Apabila jawaban yang mereka peroleh tidak sinkron dengan imajinasinya, timbul lah sikap kritis dengan harapan jawaban selanjutnya sesuai dengan imajinasinya.
Celotehan
Pernahkah kita mendengar balita berceloteh? Atau bahkan yang lebih spesifik, memperhatikan dengan seksama isi perkataan mereka.
Bila kita cermati, setiap pernyataan mereka adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan tentang ketakjuban lingkungan sekelilingnya. Pertanyaan mengenai suatu hal yang baru nampak. Banyaknya celotehan anak, menandakan tingkat kecerdasan anak. Bahkan terkadang mereka kritis, sangat kritis malah.
Namun tanpa kita sadari, orang dewasa merupakan pembunuh imajinasi dan kepercayaadirian mereka yang paling sadis.
Contoh Kasus
Kita pasti sering melihat anak kecil yang selalu bertanya kepada ibunya.
Anak: “Bu, itu apa?”
Ibu: “Itu mobil.”
Anak: “Mobil itu apa?”
Ibu: “Ya itu.”
Anak: “Kenapa namanya mobil?”
Ibu: “Karna dia bisa jalan.”
Anak: “Aku bisa jalan tapi nama aku bukan mobil, Bu.”
Ibu: “Iya.”
Anak: “Apa, Bu? Tadi Ibu ngomong apa? Jawab dong, Bu. Kenapa itu namanya mobil?”
Lalu dengan bentakkan si ibu menyuruh anaknya diam. Dengan perasaan kesal si anak diam tanpa berani lagi meminta jawaban.
Terbunuh lah SATU ‘rasa ingin tahu’ anak.
Bila bentakkan-bentakkan tersebut berulang menghantam jiwa anak. Maka matilah seluruh ‘rasa ingin tahu’. Sikap kritis dan ingin tahunya telah terkubur bersama bentakkan-bentakkan orang tuanya sendiri. Jadi jangan salahkan anak apabila mereka tersisih dari golongan siswa rangking tinggi di kelas. Karena mereka tidak dibiasakan melampiaskan rasa ingin tahunya dengan cara mencari jawaban atas kepenasarannya. Ketidakpercayaandirinya pun dipangkas tak bersisa.
Akibat terparah adalah anak dapat menderita kegagapan. Bukannya tidak mungkin seorang anak gagap hanya karena bentakkan orang tuanya. Dosen saya pernah mengatakan bahwa sebab musabab seorang anak gagap adalah seringnya mereka di kejutkan dengan shock incident. Shock incedent tidak hanya berupa peristiwa traumatik, namun dapat pula dengan bentakkan bertubi-tubi. Shock incident membuat kepercayaan diri anak tenggelam ketika mereka berusaha berbicara di depan umum, lalu rasa takut disalahkan bahkan menjadi salah satu faktor terbesar seorang anak menjadi gagap.
Contoh Kasus
Setiap ocehan balita adalah tanda cerdasnya anak. Apalagi apabila ocehannya terdengar kritis, tajam, dan menusuk. Kadang pula membuat orang dewasa sekelilingnya menggelengkan kepala, takjub akan kata-kata ajaib yang keluar dari mulut mungilnya.
Misalnya,
“Tivinya dimatikan ya sayang, udah waktunya bobo.” ujar si ayah sambil membawa putrinya ke kamar tidur. Setelah kelihatan lelap, si ayah mencium kening putrinya seraya menyelimutinya dengan sayang. Lalu dengan mengendap-endap si ayah keluar kamar dan menghidupkan tivi yang tadi dimatikan.
“Baaa!” suara nyaring putrinya mengagetkannya yang sedang serius menatap tivi. Si ayah
mengelus-elus dada, tanda kaget yang berlebih.
“Tu kan, ayah bohong, tadi katanya harus bobo, ”
Kira-kira apakah jawaban si ayah?
Ayah yang baik:
“Oh iya, ayah lupa, hehe. Hoaaam. Ayah juga ngantuk ni. Ayo ayah anter lagi ke kamar kamu. Abis itu ayah langsung bobo juga di kamar ayah.”
Ayah yang tidak patut dicontoh:
“Ngapain ngurusin urusan ayah! Udah sana kamu masuk kamar! Ganggu ayah lagi nonton aja”
Anda sendiri yang dapat menilai.
Anak adalah ‘beo’ orang dewasa. Bila orang dewasa yang dilihatnya berbohong, dia akan mecoba berbohong. Bila dia melihat ketidak adilan, maka dia akan berbuat sama.
Seperti kisah tadi. Cara tepat mendidik anak adalah lakukan sendiri sesuatu yang orang tua ingin mereka lakukan. Misalnya seorang ayah di atas. Apabila dia ingin anaknya tidur tepat waktu, maka dia pun harus tidur tepat waktu. Bila tidak, siap-siap lah mendengar seorang anak berceloteh panjang meminta alasan mengapa orang tuanya tidak tidur cepat.
Every Child is Special
Setiap anak adalah spesial. Terlepas dari kecacatan fisik maupun mental, mereka dianugerahi kelebihan yang tidak semua anak memilikinya.
Saya pernah menonton film India berjudul Taare Zameen Par. Film tersebut berkisah mengenai seorang anak lelaki kelas tiga SD pengidap Diseleksia. Masalah yang menghadangnya adalah ketidakmampuannya membaca dan menulis. Diceritakan pula bagaimana tekanan keluarga dan lingkungan sekolah yang memaksanya mengikuti pelajaran sekolah. Yang orang tuanya ketahui hanyalah dia seorang anak pemalas dan have bad attitude. Lantas hal tersebut mematikan kecintaannya melukis. Sampai pada suatu waktu datang seorang guru sekolah luar biasa yang memahami kondisinya. Akhir yang bahagia, dia kembali melukis serta lancar membaca dan menulis.
Yang ditakutkan dari kisah itu adalah apa yang terjadi bila tidak ada yang menyadari penyebab kekurangan si anak? Masa depan seperti apa yang akan dia geluti?
Di benaknya hanyalah paranoid terhadap huruf dan angka, serta terasingkan dari lingkungannya. Karena sejak dari awal kepercayaandirinya telah disayat-sayat oleh orang tua kandungnya sendiri.
Sebagian orang tua beranggapan bahwa mereka adalah penentu masa depan anak. Anak hanya wajib patuh dan menjalankan. Namun seperti yang telah dikatakan di awal, setiap anak adalah istimewa. Mereka istimewa dengan minat mereka masing-masing. Bayangkan apabila Bambang Pamungkas dipaksa orang tuanya menjadi insinyur mesin. Nah lo?
Oleh karena itu perlu bagi orang tua untuk memahami kondisi anak. Buanglah jauh-jauh ego yang menyeruak menguasai emosi. Cobalah pahami apa minat si anak.
Bermain dan Belajar
Dewasa ini semakin banyak orang tua yang berbondong-bondong memasukkan balitanya les calistung. Para balita ditekan sampai kering agar bisa mencapai target yang ditentukan orang tuanya. Betapa bangganya para orang tua bahwa balita mereka yang bahkan belum genap empat tahun sudah lancar membaca, menulis, dan menghitung.
Namun apakah balita merasa nyaman atas perlakuan tersebut? Tidakkah mereka tertekan, apalagi saat mereka mendengar suara keras yang timbul dari mulut guru saat kata-kata yang mereka baca salah.
Kalaupun prosedur pengajarannya dilakukan dengan baik, apakah dapat lancar calistung berpengaruh besar terhadap masa depan si anak?
Hasil penelitian para pengamat pendidikan, usia balita adalah usia dimana permainan mendominasi. Belajar tetap dapat disisipkan, namun tetap dalam konsep bermain. Di usia lima tahun ke bawah penting untuk anak melatih otot-otot badan, kecekatan, dan kecermatan. Suatu yang tidak bisa didapatkan dengan hanya menghapal angka dan huruf.
Usia balita adalah tahap egosentris. Tahap yang mengharuskan mereka memupuk kepercayaan dirinya, rasa ingin tahunya, dan attitude-nya dengan bermain dan belajar. Seorang teman yang berkuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mengatakan bahwa prioritas yang harus dilakukan pihak TK adalah mengajak murid bermain sambil menyisipkan materi pembelajaran. Berusaha agar para murid feel safe di sana. Jangan buat murid merasa tertekan.
11 januari 2011
Oleh: Amel
Langganan:
Postingan (Atom)