Tragedi hedonisme merupakan polemik
tak berujung yang diaktori oleh para elite politik di Indonesia. Mereka
senantiasa menyuburkan budaya hedonisme yang merupakan salah satu akar lahirnya
praktek korupsi dalam berbagai birokrasi pemerintah dan lembaga negara. Itu
tidak lain karena ruang politik kita telah terkontaminasi semangat hedonisme
atau terasuk naluri kebinatangan serta erosi modernisme. Modernisme yang
mengagungkan rasionalitas telah menggiring para politisi dalam keterasingan
spiritualitas. Fragmen ini yang membuat politisi menjadi sangat
individualistik-egoistik.
Seorang filsuf dari Jerman, Willhem
Friederick Nietzsche berpendapat bahwa meski para aktor pemerintahan tergambar
sebagai kaum beragama, realitanya perilaku mereka jauh dari norma-norma agama.
Para elite negeri beramai-ramai membusukkan agama dengan menanggalkan
norma-norma agama. Korupsi, suap, dan bau amis perilaku amoral dibumbui
penyimpangan seksual sungguh menegaskan fenomena itu. Sungguh ironi, perilaku
hedonis itu tidak dilakukan sembunyi-sembunyi, tetapi dipertontonkan langsung
di depan publik. Nilai-nilai suci agama yang semestinya menjadi menjiwai
politisi tidak menjadi roh yang menghidupkan perilaku mereka.
Geriliya perilaku amoral itu tidak
hanya berdampak pada kerusakan kepemerintahan, namun juga dapat menyebabkan
kematian kepercayaan masyarakat terhadap para elite politik. Terbukti pada
tingginya angka golput (golongan putih) pemilu tahun 2009 yang mencapai 39.1
persen. Menurut Varma, SP dalam bukunya yang berjudul Teori Politik Modern, dijelaskan bahwa tingginya angka golput di
negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja
pemerintahan yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu
mensejahterakan masyarakat. Beberapa pengamat politik bahkan memperkirakan
bahwa pada pemilu 2014, mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya (Golput)
bisa mencapai angka 44 persen.
Demi meredam polemik tersebut, perlu
adanya perubahan mental individu pada para elit politik dan birokrat.
Selain itu, perlu adanya transformasi elit politik dan birokrat ke arah yang
konstruktif, bukan transformasi ke arah yang destruktif. Dari status quo menjadi revolusioner. Negera
ini membutuhkan kinerja mereka sebagai minority creative yang dapat do the thing
right dan do the right thing. Masyarakat mendambakan pemimpin
dengan semangat melayani yang bersifat populis, humilis, dan bersolidaritas.
Bukan pemimpin hedonis yang asimetris dan mencari keuntungan demi dirinya sendri
serta kelompok eksklusifnya.
Atensi yang besar harus muncul dari
para elit politik dan birokrat dalam menghadapi krisis kepercayaan pada negara
ini. Perlu adanya perbaikan kinerja para pemimpin dalam meregulasi negara ini.
Apatisme masyarakat akan menjadi ranjau terbesar fragmen politik, apabila tidak
ditanggulangi, bersiaplah sistem pemerintahan Indonesia akan mati suti, alhasil
ibu pertiwi kian hari kian menderita. Indonesia berharap menemukan figur
teladan layaknya pungguk merindukan bulan.
*gagal masuk suara jakarta
*gagal masuk suara jakarta
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
7 Desember 2011
0 komentar:
Posting Komentar