240211
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
Akulah si raja pohon. Salah satu penghuni ajek di antara ribuan penghuni ajek lain. Pohon penguasa hutan belantara. Hutan tempat kuasaku terletak di suatu bagian entah di mana. Yang jelas tak pernah sekali pun aku tinggalkan sejak pertama kali aku menatap surya. Saat itu aku hanya sebuah dahan kecil. Lemah dan rapuh. Daunku saja hanya segelintir yang nampak.
Ukuran kecil menjadikanku incaran para penghuni vegetarian. Banyak teman pohon menjadi korban, baru sedetik menggeliat keluar dari tanah, seketika terkunyah menjadi santapan sang perut lapar. Walau begitu, tidak pernah mereka berhasil menangkapku sampai akar. Hanya sebagian daun meski menyakitkan.
Perlahan aku paham, kami, para pohon, dapat tumbuh subur dari suatu gumpalan kotoran yang mereka sematkan di sekitar akar kami. Mereka pun hidup dari asupan dahan kami. Saling menguntungkan. Walau kadang kami ketakutan setengah mati ketika penghuni bergerak berlari kencang, takut tertabrak, terinjak, dan akhirnya mati. Tapi lagi-lagi aku beruntung. Pernah sekali saja aku tertabrak, tidak sampai mati. Saat itu sulit untuk menegakkan tubuh yang sudah patah ini, tapi dengan tekad membara aku bercita untuk hidup lama, menjadi penguasa hutan belantara. Penguasa pecinta kelipan di malam yang menyapa.
Kelipan. Dimulai saat pertama kali aku menatap malam, ribuan titik berkelip menepuk padnangan. Tiba-tiba keinginan besar merasuk dalam xilem dan floemku, menyeruak dari akar sampai ujung daun. Ingin aku menyentuh ribuan kelipan di langit. Berharap dapat loncat tinggi mencapai salah satu dari kelipan. Aku mendongak, menatap sang kelipan tanpa beralih ke pandangan lain. Rasanya aku jatuh cinta, cinta akan kelipan yang berkedip ke arahku, cinta akan kelipan yang terkadang jatuh entah ke mana. Ingin ku tangkap kelipan yang jatuh itu. Lagi-lagi tersadar, aku hanya sebuah dahan kurus kecil antara rimbunan raksasa sekitar.
Pernah aku bertanya pada awan, “Hai awan, kau sering melanglang buana mengitari dunia, pernah kah kau bertemu dengan kelipan?”
“Kelipan? Apa itu wahai dahan kecil? ” jawab awan bingung.
“Apakah kau tidak tahu apa itu kelipan?” “Benda kecil terang menyala di malam hari. Itulah kelipan”
“Oh, apakah maksudmu bintang di langit, dahan kecil?”
“Bintang? Nama macam apa itu?”
“Manusia menamakannya bintang, yang kau maksud dengan kelipan.”
“Manusia? Apa lagi itu, wahai awan?”
“Seperti pernyataanmu tadi, aku sering melanglang buana mengitari dunia. Aku temukan satu jenis penghuni bergerak yang pasti belum pernah kau lihat,” “mereka hampir serupa dengan kera, namun tidak dipenuhi bulu. Berjalan tegak menggunakan dua kaki. Mereka menggunakan suatu lapisan bahan untuk melindungi tubuh.”
“Ada lagi perbedaan yang sangat signifikan dengan para penghuni bergerak di sini. Manusia sangat pintar.”
Aku pikir telah bertemu dengan setiap jenis penghuni bergerak, ternyata ada satu jenis yang bahkan namanya pun baru kudengar. Manusia. Apakah manusia memakan dahan kami? Ataukah mereka melahap tubuh selain jenis mereka? Manusia itu pintar, kata awan. Mungkin saja mereka tidak membunuh dan merusak alam. Bahkan terpikirkan oleh mereka untuk menutupi diri dengan suatu bahan pelindung tubuh. Hebat sekali menusia itu, pikirku. Tapi, masa bodolah dengan manusia. Yang penting sekarang aku tahu nama lain kelipan. Bintang.
***
Perlahan aku membesar, asupan makanku pun bertambah. Air hujan yang menari-nari turun dari langit dengan lahap kuserap habis. Sinar matahari yang menyapa kuhirup puas bercampur dengan gas yang berganti menjadi gas berbeda favorit para penghuni bergerak. Bersamaan dengan tumbuh besarnya badanku, para penghuni lain pun semakin hormat. Bila dulu aku dianggap si kecil tidak berdaya, diinjak dengan sengaja, tapi sekarang makin sering kudengar sapaan para penghuni. Para burung makin banyak hinggap di dahanku, membuat belasan sarang dengan izinku, berkicau tiada henti menghibur penghuni hutan.
Para sahabat satu angkatanku mati dalam seleksi hutan, hanya yang kuat sang pemenang. Badai dan petir mencabiknya. Aku adalah pemenang, hahaha. Tak salah bila mereka memanggilku si raja pohon. Raja pohon hutan belantara. Meskipun gelar raja telah kukantongi, tidak berkurang sedikit pun pandanganku terhadap kelipan. Bukan bintang. Aku canggung apabila harus memanggilnya dengan bintang. Ya, cukup dengan kelipan.
Saat ini usiaku sudah sangat tua, kuhitung telah lima ribu kali bulan menampakkan purnamanya. Tentu saja dengan tubuh semakin besar dan kekar dengan akar kuat menopang para penghuni lain semakin tunduk hormat. Dari penghuni pemilik anggota gerak, sampai penghuni yang ajek pada tempat tinggalnya. Namun aku rasakan ada suatu perlahan hilang. Kelipan satu demi satu hilang tanpa pamit. Meninggalkanku sang raja pohon. Bila kelipan salah satu penghuni hutan ini, akan aku hukum dan penjarakan mereka, sembari memandangi kelipan indah mereka.
Tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan awan, si awan pencerita bintang dan manusia. Mungkin angin badai membawanya nun jauh ke sini.
“Hai, awan. Bertemu lagi kita di sini.” sapaku bersemangat.
Awan mengernyit bingung, atas gerangan apa suatu pohon raksasa menyapanya di langit.
“Siapakah engkau, wahai pohon gagah nan hebat? Apakah kita pernah bertemu?”
“Lupakah kau padaku, awan?” “Aku dahan kecil yang bertanya kelipan padamu.”
“Oh, sungguh, tidak aku sangka kau sehebat ini sekarang. Selama ini aku hanya mendengar kisah sang raja pohon, tapi tidak kutahu bahwa ini engkau, raja.” sahut awan, tidak dia sangka akan bertemu lagi dengan si dahan kecil.
“Tidak perlu kau berkata begitu, awan yang baik hati. Tidak perlu jua kau memanggilku raja, panggil aku dahan, seperti awal bertemu dulu.”
“Baik dahan. Ada apakah gerangan, nampaknya ada pertanyaan yang ingin kau ajukan padaku.” jawab awan tak sabar.
“Aku ingin bertanya tentang kelipan, eh maksudku bintang. Mengapa mereka perlahan hilang?”
Awan terdiam sejenak, seakan tidak sanggup berkisah, “Begini, dahan, apakah kau ingat dengan manusia? Salah satu jenis dari penghuni bergerak. Mereka tidak lagi nampak seperti yang kuceritakan dulu.”
“Apa maksud ucapanmu, awan? Apakah mereka berubah menjadi penghuni ajek sepertiku? Apa pula hubungannya dengan kelipanku?”
“Oh, tidak, bukan berubah seperti itu. Nanti aku ceritakan mengenai kelipanmu.”
“Manusia tidak lagi seperti yang kuceritakan dahulu. Mereka telah berubah, bukan dalam artian fisik, namun perangai. Dalam artian semakin ganas, jauh lebih ganas dari singa hutan. Singa hutan tidak membunuh sesama jenisnya, tapi manusia dengan santai saling membunuh dan merampok. Mereka tidak pernah puas dengan apapun yang mereka miliki. Rakus, licik, dan ganas.”
Aku terdiam, syok mendengar cerita awan. Bukankah yang kudengar dulu mereka makhluk pintar?
“Haha, pasti kau ingin berkata bahwa mereka makhluk yang pintar. Haha. Ya, mereka memang makhluk terpintar di bumi. Sangking pintarnya mereka membuat berbagai macam peralatan bertahan hidup. Mereka membuat rumah, gedung bertingkat, pabrik, hotel,...”
“Halah, sudah sudah. Apa itu rumah, gedung bertingkat, pabrik, dan apa lagi tadi?”
“Hotel.” sahut awan menambahkan.
“Ya, itu tadi hotel dan yang lain itu. Apa itu? Apakah semua itu jenis lain dari penghuni bergerak?”
“Oh, bukan, wahai dahan. Itu adalah sarana pelengkap manusia. Manusia membuatnya dengan cara menggadaikan solidaritas mereka. Mengeruk sebanyak-banyaknya perut bumi demi mendulang kemakmuran. Mereka menggadaikan rasa tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Asal kau tahu saja, wahai pohon, banyak penghuni ajek mati ditebang dan diambil tubuhnya hanya demi lembaran kertas dan menjulangnya tempat tinggal.”
“Apa?!? Akan kuhabisi para manusia itu! Suruh mereka menghadapku, akan kuhukum mereka.”
“Ha ha ha, hanya dengan mimpi kau bisa lakukan itu semua. Bila para penghuni ajek dapat melawan mereka, tidak akan berguguran batang-batang kayu yang akan menyebabkan banjir besar. Kau pasti tidak tahu apa itu banjir. Banjir adalah genangan air berlebih yang menyebabkan para penghuninya mati tenggelam. Itu yang kulihat di sana. Tidak ada lagi penghuni ajek sebesar engkau, wahai Pohon. Mereka bertumbangan mati menjadi papan reklame dan tusuk gigi.”
Tidak aku sangka manusia bisa sebejat itu, emosiku meradang berlipat. Ingin kuhancurkan para manusia itu.
“Lalu bagaimana dengan kelipanku? Apakah mereka diam-diam dipetik manusia untuk dijadikan santapan?”
“Tidak, wahai pohon, kelipanmu tidak hilang, hanya perlahan tertutupi oleh padatnya gas beracun yang menyebar menuju langit. Aku pun kena batunya, gas beracun itu perlahan terbang ke arahku, menyatu dan membuatku berasa asam. Karena itu, di sana aku selalu menumpahkan hujan yang juga berasa asam. Digunakan lagi oleh manusia. Mereka merusak bumi dan menikmati hasil rusakannya.”
Kelipanku, kurang ajar mereka menghalangi para kelipanku masuk ke dalam langit. Akan kubuat perhitungan saat bertemu dengan mereka. Lalu, kira-kira gas apa yang demikian hebatnya menghalangi aku dan kelipan.
“Dari mana gas beracun itu timbul? Mungkin kah manusia mengeluarkannya?” tanyaku sembari menahan amarah, tidak terima atas perlakuan manusia pada kelipanku.
“Manusia menimbulkannya dari suatu benda yang mereka buat untuk menghemat waktu dalam mencapai suatu tujuan. Padahal mereka paham betul dampak perilaku mereka. Banyak dari jenis mereka yang keracunan sampai mati. Anehnya bukannya meredam, malah semakin menjadi.”
“Tahu kah tujuanku mendatangi hutanmu? Awalnya aku berniat untuk berbicara dengan penguasa hutan ini. Tapi karena ternyata sang penguasa adalah teman baikku ini, lebih baik langsung aku katakan padamu.”
“Silakan, wahai awan, apakah yang ingin kau katakan?”
“Dua purnama lalu kudengar mereka berencana ingin datang ke hutanmu ini.”
“Siapa?”
“Siapa lagi. Mereka. Manusia.”
“Tentunya akan kusambut dengan hentakkan akarku.”
“Berusahalah melawan, karena yang aku takutkan adalah nasibmu dan rakyatmu. Aku takut mereka memperlakukanmu layaknya hutan-hutan yang lain. Menghabisimu dan rakyatmu tanpa ampun, demi membangun imajinasi terkutuk mereka.”
Oh, tidak, ini tidak boleh terjadi, tidak ada yang boleh menyakiti rakyatku. Mereka tidak hanya menghalangi aku dan kelipan, mereka akan menghabisi rakyatku!
***
Aku hanya berbagi cerita dengan kelipan. Menceritakan penderitaan rakyatku akibat ulah sang manusia. Ah, percuma, kelipan tanpa peduli demi satu hilang tanpa jejak. Aku menangis tersedu-sedu, menangisi kelipan yang perlahan habis tanpa bisa kupandangi lagi cantiknya.
Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Penghancuran, penyiksaan, penembakkan. Suara desingan dan umpatan. Bukankah mereka makhluk terpintar?
Penghuni begerak ditembak, disakiti tanpa ampun. Penghuni ajek disiksa, dengan paksa mereka menguliti, memotong, menghabisi sampai akar terdalam. Aku dengar manusia terkekeh setiap kali berhasil mendobrak pertahanan kami.
Lagi-lagi aku yang tersisa, rupanya tuhan menjabah doaku dahulu saat masih berupa dahan kecil layu. Doa mengharap kekuatan dan umur panjang. Tubuhku semakin besar, namun kulitku tidak segar layaknya dulu. Kulit menghitam akibat gas beracun yang kudengar dari awan. Gas beracun tidak hanya menyerang kulit, daun pun lambat laun menciut meronta minta tolong. Terlalu banyak gas yang harus diubah menjadi oksigen. Gas beracun terakumulasi dalam pembuluh tubuh. Aku telah sakit.
Udara sekitar semakin semeraut, aura panas membungkus tubuh. Anehnya mereka selalu berlindung di bawah dahan rimbunku. Takut kepanasan katanya. Semakin lama hampir tidak ada penghuni ajek sepertiku. Aku tersiksa akan kesendirian. Gedung menjulang merupakan pemandangan wajar sekarang ini. Lagi-lagi aku tetap menjadi raja pohon. Raja bagi satu-satunya pohon, aku.
2 komentar:
Mungkin itu yang dipikirkan oleh jutaan pohon yang terampas hak hidupnya,,
kalau suara mereka bisa terdengar, pastilah riuh rendah suara jeritan atas penderitaan mereka..
subhanallah,, bagus bgt ka,
lanjutkan..!
Keren :)
Posting Komentar