Pengunjung Lapak

Jumat, 11 Februari 2011

Anak dan Imajinasinya



Dua hari lalu aku dan adik bungsuku (Oplan) yang berusia lima tahun menonton tayangan sebuah stasiun televisi swasta. Acara itu menjabarkan mengenai hukum mengecat rambut. Tidak hanya hukum dalam agama, namun juga dampak bagi kesehatan.
Narator : “Dampak pewarna rambut kimia bagi kesehatan adalah timbulnya bercak-bercak merah dan bentol di permukaan kulit, gatal-gatal, bahkan sampai menderita sesak napas.”
Oplan: “Aku mah ga bakalan bentol-bentol ya kak, soalnya aku pake sampo Ben Ten.”
Krik krik.
Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna lontaran kalimat Oplan. Dengan spontan aku tertawa ngakak saat mengkorelasikan pernyataan si narator dengan kata-kata lucu Oplan.

Teringat pula kata-kata adikku sesaat setelah dia menonton film kartun yang berkisah mengenai kehebatan gangsing. Kalau judulnya saya lupa, hehe.
Ketika aku sedang membereskan rumah, Oplan berlari-lari kecil menghampiriku. “Kakak, aku tadi nonton film gangsing. Gangsingnya punya kekuatan, Kak. Aku juga pengen punya gangsing yang punya kekuatan juga, Kak.”
“Punya kekuatan? Kekuatan apaan dek?”
“Kekuatan api, kekuatannya keren, liat ni, jesssssss.” ujarnya sembari memutar gangsingnya.
“Walah, itu kan cuma di film, Plan. Ga ada gangsing yang punya kekuatan.”
“Dih, nggak si, Sauki gangsingnya punya kekuatan naga api. Dia yang bilang ke aku.”
“Sauki? Sauki temen Oplan? Nggak dek, boong tu.”
“Nggak, Kak, beneran. Dia beli gangsing naga api di deket SD situ, trus dia nunjukkin kekuatannya sambil terbang.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang rumah.

Dasar anak-anak. Meskipun begitu, masih terekam dengan jelas tingkah ku saat berusia sembilan tahun. Siang itu ibu baru membeli kursi rotan. Tertarik dengan bentuknya, aku pun langsung menjungkirkannya ke belakang. Lalu aku menaiki kaki kursi itu. Aku miringkan ke kanan dan ke kiri seakan aku sedang menarik becak. Dalam imajinasiku terpancang gambar aku sedang mengayuh becak yang berjalan menyusuri jalan raya. Betapa tidak masuk akalnya tingkah anak itu, pikir para dewasa.

Imajinasi adalah hal terpenting dalam pembentukkan kecerdasan dan karakter anak. Imajinasi mencakup rasa ingin tahu dan sikap kritis. Seorang anak begitu takjub melihat sebuah bola. Lalu timbul rasa ingin tahu yang membuatnya berimajinasi untuk menemukan jawaban atas penglihatannya itu. Apabila jawaban yang mereka peroleh tidak sinkron dengan imajinasinya, timbul lah sikap kritis dengan harapan jawaban selanjutnya sesuai dengan imajinasinya.

Celotehan
Pernahkah kita mendengar balita berceloteh? Atau bahkan yang lebih spesifik, memperhatikan dengan seksama isi perkataan mereka.
Bila kita cermati, setiap pernyataan mereka adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan tentang ketakjuban lingkungan sekelilingnya. Pertanyaan mengenai suatu hal yang baru nampak. Banyaknya celotehan anak, menandakan tingkat kecerdasan anak. Bahkan terkadang mereka kritis, sangat kritis malah.
Namun tanpa kita sadari, orang dewasa merupakan pembunuh imajinasi dan kepercayaadirian mereka yang paling sadis.

Contoh Kasus
Kita pasti sering melihat anak kecil yang selalu bertanya kepada ibunya.
Anak: “Bu, itu apa?”
Ibu: “Itu mobil.”
Anak: “Mobil itu apa?”
Ibu: “Ya itu.”
Anak: “Kenapa namanya mobil?”
Ibu: “Karna dia bisa jalan.”
Anak: “Aku bisa jalan tapi nama aku bukan mobil, Bu.”
Ibu: “Iya.”
Anak: “Apa, Bu? Tadi Ibu ngomong apa? Jawab dong, Bu. Kenapa itu namanya mobil?”
Lalu dengan bentakkan si ibu menyuruh anaknya diam. Dengan perasaan kesal si anak diam tanpa berani lagi meminta jawaban.

Terbunuh lah SATU ‘rasa ingin tahu’ anak.

Bila bentakkan-bentakkan tersebut berulang menghantam jiwa anak. Maka matilah seluruh ‘rasa ingin tahu’. Sikap kritis dan ingin tahunya telah terkubur bersama bentakkan-bentakkan orang tuanya sendiri. Jadi jangan salahkan anak apabila mereka tersisih dari golongan siswa rangking tinggi di kelas. Karena mereka tidak dibiasakan melampiaskan rasa ingin tahunya dengan cara mencari jawaban atas kepenasarannya. Ketidakpercayaandirinya pun dipangkas tak bersisa.

Akibat terparah adalah anak dapat menderita kegagapan. Bukannya tidak mungkin seorang anak gagap hanya karena bentakkan orang tuanya. Dosen saya pernah mengatakan bahwa sebab musabab seorang anak gagap adalah seringnya mereka di kejutkan dengan shock incident. Shock incedent tidak hanya berupa peristiwa traumatik, namun dapat pula dengan bentakkan bertubi-tubi. Shock incident membuat kepercayaan diri anak tenggelam ketika mereka berusaha berbicara di depan umum, lalu rasa takut disalahkan bahkan menjadi salah satu faktor terbesar seorang anak menjadi gagap.

Contoh Kasus
Setiap ocehan balita adalah tanda cerdasnya anak. Apalagi apabila ocehannya terdengar kritis, tajam, dan menusuk. Kadang pula membuat orang dewasa sekelilingnya menggelengkan kepala, takjub akan kata-kata ajaib yang keluar dari mulut mungilnya.

Misalnya,
“Tivinya dimatikan ya sayang, udah waktunya bobo.” ujar si ayah sambil membawa putrinya ke kamar tidur. Setelah kelihatan lelap, si ayah mencium kening putrinya seraya menyelimutinya dengan sayang. Lalu dengan mengendap-endap si ayah keluar kamar dan menghidupkan tivi yang tadi dimatikan.
“Baaa!” suara nyaring putrinya mengagetkannya yang sedang serius menatap tivi. Si ayah
mengelus-elus dada, tanda kaget yang berlebih.
“Tu kan, ayah bohong, tadi katanya harus bobo, ”

Kira-kira apakah jawaban si ayah?

Ayah yang baik:
“Oh iya, ayah lupa, hehe. Hoaaam. Ayah juga ngantuk ni. Ayo ayah anter lagi ke kamar kamu. Abis itu ayah langsung bobo juga di kamar ayah.”

Ayah yang tidak patut dicontoh:
“Ngapain ngurusin urusan ayah! Udah sana kamu masuk kamar! Ganggu ayah lagi nonton aja”
Anda sendiri yang dapat menilai.

Anak adalah ‘beo’ orang dewasa. Bila orang dewasa yang dilihatnya berbohong, dia akan mecoba berbohong. Bila dia melihat ketidak adilan, maka dia akan berbuat sama.
Seperti kisah tadi. Cara tepat mendidik anak adalah lakukan sendiri sesuatu yang orang tua ingin mereka lakukan. Misalnya seorang ayah di atas. Apabila dia ingin anaknya tidur tepat waktu, maka dia pun harus tidur tepat waktu. Bila tidak, siap-siap lah mendengar seorang anak berceloteh panjang meminta alasan mengapa orang tuanya tidak tidur cepat.

Every Child is Special
Setiap anak adalah spesial. Terlepas dari kecacatan fisik maupun mental, mereka dianugerahi kelebihan yang tidak semua anak memilikinya.
Saya pernah menonton film India berjudul Taare Zameen Par. Film tersebut berkisah mengenai seorang anak lelaki kelas tiga SD pengidap Diseleksia. Masalah yang menghadangnya adalah ketidakmampuannya membaca dan menulis. Diceritakan pula bagaimana tekanan keluarga dan lingkungan sekolah yang memaksanya mengikuti pelajaran sekolah. Yang orang tuanya ketahui hanyalah dia seorang anak pemalas dan have bad attitude. Lantas hal tersebut mematikan kecintaannya melukis. Sampai pada suatu waktu datang seorang guru sekolah luar biasa yang memahami kondisinya. Akhir yang bahagia, dia kembali melukis serta lancar membaca dan menulis.

Yang ditakutkan dari kisah itu adalah apa yang terjadi bila tidak ada yang menyadari penyebab kekurangan si anak? Masa depan seperti apa yang akan dia geluti?
Di benaknya hanyalah paranoid terhadap huruf dan angka, serta terasingkan dari lingkungannya. Karena sejak dari awal kepercayaandirinya telah disayat-sayat oleh orang tua kandungnya sendiri.
Sebagian orang tua beranggapan bahwa mereka adalah penentu masa depan anak. Anak hanya wajib patuh dan menjalankan. Namun seperti yang telah dikatakan di awal, setiap anak adalah istimewa. Mereka istimewa dengan minat mereka masing-masing. Bayangkan apabila Bambang Pamungkas dipaksa orang tuanya menjadi insinyur mesin. Nah lo?

Oleh karena itu perlu bagi orang tua untuk memahami kondisi anak. Buanglah jauh-jauh ego yang menyeruak menguasai emosi. Cobalah pahami apa minat si anak.

Bermain dan Belajar
Dewasa ini semakin banyak orang tua yang berbondong-bondong memasukkan balitanya les calistung. Para balita ditekan sampai kering agar bisa mencapai target yang ditentukan orang tuanya. Betapa bangganya para orang tua bahwa balita mereka yang bahkan belum genap empat tahun sudah lancar membaca, menulis, dan menghitung.
Namun apakah balita merasa nyaman atas perlakuan tersebut? Tidakkah mereka tertekan, apalagi saat mereka mendengar suara keras yang timbul dari mulut guru saat kata-kata yang mereka baca salah.

Kalaupun prosedur pengajarannya dilakukan dengan baik, apakah dapat lancar calistung berpengaruh besar terhadap masa depan si anak?

Hasil penelitian para pengamat pendidikan, usia balita adalah usia dimana permainan mendominasi. Belajar tetap dapat disisipkan, namun tetap dalam konsep bermain. Di usia lima tahun ke bawah penting untuk anak melatih otot-otot badan, kecekatan, dan kecermatan. Suatu yang tidak bisa didapatkan dengan hanya menghapal angka dan huruf.

Usia balita adalah tahap egosentris. Tahap yang mengharuskan mereka memupuk kepercayaan dirinya, rasa ingin tahunya, dan attitude-nya dengan bermain dan belajar. Seorang teman yang berkuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mengatakan bahwa prioritas yang harus dilakukan pihak TK adalah mengajak murid bermain sambil menyisipkan materi pembelajaran. Berusaha agar para murid feel safe di sana. Jangan buat murid merasa tertekan.

11 januari 2011
Oleh: Amel

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^