Belanja. Satu kata yang membuat para kaum hawa menoleh cepat. Belanja oh belanja. Ketika kaki melangkah menuju suatu pusat perbelanjaan, mata tertaut pada sebuah papan putih yang bertuliskanSALE: 50% OFF. Oh tidak. Jangan goda aku. Tapi apa boleh buat, batin sudah luluh, keyakinan telah goyah. Sebuah sepatu ‘lucu’ semakin meruntuhkan iman kita. Ketika melihat sepatu ‘lucu’ itu, rasanya tubuh mengalami suatu gejolak tak biasa. Jantung berdebar, nafas tak teratur, layaknya jatuh cinta. Tanpa berpikir panjang, badan langsung dielakkan ke dalam toko. Tidak ada lagi sinkronisasi antara otak dan saraf motorik. Langkah kaki terhenti, kita pandangi, tangan beringsut memegang permukaan sepatu, mengelus-elus (ini asli atau bukan). Lagi-lagi karena saraf otak seketika memutuskan hubungan dengan saraf motorik dan sensorik, tidak ada lagi pikir-pikir panjang dalam memutuskan untuk membeli atau tidak.
“Mbak, minta yang nomor 38,” perintah kita ke pada mbak-mbak pelayan toko.
Setelah menunggu selama dua menit, akhirnya mbak-mbak itu membawa sesuatu yang bersinar amat terang. Kilatan-kilatan kuning di atasnya, lalu puluhan bintang menari di sekelilingnya. Itu! Itu! Suara hati kita langsung berteriak.
Itu punya gue!!
Horee, gue menang.
Gue kalah. Hiks
Sebuah label kecil berwarna merah dalam sepatu membuat terperanjat kaget. Label berwarna putih bertuliskan Made In China membuat kita merutuk.
”Pantes aja off 50%, wong buatan cina. Gue ketipuu!!”
Kenapa? Kenapa?
Sekilas, itulah gambaran mayoritas kaum hawa yang hakikatnya doyan belanja. Tidak setuju?
#penulis langsung kabuuurr, takut digebukin pembaca.
Tidak ada wanita yang tidak suka berbelanja. Dari mbak-mbak metropolis sampai mbak-mbak jualan ikan di pasar pasti suka belanja. Tapi mungkin jenis dan kualitas barangnya yang beda. Kalau mbak-mbak metropolis belanjanya komplit. Sepatu, tas, baju, jam, tas, tas, tas, sepatu, baju, sepatu, dan jam. Barang-barang yang dibeli pun memiliki brand, seperti Gucci, Guess, Versace, Zara, Fossil, LV, Kenneth Cole, Ferragamo, Bvlgari, de el el. Walah, apa itu? Nama makanan ya? Haha. Pada intinya semua wanita pasti suka belanja, meski intensitasnya berbeda.
Ada yang beranggapan bahwa sebulan tidak belanja rasanya pegal-pegal, menggigil, bahkan meriang. Loh? Oleh karena itu, biasanya mereka menyediakan budget tertentu untuk shopping-shopping. Ada pula yang tidak mau bersusah-susah menyisihkan sebagian uang untuk belanja, oleh karena itu, mereka selalu menggunakan kartu sakti, yaitu, (bunyi drum), kartu kredit.
Penulis pernah mendengar suatu slogan, yaitu credit card is human’s best friend. Mungkin best friend in the beginning, but enemy in the last war. Lalu apabila diterawang human di sini mengacu pada fragmen kewanitaan, meski tidak menampik bahwa tidak sedikit pula para pria yang kecanduan belanja. Sisi kewanitaan sejatinya menuntut untuk berpenampilan selalu rapi, mempesona, dan (yang utama) cantik. Apalagi di-push oleh kondisi masyarakat yang mengalami disparitas status sosial, yakni penampilan yang baik dianggap sebagai suatu ke-normalan. Sehingga nilai penampilan dianggap suatu yang wajib dipenuhi hak-haknya.
Persepsi tersebut turut mengaduk-aduk paradigma kita mengenai suatu nilai kemanusiaan. Defisit akan nilai kemanusiaan terkadang tidak memanusiakan manusia sekitar yang tidak dalam kategori ‘normal’. Normal di sini adalah suatu tampilan yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Padahal ke-mayoritas-an tersebut tidaklah absolut. Kita terkadang menyayangkan, tidak fair apabila seorang yang capable, have a good skill, tetapi berpenampilan seadanya tanpa atribut kemewahan yang diusungnya malahdidiskriminasi, bahkan tidak dipenuhi hak-haknya untuk berbicara.
Berdasarkan asumsi tersebutlah, masyarakat berkompetisi untuk tampil mencapai ke-normalan yang dianut oleh mayoritas. Budget minim tak apalah, yang penting tampil pol. Selama ada kartu sakti, semua dapat diraih dengan mudah. Hal itu diendus oleh kaum kapitalis. Dengan mempertaruhkan moral bangsa, mereka mendulang rupiah dengan mudah. Tokoh panutan diusung sebagai simbol metropolis yang ‘normal’. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain adalah belia yang masih duduk di bangku sekolah. Mereka ditampilkan sebagai sosok sempurna, yang hanya berkutat dalam siklus hedonisme. Nongkrong, pacaran, dan belanja. Ketiga hal itu tercakup dalam ruang lingkup senang-senang.
Lalu, apa yang mereka llakukan agar mencapai kegiatan senang-senang itu? Kaum kapitalis punya jawabannya. Ikut life style mereka, dari mulai penampilan, makanan, pekerjaan, dan pola hidup. Dijamin selamanya akan terjebak dalam siklus negativitas. Berhutang, berfoya-foya, bermaksiat, dan lain-lain. Naudzubillah. Semoga kita terhindar dari segara sisi negatif tersebut.
Wallahualambishowab
Epilog:
Bahkan akhwat-akhwat* militan pun juga suka belanja loh. Hehe. Meski akhwat mungkin berbeda dengan mbak-mbak gaul metropolis yang senantiasa memegang belasan kartu ajaib di dompetnya. Sekali gesek lalu tanda tangan. Horeee. Punya gue! Punya gue!
Para akhwat biasanya tidak mudah menghamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak perlu-perlu amat. Mereka lebih telaten dalam mengurus keuangan, apalagi yang masih menadahkan uang kepada orangtua. Namun yang namanya akhwat kan juga manusia biasa. Lihat jilbab ‘lucu’ langsung bilang, “ih, lucu. Hmm, beli nggak yah?”. Meski akhwat pada dasarnya selalu berpikir panjang dahulu sebelum membeli sesuatu, tapi berapa lama pun berpikir, pasti dibeli juga. Entah sehari kemudian, seminggu kemudian, atau sebulan kemudian. Tidak mudah bagi kita-kita ni untuk melupakan sesuatu yang ‘lucu’, begitu istilah yang sering dilontarkan, pokoknya semua kita bilang lucu. Lihat bros jilbab ‘lucu’, gamis ‘lucu’, pulpen ‘lucu’, buku diari ‘lucu’, sarung hp ‘lucu’, gantungan hp ‘lucu’, buku ‘lucu’ (loh emang ada buku lucu? hehe), sampai al-Quran ‘lucu’ dengan sampul berbulu berwarna pink, semua menggoda iman kita.
*Kata akhwat di sini mengalami penyempitan makna, yaitu wanita yang sudah memaknai islam dengan mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-harinya. Baik dalam berpenampilan, tingkah laku, maupun dalam bertutur kata. Amin, semoga selalu istiqomah ya.
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
4 Oktober 2011
0 komentar:
Posting Komentar