Pengunjung Lapak

Sabtu, 10 Desember 2011

Ketimpangan



Ketika mata tertaut pada sosok terdeformasi itu, hati serba bimbang. Haruskah merogoh beberapa uang logam yang terselip jauh di dalam saku, atau menahan diri dalam fragmen ketidakpedulian dikarenakan kekhawatiran akan makin lancarnya siklus ketidakadilan sosok tersebut dalam lingkup kesengsaraan?
      Dimulai dari bayi yang masih kemerahan, sampai para lansia berjejer rapi di trotoar  merupakan pemandangan lumrah bagi warga ibukota. Seorang gadis beratribut selendang dan sarung dikondisikan terlihat sebagai seorang ibu yang memapah bayinya. Menadahkan tangan sambil mengiba pelan sembari menunjukkan bayi yang tertidur pulas dalam dekapannya. Meski kita semua bisa menebak dengan pasti usia gadis belia tersebut, namun lagi-lagi ketidakberdayaan kita terhadap sesuatu yang diskriminatif kurang sinkron dengan akal sehat. Padahal merunut pada sejumlah fakta mengenai human traffic yang kian marak melakukan destruksi terhadap objek-objek tertindas, mestinya kita dengan sigap meruntuhkan dinasti negativitas tersebut
Menurut Friedrich Heinrich Jacobi, bahwa keadilan adalah kebebasan mereka yang sama, ketakadilan adalah kebebasan mereka yang tak sama. Wilayah ‘yang tak sama’ yakni mereka yang menyimpang dari standar normalitas tertentu yang domain karena dianut oleh mayoritas. Penyimpangan yang dimaksud adalah disparitas status sosial dan ekonomi.
         Mereka adalah korban dari krisis makna dalam diri individu. Mereka yang lemah berdasarkan status sosial atau ekonomi akan merasa termarginalkan. Menurut Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas, di antara mereka ada pula yang menjadi korban ketimpangan sosial, merasa kehilangan tempat dalam masyarakatnya, sehingga mereka merasa diri mereka tak bermakna. Kondisi ekonomi dan politik nasional dilanda krisis turut menjadi kambing hitam ketimpangan sosial tersebut. Yakni angka pengangguran naik, sehingga krisis kepribadian mengiringnya menjadi pelaku kekerasan kolektif. Tidak heran apabila tidak pernah terjadi defisit kemiskinan, yang ada hanyalah ekspansi kaum-kaum yang termarginal.
       Kita berdiskusi mengenai sesuatu yang penuh dengan inferioritas, yakni kondisi suatu golongan yang membuatnya merasa terisolasi sebagai individu, tercerabut dari komunitasnya dan termarginalisasi secara ekonomis. Apabila kondisi terisolasi tersebut dipersepsi mengancam survival-nya, yang terjadi adalah pemanfaatan ketidakberdayaan individu lain sebagai lahan empuk dalam mencapai ke-’normalan’ dalam status sosial. Lalu apakah peran kita sebagai golongan yang senantiasa dicap sebagai agen perubahan? Penulis yakin bahwa setiap individu memiliki diferensiasi persepsi. Semoga kita tidak gagap dalam menghadapi ambivalensi sosial.

Oleh: Amalia Larasati Oetomo
3 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^