Indonesia kini
sedang menjadi pesakitan. Belum lupa dalam ingatan kita seorang juara olimpiade
digadaikan nyawanya dengan sebuah ponsel oleh oknum yang tidak
bertanggungjawab. Lalu betapa mirisnya ketika melihat seorang mahasiswa
Universitas Al-Azhar dikeroyok massa sampai kehilangan nyawa karena dituduh
mencuri helm. Kita juga disuguhkan pemandangan memuakkan dari para petinggi
negara di mana korupsi merajalela. Perilaku elite politik hedonis mengibiri
rakyat.
Polemik tersebut
menunjukkan adanya krisis ketidakpercayaan diri, kemandirian, dan nasionalisme
yang sangat rendah. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia,
seperti yang dikatakan Soekarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara
bangsa-bangsa.”. Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekhawatiran
Soekarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”
Koentjaraningrat
(1974) dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan,
menyatakan terdapat lima mentalitas negatif bangsa Indonesia yakni meremehkan
mutu, cenderung mencari jalan pintas, tidak percaya diri, dan mengabaikan
tanggung jawab.
Sungguh bangsa
Indonesia telah mengalami dekadensi moral dan kepercayaan. Andaikan Indonesia
tidak menderita distrust, maka pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) tidak perlu menggunakan pemantauan independen, pengawasan
distribusi soal, sampai pengawasan dari pihak kepolisian, sesuatu yang hanya
tampak di Indonesia.
Andaikata bangsa
ini menjunjung tinggi nilai kejujuran dan etika yang baik, maka tidak lagi
diperlukan lembaga pengawasan yang berlapis, seperti BPK, BPKP, KPK, dan
Bawasda. Sungguh bangsa Indonesia membutuhkan figur keteladanan dalam
menyuguhkan nilai karakter kebangsaan.
Pendidikan
karakter menurut Bung Hatta adalah mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau
mengambil tanggung jawab. Pendidikan karakter berperan besar dalam menentukan
perilaku kolektif kebangsaan Indonesia. Maka, pendidikan karakter ini
semestinya diterapkan semua elemen pendidikan. Karena pembentukan karakter bangsa
merupakan upaya yang tidak singkat. Di sinilah para guru berperan aktif secara
optimal dalam penyosialisasian pendidikan karakter.
Sekolah
semestinya mewajibkan komponen dari pendidikan karakter dimasukkan ke dalam
kurikulum sekolah. Pendidikan karakter tidak diterapkan oleh mata pelajaran PKn
saja, namun oleh berbagai disiplin ilmu. Guru Besar Universitas Negeri Semarang
(Unnes) bidang Pendidikan Moral Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. mengatakan, tugas
guru di kelas tidak hanya sebatas transfer
of knowledge dan transfer of science,
akan tetapi juga membina moral dan kepribadian.
Prof.
Dr. Quraish Shihab mengatakan bahwa, "Tanamkanlah tindakan, anda akan
menuai kebiasaan. Tanamkanlah kebiasaan, anda akan mendapatkan karakter.
Tanamkanlah karakter anda akan mengukir nasib".
13 Desember 2011
Amalia Larasati Oetomo
13 Desember 2011
Amalia Larasati Oetomo
0 komentar:
Posting Komentar