Oleh: Amalia Larasati Oetomo
20 Januari 2012
Somalia, mungkin
ini negara pertama yang akan saya kunjungi sebelum saya menginjakkan kaki saya
di negara impian saya, Arab Saudi. Memang, negara Somalia bukanlah negara
tujuan umat muslim untuk umrah atau pun pergi haji, tapi saya yakin akan ada
sejuta cerita dan kebaikan di sana.
Bersama dengan
keenam sahabat, kami semua memiliki kesempatan untuk dapat pergi ke sana.
Terlepas siapa pun yang diberikan amanah untuk menjadi relawan. Menjadi relawan
bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya diperlukan perjuangan tenaga dan pikiran,
namun juga keikhlasan hati yang besar. Selain itu dibutuhkan keahlian khusus
dalam meringankan beban trauma dan memberikan penyuluhan mental kepada para
korban. Hal itu yang akan kami pelajari.
Banyak persiapan
yang pastinya akan kami persiapkan dalam mengemban amanah ini. Dari persiapan
program, dana, ilmu, keahlian, dan pastinya ijin dari orang tua. Bagi saya,
persiapan terakhir inilah yang paling sulit saya lakukan. Karena apabila persiapan
lain sudah
dilaksanakan tapi ijin dari orang tua belum saya dapatkan, maka rencana yang sudah disusun rapi tersebut akan mengakibatkan kegagalan.
dilaksanakan tapi ijin dari orang tua belum saya dapatkan, maka rencana yang sudah disusun rapi tersebut akan mengakibatkan kegagalan.
Penuh rangkaian
panjang setiap meminta suatu hal kepada orang tua. Baik meminta ijin maupun
meminta suatu materi. Bapak selalu meminta penjelasan rinci tiap kali saya
meminta sesuatu. Dimulai dari apa latar belakang saya meminta ijin, bersama
siapa, apa tujuan dan manfaatnya. Apabila kalimat saya dalam mengungkapkan
alasan tidak dapat diterima, maka hasil akhir yang saya peroleh adalah
penolakan. Apapun keputusan bapak adalah suatu keputusan akhir yang tidak dapat
digugat. Maka, biasanya bapak tidak pernah seketika memberikan keputusan,
selalu menunggu agar saya dapat meyakinkan beliau. Berbeda dengan ibu, ibu
selalu spontan dalam memberikan pendapat. Beliau selalu memberikan keputusannya
saat itu juga, meski keputusannya tersebut dapat diubah-ubah.
Begitu juga
dalam meminta perijinan terkait pemberangkatan ke Somalia. Agak sulit untuk
memulai pembicaraan terkait perijinan kepada orang tua. Saya selalu memulainya
untuk berbicara kepada ibu terlebih dahulu untuk melihat respon dari beliau.
Ketika berbicara dengan ibu, biasanya saya mengawali dengan bercerita mengenai
kegiatan yang saya lakukan di kampus dan luar kampus. Seperti cerita mengenai
kegiatan perkuliahan, teman-teman, organisasi, dan lain-lain. Lalu akhirnya
cerita pun merembet terkait Somalia.
Saya: “Bu, tadi Laras diskusi
tentang jurnalistik. Awalnya ngomongin tentang jurnalistik, terus terakhir-terakhirnya
ada tawaran untuk jadi relawan ke Somalia.”
Ibu: “Oh, nggak bisa. Nggak
boleh. Kemaren Laras minta ijin mau ke Palembang untuk jadi volunteer Sea Games
aja ibu nggak bolehin. Ke Palembang aja Laras nggak boleh, apalagi ke Somalia.
Pokoknya nggak boleh.”
Saya: “Ibu, Laras di sana kan mau
jadi relawan ngajar di sana, jadi paling cuma seminggu. Nggak lama kok.”
Ibu: “Somalia negara miskin, jadi
pasti rawan. Di sana pasti banyak penyakit. Kemaren Laras abis kena tipes kan?
Gimana mau bantu orang, Laras aja sakit-sakitan terus. Muka Laras aja
tampangnya kayak orang penyakitan. ”
Saya: #SKAKMAT
Saya
pikir, percuma saja meminta ijin kepada ibu saat ini, beliau perlu untuk
diyakinkan lagi. Sebenarnya saya bukan seseorang yang mudah sakit, karena
konsumsi makan saya selalu melebihi porsi normal. Hanya, seminggu sebelumnya
saya memang baru sembuh dari sakit, jadi ibu mengasumsikan bahwa saya orang
yang mudah jatuh sakit. Terlepas dari hal itu, terlihat ibu sangat
menghawatirkan saya. Beliau pasti tidak akan mudah melepas anak gadisnya untuk
pergi ke suatu tempat yang jauh tanpa ditemani orang tua.
Selanjutnya
saya pun berbicara dengan bapak. Seperti yang saya duga sebelumnya, bapak tidak
pernah langsung memberikan jawaban terkait rencana pemberangkatan ke Somalia.
Beliau mempertanyakan:
-Pergi bersama siapa?
-Dalam rangka apa?
-Apa tujuannya?
-Apakah ada manfaatnya?
-Apakah keberangkatan tersebut
sesuai dengan syariat Islam atau tidak?
Setelah
menelan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menjelaskan panjang lebar apa itu
Somalia, rencana kegiatan yang akan kami lakukan, apa saja persiapan yang kami
persiapkan, dan tentunya menjawab-menjawab pertanyaan beliau. Seperti biasa,
bapak selalu mendengar dengan penuh antusias dan balik bertanya. Akhir diskusi
pun diakhiri dengan jawaban yang masih mengambang.
^^sebulan kemudian
Suatu
hari di rumah makcik* Febri, kami sangat panik melihat nenek tiba-tiba pingsan.
Padahal beliau kemarin tidak salah makan. Akhirnya kami membawa beliau ke rumah
sakit terdekat. Dokter mengatakan bahwa beliau harus dirawat di ruang ICU, kami
pun terkaget-kaget. Memang, nenek harus menjaga makan dan pikirannya. Karena
beliau sebelumnya sudah menderita darah tinggi, lemah lambung, dan asam urat.
Namun berdasarkan hasil analisa dokter, ternyata kadar gula dalam darah beliau
sudah tinggi. Saya semakin terperanjat, pasalnya beliau tidak memiliki riwayat
gula darah tinggi. Bahkan sehari sebelumnya ketika beliau buka puasa, saya
memasak semur ayam dan oseng kangkung. Kedua masakan saya tersebut memang manis
karena nenek tidak boleh memakan makanan yang pedas. Selain itu saya juga
memberikan es sirup markisa. Seketika saya pun lemas, jangan-jangan karena
masakan saya nenek terkapar di rumah sakit. Ternyata ketika makcik Febri
mengatakan bahwa nenek memang sudah dinasehati untuk mengurangi minuman dan
makanan manis, namun karena nenek gemar makanan dan minuman manis, sehingga kami
bingung juga untuk melarang beliau.
Nenek adalah
nenek satu-satunya bagi saya. Beliau sangat berharga, karena apabila beliau
dipanggil oleh Allah, saya tidak akan memiliki nenek lagi. Pasalnya, ibu dari
ibu saya tersebut merupakan satu-satunya orang tua bagi orang tua saya. Bahkan
ketika lahir, mereka sudah menghadap Allah SWT terlebih dahulu sebelum saya
sempat melihatnya.
Malam
itu saya dan makcik Febri menginap di rumah sakit. Saat itu saya bercerita
terkait rencana saya untuk pergi ke Somalia. Makcik Febri pun merepon dengan
sangat baik. Beliau mendukung saya untuk melakukan hal tersebut. Bahkan beliau
mengatakan bahwa sebaiknya ambillah semua pengalaman ketika muda selama itu
baik. Saya meminta beliau untuk membujuk ibu agar memberi ijin. Makcik Febri
pun dengan semangat ingin membantu saya.
Siangnya,
ibu, dan beberapa saudara datang menjenguk. Saat itu saya melihat betapa
anak-anak dari nenek saya begitu peduli dengan ibu mereka. Ketika mereka
mendengar nenek pingsan, seketika itu juga mereka langsung berangkat ke sini,
meskipun tempat tinggal amatlah jauh. Ada yang bertempat tinggal di Wates Jawa
Tengah, Sleman Jawa Tengah, Palembang, dan sebagian lagi di Jakarta. Sebelum
tinggal dengan makcik Febri, nenek sebenarnya tinggal sendiri di rumahnya yang
terletak Kasui, perbatasan Lampung dengan Palembang. Rumah beliau masih berupa
rumah panggung adat suku Semende, yang terbuat dari papan kayu. Awalnya,
kedelapan anak beliau sudah menawarkan untuk tinggal bersama mereka, namun
beliau dengan tegas mengatakan tidak ingin meninggalkan rumahnya. Namun setelah
sekian lama dibujuk, akhirnya beliau mau untuk tinggal bersama anak beliau.
Karena kondisi nenek yang sudah tua dan rapuh.
Di ruang tunggu
pasien, saya bersama ibu saya, Syita (adik perempuan saya), sepupu-sepupu, makcik-makcik,
makwo**, dan mamang*** duduk bersantai di sana. Bapak dan Zhofran (adik saya
yang paling kecil) sedang di luar. Saat itu juga saya mengatakan keinginan saya
untuk berangkat ke Somalia. Saya pun mendengar respon yang baik dari mereka.
Dan mayoritas dari mereka ingin mendukung saya. Seketika itu juga mereka
langsung berbicara dengan ibu untuk mengijinkan saya berangkat ke Somalia.
Apabila pada awalnya ibu sangat yakin tidak mengijinkan, saat itu pendapat ibu
tampak goyah. Kondisi itu saya manfaatkan untuk bercerita lebih banyak mengenai
kegiatan apa yang akan saya lakukan, lalu manfaat-manfaat yang akan diperoleh,
meskipun saya tetap mengatakan bahwa saya belum tentu akan berangkat karena
keberangkatan tergantung dengan dana yang diperoleh. Tapi lucunya ada salah
satu makcik yang mengatakan, “Laras kan kuliah fisika, kok malah jadi relawan.
Emang ada hubungannya sama kuliahnya?”
^^dua minggu kemudian
Di
ACT, sore itu kami mempresentasikan program kerja kami di depan petinggi ACT
dan KISS. Tanpa kami duga sebelumnya, mayoritas konsep kami diterima dengan
baik. Alhamdulillah pembimbing kami, Pak Iqbal, selalu memberikan masukan-masukan
terbaik kepada kami. Sepulangnya, tim kami masih tetap berdiskusi mengenai
program kedepan yang akan kami lakukan.
Di
rumah. Dua hari setelah rapat mengenai Somalia di ACT, saya pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, saya segera beristirahat di kamar. Karena ketika sampai
sudah malam hari, sehingga perlu mengistirahatkan diri sejenak. Setengah jam
kemudian, ibu memanggil saya untuk makan malam. Di meja makan, kami pun
mengobrol panjang. Sembari menyuap nasi ke mulut, saya bercerita kembali mengenai
rencana pemberangkatan ke Somalia. Karena merasa sudah sedikit mendapat lampu
hijau, saya bercerita panjang lebar. Cerita mengenai rapat-rapat internal kami,
baik di ACT maupun di luar. Lalu dengan spontan ibu menjawab tidak mengijinkan.
Ibu: “Tadi ibu liat di TV ada
relawan yang ke Somalia meninggal. Namanya dokter Andreas. Udahlah, nggak usah
mimpi mau ke sana. Ibu sama bapak nggak akan ngijinin. Jadi nggak usah ngabisin
waktu untuk persiapan, karena Laras nggak akan ikut toh?”
Saya
terdiam. Berpikir apa yang harus saya jawab. Mengapa saat ini ada saja hal yang
mengintervensi ibu yang menyebabkan ibu tidak lagi mengijinkan saya. Tarik
napas dalam-dalam lalu keluarkan.
Saya: “Kemaren pas rapat di ACT
udah sempet dibahas. Dokter Andreas itu bukan bagian dari tim ACT, tapi dari
tim yang lain, Bu. Insya Allah tim ACT yang udah berangkat ke sana nggak
apa-apa. Udah tiga kali mereka ngirim relawan.”
Ibu: “Enggak enggak. Tetep nggak
boleh. Somalia itu negara konfilk, Ras. Nggak ada jaminan keselamatan di sana.”
Saya: “Gini, bu. Kematian adalah
takdir. Kalau sudah waktunya, kapan dan dimana pun pasti ajal akan menjemput.
Jadi nggak usah dipusingin masalah ajal, karena nggak ada yang tau kapan
kematian akan datang.”
Ibu: “Sama aja, Ras. Kalau Laras
kenapa-kenapa di sana gimana? Apakah masih mau menyalahkan takdir? Lagipula
Laras ke sana nggak sama mahram. Nanti ibu sama bapak berdosa membiarkan
anaknya pergi tanpa mahram.”
Saya: “Kan yang berangkat ada
perempuannya, jadi masih diperbolehkan, Bu.”
Ibu: “Enggak, enggak boleh. Ibu
sama bapak nggak mau berdosa. Kalau tetep mau berangkat, Laras nikah dulu, baru
boleh pergi. Jadi, Laras bukan tanggung jawab ibu sama bapak lagi.”
Saya: #membisu#
Ibu: “Makanya Laras nikah dulu
aja ya. Udah ada calonnya belum? Inget loh, jodoh itu sudah ada, tapi
mendapatkannya tergantung usaha. Nikah dulu aja ya. Laras udah 21 tahun, bentar
lagi 22 tahun, jadi harus disegerakan. Kalau bisa sebelum lulus harus udah ada,
jadi pas lulus bisa langsung nikah. Nggak usah nunggu S2 dulu. Kalau udah S2
malah susah dapetnya. Makanya lain kali kalau ada yang ngelamar langsung
diterima aja. Makin banyak nolak, takutnya makin susah loh dapetnya.”
Saya:
%$%@&%!!!@$#%$&*@@$#
Masalah perijinan yang berakhir
pada masalah mencari jodoh. Sebaiknya saya pending dulu terkait perijinan ini.
*sebutan adik perempuan ibu dalam
bahasa semende.
**sebutan untuk kakak perempuan
ibu dalam bahasa semende.
***sebutan untuk adik laki-laki
ibu dalam bahasa semende.
0 komentar:
Posting Komentar