Can Asians Think?(2005)
Kalimat
tersebut merupakan judul sebuah buku karangan seorang pemikir Asia progresif
Kishore Mahbubani yang disadur dari artikel Abdul Allam Amrullah. Apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dapatkan Orang Asia Berpikir? Kalimat
yang agak provokatif menurut Abdul. Menurutnya, lebih ke arah provokatif
sensitif. Mengapa sensitif? Karena sudah memasuki fragmen rasis yang berkaitan
dengan martabat dan harga diri bangsa.
Kawasan Asia
yakni kawasan yang terdiri negara dengan sejuta peradaban. Sebut saja kawasan
timur tengah dengan peradaban Islamnya. Betapa jayanya masa Bani Ustmani yang
ternyata terporakporandak oleh manipulasi politik dan teror rendahan yang
dibumbui serta penghianatan. Lalu Negara Cina dengan peradaban Tionghoa, dan
tentu saja Indonesia yang kaya akan budaya. Lalu, bagaimana bisa bangsa-bangsa
Asia yang awalnya merupakan pelopor dari berbagai pengetahuan dan ilmu tertua
dapat begitu mundur dan beralih menjadi
bangsa kelas dua. Padahal kawasan barat saat itu merupakan bangsa yang diliputi jaman kegelapan?
bangsa kelas dua. Padahal kawasan barat saat itu merupakan bangsa yang diliputi jaman kegelapan?
Peradaban Asia akan mencapai tingkat perkembangan yang
sama dengan peradaban Barat. Realitas mendasar yang masih baru di Asia adalah
keyakinan sejati dan kepercayaan diri dalam pikiran baru orang Asia bahwa saat
ini mereka telah datang. Dan diakui atau tidak, banyak pikiran orang Asia telah
mencapai tingkatan-tingkatan tertinggi peradaban Barat di bidang ilmu dan
pengetahuan, bisnis dan administrasi, seni dan sastra. Hampir semuanya
berkembang pesat.
Yang menjadi polemik saat ini adalah, mengapa saat ini bangsa Asia
selalu membebek pada barat? Tidakkah orang Asia dapat berpikir? Atau saya mengerucutkannya
menjadi, apakah orang Indonesia berpikir? Apabila ditelisik lebih jauh,
terdapat kesalahan dalam sistem pengajaran yang mengajarkan perspektif yang
salah dalam teori belajar.
Stagnannya Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di
Indonesia mengalami kondisi yang stagnan. Belum ada kemajuan yang signifikan
pada bidang keilmuan di Indonesia, khususnya pada bidang sains. Setiap tahun siswa terpilih dikirim ke luar
negeri untuk memenangkan lomba Olimpiade tingkat dunia. Sewaktu menyaksikan pengumuman hasil olimpiade biologi
internasional, semua orang berkomentar bahwa ini adalah "All Asian Final" karena nyaris
semua peraih medali emas adalah dari negara Asia, atau kalaupun bukan dari
negara Asia, wajah mereka semua Asia. Jadi di bidang2 tertentu, orang Asia
justru lebih unggul daya pikirnya daripada bangsa-bangsa lain. Tidak
hanya itu, setiap tahun pula siswa Indonesia memeroleh medali
emas. Berdasarkan dari fenomena tersebut, sebenarnya kecerdasan masyarakat
Indonesia cenderung unggul di bandingkan dengan negara lain. Tapi pada
kenyataannya, tidak pernah sekali pun ilmuwan Indonesia memenangkan nobel.
Di Indonesia,
seorang guru cenderung menekankan pada aspek pengetahuan dan pemahaman,
sedangkan aspek aplikasi, analisis, sintesis, dan bahkan evaluasi hanya
merupakan sebagian kecil dari pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa kurang
mengembangkan daya nalarnya dalam memecahkan konsep-konsep yang telah
dipelajari dalam kehidupan nyata.
Padahal
keterampilan berpikir merupakan modal terbesar dalam memahami konsep ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga perlu kiranya bahwa masyarakat Indonesia
berpikir cerdas dan terampil. Karena seorang yang cerdas tidak begitu saja
menerima informasi yang diterimanya. Perlu adanya beberapa informasi yang perlu
dikaji secara mendalam, sehingga didapatkan konklusi akhir dalam menentukan
sikap.
Sikap inilah
yang sangat dibutuhkan oleh para ilmuwan, khususnya fisikawan, karena dengan
kemampuan berpikir kritisnya, dapat ditemukan konsep-konsep, hukum, dan teori
fisika dalam menyambangi rasa ingin tahunya akan fenomena alam.
Intelektualitas Berawal dari Struktur mental
Seorang ahli
biologi Swis, J. Piaget, tertarik akan hal ini. Mengapa seorang ilmuwan seperti
Newton dapat menemukan teori seperti mekanika klasik, atau Max Planck dengan
teori radiasi benda hitamnya. Tahap berpikir dibutuhkan dalam menemukan suatu
hipotesis yang hanya berdasarkan fakta, bukan asumsi. Bukan kecerdasan dengan
hapalan tanpa pemahaman. Selain itu, didapatkan hasil bahwa faktor usia tidak
menjamin taraf perkembangan berpikir. Menurut Piaget, perkembangan intelektual
ditentukan oleh struktur mental yang disebut dengan skemata (scheme). Struktur
mental terbentuk ketika anak berinteraksi dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan suatu perubahan dalam perkembangan berpikir.
Dalam
struktur berpikir anak, dapat ditemukan konten yang tampak pada respon dalam
menghadapi berbagai masalah dan situasi. Sehingga struktur berpikir ini akan
membuat kemajuan intelektual dalam bentuk organisasi dan adaptasi. Pada anak
dengan taraf berpikir formal (berpikir abstrak), adaptasi dapat dimulai dari
proses asimilasi atau akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi menjadikan
seorang anak mencapai kesetimbangan yang mampu memungsikan taraf kemampuan
kognitif kepada taraf yang lebih tinggi.
Namun sayangnya, pembinaan struktur mental lagi-lagi
dilupakan oleh pengajar. Sekolah hanya sibuk mendulang nilai kognitif dengan tidak
mengindahkan afektif dan psikomotorik. Standar kelulusan siswa pun hanya
ditentukan dari satu bundel tipis soal UN. Ironinya, tujuan seorang siswa
sekolah adalah menghapal materi yang akan tertera di soal, bukan untuk
menguasai konsep dan keterampilan berpikir.
Pola Pikir
Keterampilan
berpikir yang diterapkan saat ini masih jauh dari sempurna. Faktor kognitif
yang dikedepankan dalam proses pengajaran bertolak belakang pada struktur
mental yang menjadi acuan pengembangan intelektualitas oleh Piaget. Walaupun
sebenarnya beberapa aliran psikologi kognitif menyatakan bahwa ilmu tidak hanya
bersumber dari guru, siswa dapat memperoleh informasi terkait dan
mengembangkannya tanpa bantuan guru.
Pola pikir
dapat membantu seseorang dalam memahami dan mengukur fenomena alam serta
mengembangkannya dalam bentuk konsep. Dalam mengajar, seorang guru semestinya
menerapkan pola pikir realistik, karena menurut Bochenski (1987), diperlukan
usaha dalam menetapkan pemahaman akan objek atau permasalahan yang akan dicari
permasalahannya.
Dalam pola
pikir seorang fisikawan, dituntut untuk mengembangkan pikiran dari beberapa
fakta lalu berakhir dalam penarikan konklusi. Pada momen penarikan konklusi,
perlu dipertimbangkan akanproses berpikir yang didasari asumsi bahwa sesuatu
yang benar pada suatu fakta dari suatu kelompok fenomena tertentu adalah benar
bagi seluruh anggota kelompok hukum tertentu. Contohnya, pada hukum Newton 1,
2, dan 3. Hukum Newton tercakup dalam mekanika klasik, yang dalam aplikasinya
terkadang juga digunakan oleh mekanika quantum. Karena aspek yang menonjol pada
sains adalah bahwa semuanya tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Menurut Kadri Nowsky Siregar, dosen FMIPA IKIP Medan,
seorang siswa yakni manusia yang memiliki potensi dalam mengembangkan pola
pikirnya layaknya fisikawan memecahkan masalah fisika. Perbedaan di antara
mereka hanyalah taraf pengetahuan yang ditelaahnya.
Yang menjadi masalah di sini adalah kurangnya
penghargaan seorang guru terhadap pencapaian analisis siswa. Jadi agak sulit
bagi seorang anak untuk mengembangkan pengetahuannya dalam menemukan suatu
penemuan yang baru. Guru tidak menekankan analisis terhadap suatu proses. Hanya
hapalan dan hapalan. Mungkin mobil Kiat Esemka sedikit menepiskan anggapan
tersebut, terbukti anak Indonesia telah menghasilkan produk yang layak
dibanggakan. Walaupun tetap saja pencapaian masyarakat Indonesia dalam mengubah
cara pandang akan ilmu pengetahuan harus diubah.
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
19 Januari 2012
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
19 Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar