Pengunjung Lapak

Sabtu, 09 Juni 2012

Ibu Penjual Kriuk



Kali ini aku ingin berkisah mengenai seorang wanita paruh baya yang sangat menginspirasi.
Seringkali ketika kami, Mahasiswa Peduli Somalia (MPS), ketika sedang bertandang di kantor sebuah lembaga kemanusiaan di Ciputat, melihat seorang wanita paruh baya menggendong dua plastik hitam besar berisi cemilan merek kriuk. Ibu (begitu kami memanggil) sedang menawarkan barang dagangannya kepada karyawan-karyawan kantor. Mungkin karena memang sering datang, ketika sampai, beliau langsung masuk saja ke dalam kantor, sembari tersenyum sangat ramah kepada FO. Tidak lama kemudian, karyawan-karyawan yang melihat ibu langsung mendatangi ibu, memilih-milih cemilan mana yang akan dibeli.
Setelah cemilan yang dipilih dirasa sesuai keinginan, para karyawan itu memberikan uang kepada ibu. Ibu pun dengan sigap menerima uang tersebut. Beliau mengeluarkan kantung plastik lusuh dari kantung celananya. Rupanya kantung tersebut sengaja dipersiapkan ibu untuk menampung uang penjualan.
“Neng, ibu mah cuma bisa jual-jual kayak begini aja.” Ibu memulai percakapan dengan kami.
“Tapi Alhamdulillah orang-orang kantor mah baek baek. Semua suka makanan yang ibu jual, Neng.” Ujarnya sembari menghitung uang hasil penjualannya hari itu.
“Emang enak kok, Bu. Kemaren jualan mpek-mpek kan? Hari ini lagi nggak bawa, Bu?” tanyaku. Karena kemarin sahabatku, Fitri, sempat membeli mpek-mpek dagangan ibu. Dan ternyata rasanya sungguh menggoyang lidah.
“Nggak, Neng. Kalo lagi ada mpek-mpek ya ibu jualan, kalo yang ada cuma kriuk ya ibu jualan kriuk.” Ibu menghela napas.
“Namanya juga cari duit, Neng. Ibu mah semuanya buat si Restu.” Lanjutnya.
Ibu pun mulai bercerita mengenai kehidupannya. Beliau memiliki delapan anak, namun karena terkena penyakit dan tidak memiliki uang untuk berobat, keempat anaknya satu per satu pun meninggal. Anak bungsunya bernama Restu.
Selain itu, Ibu telah lama ditinggal pergi oleh suaminya tanpa sebab dan alasan yang jelas. Maka, terpaksa ibu selama puluhan tahun bekerja keras untuk menghidupi keempat anaknya. What an irresponsible man! But, until her husband leaves her alone, she gets to know the meaning of life. Beliau semakin yakin akan perannya menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya. Aku melihat tetesan air di sudut matanya. Bibirnya sedikit bergetar ketika meluapkan kisah-kisah hidupnya. Dari menjadi tukang cuci dan berdagang serabutan dilakukan hanya untuk membuat asap dapur tetap mengepul.
Aku pun sedikit berkaca pada diriku yang selama ini rupanya sering tidak bersyukur atas rejeki dan nikmat yang diberikan Allah swt. Terkadang seringkali aku menekuk muka ketika ibu memberikan uang jajan yang tidak sesuai harapanku. Ternyata perjuangan orangtua selama ini sangatlah besar hanya demi kelangsungan hidup kita.
Saat ini tanggungan ibu memang tinggal menyekolahkan Restu. Beliau bercerita bahwa Restu saat ini sedang duduk di kelas 2 SMK negeri pada suatu daerah di Jakarta. Yang membuat kami hampir menangis ketika ibu bercerita betapa semangatnya Restu untuk terus melanjutkan pendidikannya.
“Ibu udah bilang sama Restu, udah, Nak, ikut jualan aja sama ibu atau kerja aja di pabrik. Tapi si Restu malah nggak mau. Dia maunya terus sekolah.”
Saat lulus dari Sekolah Menengah Pertama, sebenarnya ibu tidak ingin membuat Restu terlalu berharap untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Namun karena Restu sangat bersemangat, maka ibu memperbolehkannya. Bahkan saat Restu mengatakan bahwa dia diterima di sebuah SMK negeri di Jakarta, ibu tidak berani masuk ke dalam sekolah tersebut, karena takut.
“Haha, ibu kenapa takut, Bu?” tanyaku
“Yaampung, Neng, ibu ngeliat sekolahnya gede banget, ibu udah gemeteran pisan pas diri di depan pintu gerbangnya.” cerita ibu sambil tertawa.
 “Waktu itu ibu bingung mau minta bantu ke mana. Akhirnya ibu datang ke Do**** Du***. Alhamdulillah dikasih. Eeh, pas udah enam bulan Restu sekolah, baru dikasih tau kalo uang masuknya enam juta. Mau pingsan ibu pas ngedengernya, Neng.” lanjutnya
Untungnya saat ibu mendaftar ulang, ibu tidak diberitahukan berapa biaya masuk dan bulanannya. Sehingga Restu bisa bersekolah dengan nyaman. Entah mengapa ternyata baru diberitahukan setelah enam bulan kemudian.
Ibu lalu berhenti bercerita sejenak.
“Kenapa, Bu?” Tanya temanku.
“Pas Restu udah di SMK, Ibu dulu pernah ngelarang Restu sekolah.” Urainya.
“Jadi waktu itu ibu sama sekali nggak punya duit buat Restu jajan. Jadi baju Restu ibu umpetin supaya dia nggak berangkat sekolah. Eh dia malah tetep aja berangkat ke sekolah, minjem baju temennya. Malah dia pernah berangkat sekolah nggak make baju seragam. Ibu jadi merasa bersalah, Neng.”
Langsung air mataku tumpah ketika mendengar kisah memilukan itu. Kisah-kisah perjuangan seorang ibu dan anak dalam mencapai cita memang sering kudengar. Namun, menerima kisah langsung dari sumbernya baru kali ini kurasakan. What a touching story.
Aku tertampar oleh cerita ibu. Teringat kadang aku sering dilanda kemalasan untuk belajar. Menunda-nunda waktu serta menyepelekan tugas. Padahal kewajiban menuntut ilmu telah tertera pada Al-Quran surat Mujadalah ayat 11, yakni, Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
“Alhamdulillah juga si Restu ranking satu di kelas. Jadi dia masih dapet beasiswa dari D***** D****. Kalo nggak ranking mah mana ada yang mau ngebiayain dia. Makanya si Restu kalo di rumah rajin banget belajarnya. Malah dia nggak malu kalo ibu datang ke sekolahnya buat jualan.” Lanjut ibu.
“Yaampun, bener, Bu? Alhamdulillah, Restu anaknya baik sama rendah hati ya, Bu?” timpalku.
 “Iya, Neng. Ibu dulu sempet nggak mau dateng buat jualan di sekolahnya Restu, takut dia malu. Eh, dia malah maksa suruh ke sekolahnya. Katanya pasti banyak yang beli dagangan ibu. Ibu jadi mau nangis waktu itu.”
Subhanallah, saat ini jarang sekali remaja seperti Restu. Padahal tidak jarang aku mendapati seorang anak yang begitu malu untuk mengakui pekerjaan orangtuanya. Sedangkan Restu dengan bangga memperkenalkan ibunya yang begitu berjuang dengan peluh untuk menghidupi keberlangsungan hidupnya.
Aku semakin penasaran ingin bertemu dengan Restu.
“Maaf ya, Neng. Jadi dengerin cerita ibu. Cerita ibu mah bikin buang waktu neng aja.” Ibu meminta maaf kepada kami.
“Ibuu, nggaaak. Malahan kita seneng banget dapet nasehat kayak gini.” Teriak kami bersamaan.
Sungguh, ilmu dapat diperoleh dari mana pun. Dan aku mendapatkan pelajaran yang sangat berarti dari kisah ibu. Betapa sesungguhnya Allah swt telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada hambanya. Nikmat yang sedang ibu peroleh adalah nikmat kesabaran, bekerja keras, dan tentunya bersyukur. Rasa syukur semestinya senantiasa dihaturkan oleh setiap manusia. Baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Karena niscaya Allah akan memberikan nikmat lebih dari rasa syukur itu.
Sungguh, semoga beliau dan keluarganya semakin diberikan kelimpahan keberkahan dan kenikmatan, rahmat dan hidayahnya oleh Allah swt.

"Neng, kalo mau nyuci baju di ibu aja ya." promosi ibu.
"Siap, Bu! InsyaAllah." jawab kami serentak.

0 komentar:

Posting Komentar

Share this article ^^