Kali ini aku ingin berkisah mengenai seorang wanita paruh baya yang sangat menginspirasi.
Seringkali
ketika kami, Mahasiswa Peduli Somalia (MPS), ketika sedang bertandang di kantor sebuah lembaga kemanusiaan di Ciputat, melihat seorang wanita paruh baya menggendong dua plastik hitam besar berisi cemilan
merek kriuk. Ibu (begitu kami memanggil) sedang menawarkan barang dagangannya kepada
karyawan-karyawan kantor. Mungkin karena memang sering datang, ketika sampai,
beliau langsung masuk saja ke dalam kantor, sembari tersenyum sangat ramah
kepada FO. Tidak lama kemudian, karyawan-karyawan yang melihat ibu langsung
mendatangi ibu, memilih-milih cemilan mana yang akan dibeli.
Setelah cemilan
yang dipilih dirasa sesuai keinginan, para karyawan itu memberikan uang kepada
ibu. Ibu pun dengan sigap menerima uang tersebut. Beliau mengeluarkan kantung
plastik lusuh dari kantung celananya. Rupanya kantung tersebut sengaja
dipersiapkan ibu untuk menampung uang penjualan.
“Neng, ibu mah cuma
bisa jual-jual kayak begini aja.” Ibu memulai percakapan dengan kami.
“Tapi
Alhamdulillah orang-orang kantor mah baek baek. Semua suka makanan yang ibu
jual, Neng.” Ujarnya sembari menghitung uang hasil penjualannya hari itu.
“Emang enak
kok, Bu. Kemaren jualan mpek-mpek kan? Hari ini lagi nggak bawa, Bu?” tanyaku.
Karena kemarin sahabatku, Fitri, sempat membeli mpek-mpek dagangan ibu. Dan
ternyata rasanya sungguh menggoyang lidah.
“Nggak, Neng.
Kalo lagi ada mpek-mpek ya ibu jualan, kalo yang ada cuma kriuk ya ibu jualan
kriuk.” Ibu menghela napas.
“Namanya juga
cari duit, Neng. Ibu mah semuanya buat si Restu.” Lanjutnya.
Ibu pun mulai
bercerita mengenai kehidupannya. Beliau memiliki delapan anak, namun karena
terkena penyakit dan tidak memiliki uang untuk berobat, keempat anaknya satu
per satu pun meninggal. Anak bungsunya bernama Restu.
Selain itu, Ibu
telah lama ditinggal pergi oleh suaminya tanpa sebab dan alasan yang jelas.
Maka, terpaksa ibu selama puluhan tahun bekerja keras untuk menghidupi keempat
anaknya. What an irresponsible man! But, until her husband leaves her alone,
she gets to know the meaning of life. Beliau semakin yakin akan perannya
menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya. Aku melihat tetesan air di sudut
matanya. Bibirnya sedikit bergetar ketika meluapkan kisah-kisah hidupnya. Dari
menjadi tukang cuci dan berdagang serabutan dilakukan hanya untuk membuat asap
dapur tetap mengepul.
Aku pun sedikit
berkaca pada diriku yang selama ini rupanya sering tidak bersyukur atas rejeki
dan nikmat yang diberikan Allah swt. Terkadang seringkali aku menekuk muka
ketika ibu memberikan uang jajan yang tidak sesuai harapanku. Ternyata
perjuangan orangtua selama ini sangatlah besar hanya demi kelangsungan hidup
kita.
Saat ini
tanggungan ibu memang tinggal menyekolahkan Restu. Beliau bercerita bahwa Restu
saat ini sedang duduk di kelas 2 SMK negeri pada suatu daerah di Jakarta. Yang membuat
kami hampir menangis ketika ibu bercerita betapa semangatnya Restu untuk terus
melanjutkan pendidikannya.
“Ibu udah
bilang sama Restu, udah, Nak, ikut jualan aja sama ibu atau kerja aja di
pabrik. Tapi si Restu malah nggak mau. Dia maunya terus sekolah.”
Saat lulus dari
Sekolah Menengah Pertama, sebenarnya ibu tidak ingin membuat Restu terlalu
berharap untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Namun karena Restu sangat
bersemangat, maka ibu memperbolehkannya. Bahkan saat Restu mengatakan bahwa dia
diterima di sebuah SMK negeri di Jakarta, ibu tidak berani masuk ke dalam
sekolah tersebut, karena takut.
“Haha, ibu
kenapa takut, Bu?” tanyaku
“Yaampung,
Neng, ibu ngeliat sekolahnya gede banget, ibu udah gemeteran pisan pas diri di
depan pintu gerbangnya.” cerita ibu sambil tertawa.
“Waktu itu ibu bingung mau minta bantu ke mana.
Akhirnya ibu datang ke Do**** Du***. Alhamdulillah dikasih. Eeh, pas udah enam
bulan Restu sekolah, baru dikasih tau kalo uang masuknya enam juta. Mau pingsan
ibu pas ngedengernya, Neng.” lanjutnya
Untungnya saat
ibu mendaftar ulang, ibu tidak diberitahukan berapa biaya masuk dan bulanannya.
Sehingga Restu bisa bersekolah dengan nyaman. Entah mengapa ternyata baru diberitahukan
setelah enam bulan kemudian.
Ibu lalu
berhenti bercerita sejenak.
“Kenapa, Bu?” Tanya
temanku.
“Pas Restu udah
di SMK, Ibu dulu pernah ngelarang Restu sekolah.” Urainya.
“Jadi waktu itu
ibu sama sekali nggak punya duit buat Restu jajan. Jadi baju Restu ibu umpetin
supaya dia nggak berangkat sekolah. Eh dia malah tetep aja berangkat ke
sekolah, minjem baju temennya. Malah dia pernah berangkat sekolah nggak make
baju seragam. Ibu jadi merasa bersalah, Neng.”
Langsung air
mataku tumpah ketika mendengar kisah memilukan itu. Kisah-kisah perjuangan
seorang ibu dan anak dalam mencapai cita memang sering kudengar. Namun,
menerima kisah langsung dari sumbernya baru kali ini kurasakan. What a
touching story.
Aku tertampar
oleh cerita ibu. Teringat kadang aku sering dilanda kemalasan untuk belajar.
Menunda-nunda waktu serta menyepelekan tugas. Padahal kewajiban menuntut ilmu telah
tertera pada Al-Quran surat Mujadalah ayat 11, yakni, Niscaya Allah akan
meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
“Alhamdulillah
juga si Restu ranking satu di kelas. Jadi dia masih dapet beasiswa dari D*****
D****. Kalo nggak ranking mah mana ada yang mau ngebiayain dia. Makanya si
Restu kalo di rumah rajin banget belajarnya. Malah dia nggak malu kalo ibu datang
ke sekolahnya buat jualan.” Lanjut ibu.
“Yaampun,
bener, Bu? Alhamdulillah, Restu anaknya baik sama rendah hati ya, Bu?”
timpalku.
“Iya, Neng. Ibu dulu sempet nggak mau dateng buat
jualan di sekolahnya Restu, takut dia malu. Eh, dia malah maksa suruh ke
sekolahnya. Katanya pasti banyak yang beli dagangan ibu. Ibu jadi mau nangis waktu
itu.”
Subhanallah, saat
ini jarang sekali remaja seperti Restu. Padahal tidak jarang aku mendapati
seorang anak yang begitu malu untuk mengakui pekerjaan orangtuanya. Sedangkan
Restu dengan bangga memperkenalkan ibunya yang begitu berjuang dengan peluh
untuk menghidupi keberlangsungan hidupnya.
Aku semakin penasaran
ingin bertemu dengan Restu.
“Maaf ya, Neng.
Jadi dengerin cerita ibu. Cerita ibu mah bikin buang waktu neng aja.” Ibu meminta
maaf kepada kami.
“Ibuu, nggaaak.
Malahan kita seneng banget dapet nasehat kayak gini.” Teriak kami bersamaan.
Sungguh, ilmu dapat diperoleh dari mana pun. Dan aku mendapatkan pelajaran yang sangat berarti dari kisah ibu. Betapa sesungguhnya Allah swt telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada hambanya. Nikmat yang sedang ibu peroleh adalah nikmat kesabaran, bekerja keras, dan tentunya bersyukur. Rasa syukur semestinya senantiasa dihaturkan oleh setiap manusia. Baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Karena niscaya Allah akan memberikan nikmat lebih dari rasa syukur itu.
Sungguh, semoga
beliau dan keluarganya semakin diberikan kelimpahan keberkahan dan kenikmatan, rahmat dan hidayahnya oleh Allah swt.
"Neng, kalo mau nyuci baju di ibu aja ya." promosi ibu.
"Siap, Bu! InsyaAllah." jawab kami serentak.
0 komentar:
Posting Komentar