Bekasi, 5 April 2012
Bekasi, pedulisomalia.co.cc - Siang
terik di kaki merapi tidak menyurutkan langkah para staf Aksi Cepat Tanggap
(ACT) beserta tim Mahasiswa Peduli Somalia (MPS) untuk melakukan perjalanan
menuju sisa puing yang diakibatkan letusan Merapi tahun 2010 lalu. Erupsi
Merapi yang terjadi hampir dua tahun silam itu menyisakan duka yang mendalam
bagi para korbannya. Tak terkecuali kecamatan Cangkringan yang terletak di kaki
Merapi. Tak pelak, kecamatan Cangkringan
begitu sepi dari keramaian penduduk. Rumah-rumah yang dahulu berdiri kokoh,
sekarang tampak oleng. Bahkan tidak sedikit yang rata dengan tanah.
Rangkaian aktivitas seismik di Merapi berujung pada letusan yang terjadi
dua kali, yaitu pada tanggal 26 Oktober dan 4 November 2010. Letusan ini
mengeluarkan limpahan materi vulkanik sehingga tak pelak menghantam daerah
sekitar Merapi. Dampak kejadian dua tahun lalu masih tampak terasa ketika
memasuki kawasan tersebut. Tidak terlihat lagi tanah yang tergolek rapi, yang
ada hanyalah bebatuan. Rumah-rumah penduduk tenggelam oleh tumpukan pasir yang
menggunung di sekitarnya. Ada beberapa rumah yang hanya terlihat bagian atapnya
saja. Sehingga dengan mudah kami menaiki atapnya sembari melihat-lihat.
Masih di Kecamatan Cangkringan, di wilayah lain, beberapa rumah penduduk
telah diperbaiki, meski tumpukan debu yang berasal dari wedus gembel (awan
panas) masih banyak tersebar di beberapa wilayah. Para penduduk rupanya telah
melakukan aktivitas seperti biasanya. Mencari nafkah di seputaran desa. Pada
awalnya, mata pencaharian para penduduk
bergantung pada komoditas alam. Tinggal di sebuah desa yang sebagian wilayahnya
merupakan hutan, menjadikan penduduk desa sangat bergantung dengan ketersediaan
alam tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai petani dan
peternak.
Di sepanjang jalan, mata kami selalu tertuju pada beberapa wanita paruh
baya yang tengah memanggul tumpukan kayu dan rumput. Selama kami berada di
sana, para pencari kayu bakar dan rumput yang terlihat mayoritas adalah wanita.
Bukan hal yang tidak lazim ketika melihat beberapa wanita paruh baya pulang
menuju rumah sembari menggendong sekitar 20 kg kayu. Mereka berjalan sekitar
5-20 km menuju tempat tinggal. Lalu di mana para pria? Kebanyakan lelaki di
desa tersebut bekerja di sawah atau menjadi buruh pasir.
Buruh pasir adalah profesi yang banyak digeluti oleh para penduduk dewasa
ini. Merapi tidak hanya merenggut nyawa para penduduk, namun juga mengakibatkan
gejala ekonomi yang tidak sehat dengan semakin bertambahnya jumlah
penggangguran di sektor regional. Apalagi awan panas dan lahar dingin telah
menghancurkan tempat tinggal, bahan baku produksi, dan alat produksi yang
mereka miliki. Hal itu membuat mereka mencari komoditas lain, yaitu pengerukan
pasir.
Potensi ekonomi ini tidak hanya dimanfaatkan oleh penduduk, namun juga pemerintah daerah. Setiap hari puluhan truk pasir mengambil pasir dan bebatuan yang akan dijual kepada penadah untuk bahan bangunan. Setiap satu truk pasir, para pendulang wajib menyerahkan uang pajak sebesar 180 ribu rupiah kepada pemerintah daerah. Apakah ini termasuk eksploitasi alam? Beberapa penduduk menampikkan pendapat tersebut. Bahkan ketika potensi alam berupa pasir dan batu alam ini belum sempat habis, kemungkinan besar Merapi akan kembali mengeluarkan lava pijar yang merupakan cikal bakal dari pasir dan bebatuan. Meski keberkahan tersebut tidak bisa tergantikan oleh renggutan nyawa manusia dan harta benda yang meluruh bersama lelehan lava.
0 komentar:
Posting Komentar