Terjerembab oleh keegoisan kekuatan superior masa orde baru, cukup membekukan letupan paradigma para pelopor muda (baca: mahasiswa) dalam menelurkan gagasan yang mendobrak keterpurukan bangsa. Kedaulatan mahasiswa menjadi terkungkung serta menyempitkan paradigma idealis yang mencoba menyeruak keluar. Kisah lama tersebut merefleksikan realita betapa kelamnya sejarah kedaulatan mahasiswa pada wilayah yang bernama kebisuan.
Meskipun dewasa ini telah jarang terlihat diskriminasi orasi, namun ternyata acap tampak pada pengekangan hak yang terkodifikasi penguasa (baca: rektorat) dalam meredam buncahan pemberontakan. Bahkan pada kampus tanpa kedaulatan mahasiswa, rezim kapitalisme transnasional (melalui tangan negara) berusaha mengakademik dan mendepolitisir mahasiswanya. Gerakan ekstra universiter ideologis diusir dan eksistensi dimatikan. Padahal kampus adalah penelur handal para mahasiswa yang bermilitansi dan berintelektual tingkat tinggi.
Merujuk pada kampus peradaban (baca: UIN Syarif Hidayatullah) yang masih menjunjung tinggi hak pemikiran penghuni universeter, kedaulatan yang bernama legislatif itu masih utuh berdiri tanpa ketimpangan. Legislatif memungsikan diri sebagai badan perwakilan, berisikan wakil mahasiswa yang beranggotakan para penyerap dan penyalur aspirasi masyarakat kampus. Dapat disayangkan masa jaya mahasiswa hanya akan menjadi sejarah tak terulang apabila legitimasi mahasiswa dikonversi menjadi senat.
Senat adalah badan normatif tertinggi dan sekaligus merupakan badan perwakilan dosen pada tingkat universitas. Tapi perlu kita ingat, kita juga memiliki badan tertinggi perwakilan mahasiswa tingkat universitas dan ini juga merupakan bagian dari proses demokrasi kampus yang seharusnya dilibatkan.
Berdasarkan teori dependensia dan teori sistem dunia, konversi tersebut diduga bertujuan demi meretas hambatan dan memperlancar arus kapital nasional ke rezim transnasional (baca: membangun jalan tol kapital). Materialisasi dari upaya itu yakni mendepolitisir mahasiswa dengan mematikan kegiatan ekstra universeter ideoligis. Jika itu terjadi, maka pemotongan proses produksi kader intelektual akan semakin tajam menusuk. Lalu sebenarnya, apa yang menjadi tujuan utama peniadaan demokrasi intelektual tersebut?
Dua asumsi berdasarkan realita yang mengakar akan disibak. Pertama, terdapat kekhawatiran mendalam pada kemungkinan terjadinya perang ideologi antargerakan-ekstra-universiter yang berujung kekerasan. Kedua, ketidaknyamanan terhadap perilaku oposisi mahasiswa yang terkadang merugikan pihak atas.
Apabila ternyata sistem baru tersebut jadi direalisasikan, maka keterpurukan ideologis mahasiswa akan terulang lagi laiknya masa orde baru. Pelbagai aturan yang non-pro rakyat universiter akan memasung eksistensi aspirasi yang menerapkan pengakademisian mahasiswa. Maka tak ayal, mahasiswa terforsir oleh kegiatan belajar sampai habis secara fisik dan psikis. Mereka pun minim waktu untuk bergelut dengan organ gerakan mahasiswa. Lalu habislah para pelopor muda satu demi satu tersandung waktu.
Oleh: Amalia Larasati Oetomo
10 Mei 2010
Senin, 11 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar