Untuk Sena, Rafki, dan Penyandang Disabilitas yang lain.
Pukul Sembilan malam, dua laki-laki itu menjadi tujuan tatapan puluhan
pasang mata di sana. Sena dan Rafki. Mereka berdua tampil di hadapan para
peserta Inagurasi FLP Ciputat yang lain. Lampu dimatikan sebagian, terdengar
suara satu sosok mengagumkan. Suara itu melontarkan puisi-puisi yang kala itu
membuat hampir seisi ruangan tertegun. Termasuk saya. Baru beberapa kalimat
pertama yang terdengar, sudah membuat saya menangis sesegukan. Puisi tersebut
puisi cinta. Cinta kepada sesama manusia. Cinta kepada Allah SWT. Cinta yang
menjadikan kita merasa malu telah begitu sering tidak bersyukur akan
kesempurnaan. Seringkali celah kecil membuat kita merutuk sepanjang jalan.
Sedangkan masih banyak sosok-sosok dengan kekurangan, namun menjadikan
kekurangannya sebagai doping dalam
berusaha mencapai cita.
berusaha mencapai cita.
Dia adalah Sena yang dengan lantang membacakan puisi dari hati. Dari
hati? Ya, dia menuliskan puisi itu di hatinya. Bukan di selembar kertas. Selain
Sena, tampak Rafki mengiringinya dengan gitar. Selain itu ada tiga perempuan
yang berperan sebagai sosok Sena dan Rafki. Berkeliling panggung sembari
memegang tongkat putih.
Puisi itu menggambarkan suasana hati mereka akan ketidaksempuraan yang
dimiliki. Puisi itu bercerita mengalun mengenai cerita tentang persahabatan dua
penyandang disabilitas di sebuah sekolah normal yang penuh “ketidaknormalan”,
bagaimana saat itu Sena dijemur berdua bersama temanya di tengah lapangan karena
tidak sengaja mengunci temannya di gudang, cerita sendu akan sedihnya Sena
ketika ternyata temannya tersebut meninggalkannya untuk menghadap Allah SWT
terlebih dahulu, cerita tentang impian menjadi sosok hebat tanpa
mengait-ngaitkan kekurangannya, cerita tentang impian untuk menepiskan anggapan
bahwa tuna netra hanya dapat menjadi tukang pijat. Saya yakin usaha Sena dan
Rafki akan berbuah manis. Memasuki sebuah komunitas penulis
Sebelumnya, saya memberanikan diri untuk mencoba berkenalan dengan Sena
dan Rafki. Meski sebenarnya awalnya agak canggung karena sebelumnya saya belum
pernah mengobrol dengan seorang penyandang tuna netra. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya saya pun mencoba untuk menegur sapa. Setelah
mengobrol beberapa menit, ternyata mereka berdua adalah sosok yang sangat
menyenangkan. Namun pada akhirnya saya lebih banyak mengobrol dengan Rafki
karena saya duduk bersebelahan dengannya saat itu.
Dari percakapan panjang, saya menemukan sisi lain dari mereka. Banyak hal
yang membuat saya kagum berat. Rafki berkuliah di UIN semester sepuluh. Bahkan
satu fakultas dengan saya. Jujur, saya sedikit terkejut, pasalnya saya belum
pernah melihatnya sebelumnya. Saya memang sering melihat seorang mahasiswa penyandang
tuna netra, tapi bukan Rafki. Mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia itu
bernama Wijaya. Awalnya saya berpikir mahasiswa penyandang disabilitas hanya
mahasiswa bahasa Indonesia itu, namun ternyata masih banyak yang lain, termasuk
Rafki. Sedangkan Sena adalah siswa SMA 66 Jakarta.
Kami berdua pun saling bercerita, saya baru tahu bahwa Rafki sudah sangat
lama tidak menginjakkan kaki di sekolah luar biasa (SLB). Rafki tidak lagi
bersekolah di SLB sejak memasuki jenjang SMP. Awesome! Pasti sangat berat untuk seseorang dengan disabilitas
bersekolah di sekolah umum. Tapi nyatanya dia berhasil! Terakhir kali Rafki
memasuki SLB yaitu saat melakukan praktek mengajar (PPKT) di sebuah SMP SLB
yang ternyata merupakan sekolah Sena. Kereenn.
Setelah tampil, Sena masih sempat melontarkan kelucuan. Saya berkata,
“Hebat tadi penampilanya, buat aku nangis. Banyak yang nangis loh, Sen.
Menyentuh banget. Kereen”, pujiku sembari menyodorkan dua jempol tanganku di
hadapan mereka. Sambil terkekeh-kekeh Sena dengan enteng menjawab, “Hypnowriting saya berhasil, udah bikin
banyak orang nangis, hehehe.” Mendengar jawaban dari Sena, beberapa temanku
berkata, “Sena harus tanggung jawab udah bikin kita nangis.”
Banyak hal yang saya pelajari ketika berbincang dengan mereka. Mereka
sangat peka terhadap suara. Ketika siang harinya saya menegur mereka lagi, lalu
dengan spontan Rafki mengatakan “Amel ya?” padahal tidak hanya saya yang
berbicara dengannya di hari itu. Selain itu, saya yakin mereka memiliki
imajinasi yang sangat tinggi melebihi manusia normal. Bayangkan, seseorang yang
belum pernah melihat apapun seumur hidupnya, dituntut harus membayangkan
sesuatu di sekelilingnya. Maka, ketika acara berlangsung, seperti pertunjukkan
yang tidak dapat mereka pahami, biasanya ada beberapa teman yang menceritakan
kejadian yang tengah berlangsung. Biasanya mereka selalu merespon dengan
antusias. Mereka bertanya sembari membayangkan.
Selain itu, mereka luar biasa menyenangkan. Mereka selalu ber-positive thinking dalam menilai
persoalan. Tawa dan canda tidak perlah luput dari keseharian mereka. Sungguh
Allah telah menciptakan kelebihan yang tidak terlihat mata.
Dalam hati, aku sungguh iri dengan semangatmu, kawan. Perjuangan ini
belum berakhir. Betapa saya takjub melihat mereka tidak pernah melupakan solat.
Mereka pun sering membaca al-Quran dengan huruf braile. Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada mereka, sehingga mereka tetap
bersemangat dalam mencapai cita di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Hei kawan, tidak ada manusia bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah
manusia malas. Malas belajar, malas bermimpi, malas berusaha, malash bekerja
keras, malas membantu sesama. Semestinya kita yang masih menyandang kata malas
harus belajar kepada mereka, penyandang disabilitas. Atau sebenarnya kita yang
normal ini sebenarnya penyandang disabilitas. Kita ini tuna karya, tuna
kemanusiaan, tuna kedermawanan, tuna kerja keras, bahkan tuna kepercayaan.
Mereka menyadarkan kita akan pentingnya bersyukur kepada Allah SWT.
30 Januari 2012
Amalia Larasati Oetomo
1 komentar:
kunjungan..
sukses selalu ..:)
Posting Komentar