Takdir merupakan suatu ketetapan yang haq, tidak dapat diganggu dan
digugat. Suatu perkara yang terjadi adalah rentetan takdir yang telah
ditetapkan sebelumnya. Seorang insan tidak dapat mengetahui takdir yang telah
ditentukan oleh-Nya. Seorang insan hanya dapat melakukan usaha dan kerja keras
dalam mencapai takdir, meski takdir hanya bisa diperoleh berdasar kehendak-Nya.
Persahabatan kami dimulai dari suatu jalinan proses yang panjang. Takdir yang mempertemukan kami. Berawal dari mengikuti suatu organisasi kampus, sampai akhirnya menemukan beberapa komunitas dan organisasi di mana rasa nyaman dan ukhuwah diperoleh. Bergelut dengan dunia organisasi banyak menanamkan pelajaran dalam keseharian. Pelajaran mengenai solidaritas, kedewasaan, dan banyak lagi ilmu-ilmu bermanfaat.
Persahabatan kami dimulai dari suatu jalinan proses yang panjang. Takdir yang mempertemukan kami. Berawal dari mengikuti suatu organisasi kampus, sampai akhirnya menemukan beberapa komunitas dan organisasi di mana rasa nyaman dan ukhuwah diperoleh. Bergelut dengan dunia organisasi banyak menanamkan pelajaran dalam keseharian. Pelajaran mengenai solidaritas, kedewasaan, dan banyak lagi ilmu-ilmu bermanfaat.
Terkadang terbersit kekhawatiran orangtua ketika saya menggeluti berbagai
organisasi. Kekhawatiran itu timbul akibat saya yang memang kurang pandai
mengatur waktu. Bertubi-tubi nasihat pun saya dapatkan ketika memulai
perkuliahan. Nasihat bahwa kegiatan perkuliahan adalah tanggung jawab pribadi
dan mereka akan mengurangi kontrol terhadap saya. Lagi-lagi mereka berkata
bahwa kuliah di UIN adalah pilihan, mereka lebih merestui perkuliahan jurusan
pendidikan di kampus sekarang dibandingkan kedokteran hewan di salah satu
universitas negeri di Yogyakarta. Padahal sudah jelas nama dan nomor saya
tertera di koran nasional kala itu. Tinggal selangkah lagi, yakni mendaftar
ulang, saya akan bisa berkuliah di almamater yang sama dengan bapak. Namun,
bujuk rayu nyatanya tak mempan dalam meraih ijin dari mereka. Tidak ingin
melepas anak gadisnya pergi jauh adalah alasan terkuat. Dengan hati gondok,
akhirnya dengan berat hati saya menuruti keputusan mereka. Melepas impian
“Laras mau jadi dokter”sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Setahun
berlalu, tidak diduga sebelumnya, banyak hal baru yang menjadi momen awal
pendewasaan diri, yang mungkin tidak dapat saya peroleh di universitas impian
saya itu.
Perjalanan panjang itu ternyata sampai pada suatu momen berharga ini.
Momen yang sempat saya torehkan pada buku mimpi. Meski pada awalnya tidak
sempat membayangkan akan mendapat kesempatan untuk merealisasikan. Namun ketika
pena menggoreskan satu kalimat itu, pikiran dan hati sekelebat tidak sinkron.
Pikiran menuntut si hati yang tidak realistis menjunjung mimpi dan harapan.
Pikiran pun menolak memberikan perintah pada sensor motorik untuk menggerakkan
tangan menulis torehan kata. Ternyata hati memiliki andil kuat dalam menentukan
arah, hati berkata pada si pikiran bahwa jalan hidup tidak seperti air
mengalir. Kehidupan tidak melulu konkrit, dengan keyakinan kuat, mimpi-mimpi
besar pasti dapat diraih.
Lihatlah bagaimana umat Islam mengalami pertempuran paling heroik di era
awal perkembangan Islam, yakni Perang Mut’ah. Pasukan umat Islam yang hanya
berkekuatan 3000 muslim melawan pasukan Romawi dengan kaisarnya bernama
Heraclius. Pasukan Romawi dengan jumlah 200.000 nyatanya berhasil dikalahkan oleh pasukan Islam. Hati akhirnya mengendalikan pikiran yang termaktub dalam untaian
keyakinan.
Keyakinan itu yang membawa kami sampai pada titik ini. Keyakinan yang
berasal dari kekuatan hati dilanjutkan dengan pengendalian akal sehat. Keyakinan
berawal pada hati kami. Diawali betapa hati terenyuh melihat saudara yang
begitu menderita terombang ambing takdir, menyebabkan mereka tidak dapat hidup
layak. Ketika raga menyelusuri jalan, tampak penuh para gelandangan memadati
kolong jembatan layang. Tidur pulas beralas terpal bekas berselimut sarung
kumuh. Tidak dapat dibayangkan apabila turun hujan, mereka kedinginan tanpa
dapat menghangatkan tubuh. Sebatang kara hidup meminta. Memeluk tubuh menggigil
di atas tanah becek.
Selain itu tampak pula anak kecil berusia tiga tahun berbaju lusuh
bernyanyi dengan suara parau di sebuah angkutan umum. Mungkin kelelahan setelah
seharian mengamen, atau terlalu capek dibentak karena setoran yang kurang.
Wajahnya memelas ketika menadahkan tangan seusai bernyanyi, berharap koin-koin
tersisa yang terselip di kantung para penumpang. Tampak beragam respon yang ia
terima, ada penumpang yang mengabaikannya, ada pula yang dengan santun menolak,
dan meski ada juga penumpang yang memberikan sisa recehnya.
Sebenarnya mimpi yang tersimpan ini sederhana, ingin mengembalikan senyum
ceria mereka. Betapa hati ini bahagia ketika melihat anak-anak pemulung dengan
terbata-bata dapat membaca iqro. Dengan semangat yang tak pernah luntur, mereka
belajar meski tempat tidak memadai. Bertempat di sebuah ruangan yang terbuat
dari atap seng, dan beralaskan tikar di atas tanah, dikelilingi tumpukan
sampah, mereka tetap semangat. Bahkan ketika kami para pengajar tidak sempat
hadir, mereka ternyata menunggu kami sampai jam selesai.
Pernah suatu hari, ketika itu turun hujan, ada seorang anak dengan baju
basah kuyup datang. Saya bertanya kepadanya, “Sayang, kamu nggak ngaji? Kok
masih pake baju sekolah? Basah lagi.” Dengan tas basah dipelukan, dia menjawab,
“Aku baru pulang sekolah. Kakak, jangan dulu selesai ya ngajinya. Aku mau
ngaji, tungguin aku ya, aku mau ganti baju dulu.” Badannya menggil kedinginan.
Aku menatap wajahnya sambil mengangguk. Selepas dia pergi, tak sengaja setetes
air mata mengalir.
Setengah jam kemudian, terdengar adzan maghrib, dia tak kunjung datang.
Salah seorang teman mengatakan sebaiknya kami segera pulang. Namun aku tidak
sanggup meninggalkan anak perempuan itu. Dia ingin mengaji. Lalu salah seorang
murid berkata padaku, “Kak, dia kayaknya lagi disuruh bantuin ibunya di rumah,
jadi jarang ngaji, Kak.” Kepalaku mendadak pening. Aku menatap gunungan sampah
di samping gubuk ini. Tampak rumah-rumah terbuat dari seng berisikan keluarga
yang semuanya berprofesi sebagai pemulung. Hal tersebut yang membuat hati
semakin sakit. Sakit karena belum dapat memberikan bantuan maksimal terhadap
mereka.
Takdir pula yang membawa kami menuju suatu puncak harapan ini. Harapan
yang seakan membuncah ingin segera melakukan kegiatan kemanusiaan kepada para
korban. Betapa bahagianya kami ketika sudah mencapai tahap itu. Tahap ketika
mata kami menatap senyum para korban yang sumringah bahagia karena perjuangan
kami. Mungkin hati kami tidak dapat dibendung ketika melihat anak-anak bermain
gembira karena tetesan peluh kami.
Meski perjuangan ini baru dimulai, kami yakin dapat melukis senyum
melalui untaian jalinan persahabatan kami.
Ciputat, 5 Februari 2012
Ciputat, 5 Februari 2012
1 komentar:
kunjungan ..
sukses selalu ..:)
Posting Komentar