Pengunjung Lapak

Jumat, 24 Desember 2010

Sinkronisasi Kemiskinan dan Kebodohan


Oleh : Amel ^^
 Siswa didrop out dari sekolah hanya karena tidak bisa membayar SPP. Bahkan yang lebih miris, seorang anak kelas dua SD bunuh diri hanya karena tidak bisa membeli buku gambar. Dan masih banyak lagi kisah-kisah menyayat hati apabila ditelisik lebih lanjut. Sebenarnya, ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Apakah sedemikian parahnya?
Pendidikan dan ekonomi memang bagaikan benang yang terkait satu sama lain. Bila dikatakan bahwa kemiskinan lah penyebab kebodohan bahkan secara sistematis, hal tersebut patut dibenarkan, meskipun tidak selalu. Namun sinkronisasi ini akan selalu terkait. Bila dikatakan kemiskinan adalah sebab, maka kebodohan adalah akibat. Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan dapat menyebabkan kebodohan dan kebodohan identik dengan kemiskinan.
Sebagai contoh, terdapat sebuah keluarga miskin yang lahir dari ketidak pahaman akan pendidikan. Lingkungan tempat tinggalnya pun tidak memprioritaskan urgensi pendidikan. Tidak ada dukungan secara konkrit dari para orang tua, baik secara materi maupun secara abstrak. Meskipun ada, dukungan tersebut hanya sekedar sunnah yang kadang dilakukan, kadang pun tidak. Alhasil, para orang tua miskin yang tidak memahami urgensi pendidikan, akan memprioritaskan anaknya untuk bekerja saja. Sehingga kemisinan tersebut akan berulang dan berulang, menjadi virus turun menurun. Meskipun begitu, ada pula anak-anak yang memiliki semangat belajar meskipun tidak ada sokongan materi dari orang tuanya, namun lagi-lagi para siswa berprestasi tersebut akan terhalangi oleh mekanisme sistem pendidikan yang digerakkan oleh uang.
Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan  dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98). Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Menurut data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Sungguh ironi, lebih dari setengah rakyat Indonesia yang melimpah akan sumber daya alamnya memiliki predikat miskin.
Terdapat tiga rantai pengait yang menjadi kunci, yaitu;
1.     Kepedulian pemerintah. Penanggulangan kemiskinan dan perbaikan pendidikan selalu dijadikan jargon partai politik demi menarik simpati rakyat. Namun dapat dilihat dengan panca indra kita, tidak ada satupun agenda-agenda tersebut terealisasi. Di Jepang, saat terjadi pengeboman di Hirosima dan Nagasaki, sistem kepemerintahan Jepang luluh lantah. Lalu pemerintah Jepang mengambil inisiatif untuk memajukan pendidikan terlebih dahulu. Tidak ada urusan politik maupun kekuasaan. Tak lama berselang, Jepang berdiri sebagai negara kokoh dan maju. Kemajuan pendidikan dapat terealisasi apabila pemerintah menjadikan pendidikan sebagai agenda utama dalam memperbaiki struktur kepemerintahan.
2.     Penjajahan terselubung. Pada era ini, terdapat penjajahan terselubung oleh negara-negara maju terhadap dimensi kehidupan negara-negara berkembang. Hal tersebut terlaksana dengan memberikan pinjaman hutang. Alhasil dengan hutang yang semakin meningkat, terjadi privatisasi terhadap badan-badan atau lembaga milik negara yang dikuasai pihak-pihak asing. Bahkan lembaga pendidikan tidak luput pada penguasaan ini. Akibatnya pendidikan semakin mahal, sehingga tidak semua rakyat Indonesia dapat mengenyam bangku pendidikan. Bahkan iklim investasi modal menuntut pemerintah untuk melindungi pemodal dan menyediakan buruh murah. Akhirnya terbentuklah sebuah lingkaran  pendidikan yang hanya mampu menyediakan tenaga kuli dan buruh dengan pendapatan minim. Oleh karena itu, tidak salah apabila para orang tua miskin lebih menganjurkan anak-anaknya untuk menjadi buruh dibandingkan menikmati retorika kehidupan kampus.
3.     Yang terakhir adalah ketidakmampuan masyarakat dalam beradaptasi pada lingkungan sekarang. Kondisi krisis multidimensi menjadikan masyarakat memiliki harapan rendah dalam hidup. Sehingga menjadi rendahnya hasrat untuk memperbaiki kondisi pendidikan. Maka yang tampak adalah masyarakat yang lebih mementingkan perut dibandingkan pendidikan. Akibatnya adalah kebodohan semakin menjerat dimana masyarakat miskin akan mereproduksi masyarakat yang kembali miskin, alhasil kemiskinan dan kebodohan menjadikan masyarakat sebagai inang yang sulit lepas.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

daripada nyalahin pemerintah terus atas ketidakmampuannya memajukan pendidikan indonesia (yang memang ga bisa maju2), daripada nyalahin sistemik ekonomi dan kaitannya dengan pendidikan indonesia.. kira2 kita, sebagai mahasiswa atau orang biasa, ini bisa berperan dimana? untuk bisa mendewasakan pola pikir rakyat miskin, untuk bisa berperan langsung dalam mendidik akademis rakyat miskin, untuk bisa meningkatkan perekonomian rakyat miskin..

Posting Komentar

Share this article ^^