Aku duduk di depan teras berlantaikan semen dingin. Kursi tempat dudukku adalah beberapa bilah bambu yang diikat memanjang, ditopang dua ban besar bekas. Kedua ban besar itu dulu diberikan mang Usep, tetanggaku, katanya ban itu bekas ban truknya yang sudah gundul. Aku mengangguk riang saat mang Usep meletakkan ban itu di teras rumahku. Ibu berpikir keras untuk menjadikan ban itu berguna, setelah bergelut dengan pemikiran panjang, akhirnya ibu mencari beberapa bilah bambu, lalu diletakkanya di atas ban. Jadilah sebuah kursi panjang cantik.
Sudah satu jam aku duduk di depan teras sambil membaca buku Ilmu Pengetahuan Alam kelas 3 SD, tapi ibu tak kunjung pulang. Isi buku yang diberikan ibu sebulan yang lalu itu sudah sangat melekat di kepalaku. Aku bahkan hapal di mana letak bahasan dan halamannya. Tiap bulan ibu selalu memberikan buku dengan mata pelajaran yang berbeda. Bila bulan lalu ibu memberikan buku Matematika kelas 3 SD, bulan ini IPA, maka bulan depan ibu menjanjikan buku IPS untuk aku telaah isinya. Ah, aku sudah bosan dengan buku IPA ini, ibu bilang buku IPS akan beliau berikan minggu depan. Tapi aku sudah tidak sabar. Berbagai buku ibu juga sudah kulahap habis. Hanya buku-buku ini dan tentunya ibu sahabatku.
Biasanya pukul 4 tepat ibu sudah sampai di rumah dengan membawa tiga macam kue. Selalu tiga. Dan selalu pukis, putri ayu, dan combro. Sudah sembilan jam aku sendirian di rumah kontrakan ini, aku kesepian, aku ingin teman selain buku-buku dan ibu. Rumah kontrakkan ini sebenarnya tidak pantas disebut rumah, tapi kamar kontrakkan. Di dalamnya hanya ada satu kamar, yaitu kamar mandi, satu tempat tidur busa tanpa ranjang, setrika, lemari plastik, beberapa peralatan dapur, dan tentunya buku-buku koleksiku dan ibu. Buku-buku yang sedikit sekali jumlahnya itu dengan berat hati kusebut koleksi. Karena biasanya yang dinamakan koleksi bila jumlahnya sudah banyak.
Ibu berangkat mengajar pukul 7 pagi dan pulang pukul 4 sore. Dengan rentang waktu yang tidak sebentar itu biasanya kuhabiskan dengan bermain masak-masakkan dengan menggunakan dedaunan, tanah, dan pasir. Lalu terkadang aku mengintip anak-anak yang tengah bermain di samping kontrakkan, mencoba sendirian beberapa permainan mereka. Seperti lompat tali, aku melompat-lompat di atas jalinan karet yang kuikatkan di pagar depan kontrakkan. Bila aku sudah mencoba bermain tali di dekat pagar, biasanya anak-anak itu menontonku, tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Biarlah, mungkin aku bisa menjadi tontonan yang menghibur bagi mereka. Tontonan pelepas penat yang disebabkan oleh desakan PR mereka yang menumpuk.
Bila aku lelah dengan permainan-permainan itu, lagi-lagi aku mengambil buku-buku pemberian ibu. Membaca dengan penuh khidmat, melanglang menuju fantasi jauh di sana. Buku-buku fiksi dan non fiksi itu memapahku menuju alam di luar sana yang bernama dunia. Bila aku bosan dengan buku-bukuku, terkadang aku mencoba membaca buku ibu, bahasanya sedikit sulit, kata ibu itu sastra. Sastra akan dikatakan menyenangkan apabila aku telah memahami apa makna di balik ikatan kata yang dapat terurai.
Belaian ibu membuyarkan lamunanku.
“Ibfu udja phullag”. Ibu memelukku dengan erat, apakah Ibu tak tahu kalau aku dirundung cemas karena ibu terlambat pulang? Aku menariknya ke dalam rumah, kutatap ibu dengan kesal, berharap ibu menjelaskan keterlambatannya.
“Gina tahu? Buku ibu diterima penerbit! Jadi ibu bisa beli ini untuk Gina.”, ibu menyodorkan bungkus plastik berbentuk segi empat kepadaku. Aku mengambil bungkusan itu sambil bertanya-tanya, sepertinya oleh-oleh ibu kali ini bukan kue. Meskipun begitu, aku tetap menatapnya dengan kesal. Setelah menangkap keganjilan tatapanku, ibu lalu menatapku dalam dan tersenyum.
“Maaf sudah bikin Gina cemas, tadi sehabis mengajar, ibu ke penerbit untuk teken kontrak. Aduh Gina, buku ibu diterima! Masa kamu nggak senang Nak?”, ibu mengelap air mataku yang sudah menetes dengan jari telunjuknya yang halus. Aku menggenggam tangannya.
“Ini impian ibu selama bertahun-tahun. Ibu sudah tidak tahan hanya menjadi guru bantu di SD tempat ibu mengajar. Minim gaji, minim penghargaan, minim perlakuan, tapi dituntut maksimal mengajar.”
“Makanya, kali ini ibu bisa membuktikan, meskipun hanya menggunakan pulpen dan kertas, karya ibu bisa diakui.”
“Ayo dong, kasih selamat ke ibu.”, ibu memelukku lagi.
“Jellamatj ibfukku ssayyagg.”, kali ini senyumku sangat lebar.
“Coba dong sayang, plastiknya dibuka.”
“Pfassti isjinja bfukku, yaa kkhany bbfu?”, aku mencoba menerka sambil meraba-raba permukaan bungkusan plastik itu.
“Tcummbenn bfukhann kkhue, hhe hhe.”, aku meledek ibu, biasanya tiap hari oleh-oleh berupa tiga buah kue menjejali perutku yang tipis ini.
“Bfuku tcetcralloghi, hhorje hhorje!!”. Tak dapat kubayangkan, buku tetralogi yang kuimpikan itu sekarang ada di genggamanku. Milikku. Asyiikk. Biasanya aku melihat buku itu di rak penjual kaki lima yang mangkal di jalan Blok M saat jalan-jalan bersama ibu. Berminggu-minggu berharap memilikinya.
****
Hari ini sama seperti sebelumnya, menunggu di teras kontrakkan sendirian di atas beberapa bilah bambu yang diikat di atas dua buah roda bekas besar. Namun yang berbeda, kali ini aku duduk bersama keempat buku baruku. Buku kesayanganku. Sebuah tetralogi karangan seorang pengarang terkenal. Aku tahu itu dari ibu.
Aku menatap jalan tanah di depanku, terbersit keinginan untuk berjalan mengitari kampung. Pernah sekali aku memberanikan diri keluar rumah karena dirundung rasa penasaran akan suara di telingaku. Kepalaku berputar-putar mengikuti suara itu. Aku berjalan menapaki jalan tanah kampung. Jantungku berpacu dengan cepat, takut akan hal baru ini. Langkah kakiku sampai di samping rumah berdinding anyaman bambu, aku mengintip ke dalam di sela-sela dinding yang robek.
Seorang anak perempuan memakai mukena sedang membaca sebuah buku, tapi aku tidak tahu buku apa itu. Mengapa suaranya dapat kudengar? Aku mencoba melihat lebih dalam lagi, sepertinya bukan huruf-huruf yang kukenal. Huruf itu tidak sekalipun pernah kulihat, ada yang setengah lingkaran lalu ada titiknya, ada juga yang seperti angka dua. Sepertinya di membaca dari kanan ke kiri, aneh sekali. Aku tidak pernah melihat buku yang seperti itu. Suara gadis itu makin lama semakin besar.
Tepukan lembut menyentuh bahuku.
“Hai, namamu siapa? Kamu kan yang kemarin mengintipku?”
Kepalaku menoleh ke kiri.
Aku mengangguk sambil menatapnya bingung. Kulihat matanya berbinar, bibirnya tersungging lebar. Sampai dapat kulihat gigi seri depannya kuning. Gadis itu meletakkan tangannya di dadanya.
“Namaku Nisa, nama kamu siapa?”
Aku terdiam, masih menatapnya bingung. Dengan tiba-tiba aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil buku tulis dan pulpen. Hanya berselang tidak sampai tiga puluh detik, aku sudah sampai di teras, duduk di sampingnya, di atas kursi bilah bambu. Aku menulis namaku di atas buku tulis. Kutulis serapi mungkin.
Namaku Gina Mulawarman. Tapi kamu panggil aku Gina aja.
“Nama yang bagus, Gina.” Dia kembali tersenyum.
“Apa kamu tahu Al-Quran?”
Aku menggeleng.
“Apakah kamu sholat lima waktu?”
Aku mengangguk.
“Lalu apa yang kamu baca saat sholat?”
Sejenak aku berpikir, lalu aku menuliskan bacaan sholatku dengan lengkap di atas buku tulis. Setelah selesai, aku memberikannya pada Nisa. Nisa mengangguk-angguk saat melihat tulisanku.
Tulisanku jelek ya?
“Tidak, sama sekali tidak. Hanya aku kagum padamu. Kamu hebat.”
Hebat? Anak ini sangat tidak rasional. Hebat dalam kancah apakah aku ini? Seorang anak berumur sembilan tahun menderita tuna rungu pantas disebut hebat? Bahkan ibuku hanya menggunakan ‘bagus’ dalam setiap ucapannya. Kata ‘hebat’ tidak ada dalam kamusku.
“Kamu tahu apa yang aku baca kemarin?”
Aku menggeleng.
“Tahukah kamu? Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Kita Islam kan? Kamu Islam, aku pun Islam. Almarhum ibuku sering mengatakan itu. Tapi aku sekarang tidak dapat mendengar suara ataupun melihatnya lagi. Allah memanggilnya dua tahun yang lalu.”
“Tahukah kamu? Hanya diawali dengan pilek yang tak kunjung sembuh, lalu panas tinggi dan akhirnya kejang-kejang. Dokter? Dokter apa? Saat itu ayah masih menganggur, dan kakak sedang mempersiapkan diri untuk ikut UN. Jadi keuangan kami saat itu sangat minim. Mana ada uang untuk membawa ibu ke dokter. Jadi sekarang aku hanya tinggal dengan ayah dan kakakku.”
“Ayahku seorang supir truk. Ayah berangkat pagi dan pulang malam hari. Aku punya seorang kakak laki-laki. Kakakku seorang mahasiswa, dia kuliah dengan biaya sendiri. Katanya dia kuliah jurusan apa ya.... Hemm, lupa. Oiya, jurusan teknik mesin. Katanya bila lulus dia akan bekerja di perusahaan pembuatan mobil. Ayah senang sekali karena kakak tidak akan menyetir truk, tapi akan membuat mesinnya. Dia kuliah di daerah jawa sana. Aku lupa nama tempatnya. Bla bla bla.” Dia berceloteh panjang, namun aku agak susah menangkap isi pembicaraannya, mungkin karena dia berbicara terlalu cepat.
Bisakah kamu berbicara lebih pelan? Maaf, aku kurang mengerti, hehe.
“Oh maaf.”
Kami mengobrol panjang, tidak lupa aku pun menceritakan kisah kehidupanku, apa yang kulakukan, sampai mengapa aku tak kunjung disekolahkan oleh ibu.
“Mengapa kamu tidak minta sekolah pada ibumu?”
Sudah berkali-kali, tapi dengan berbagai alasan ibu tetap saja mempertahankan agar aku tetap di rumah. Untuk mengisi kekosonganku di rumah, ibu yang mengajariku membaca, berhitung, dan menulis. Aku juga diajari ibu sholat, tapi tidak untuk membaca Al-Quran. Mungkin belum. Aku saja baru tahu kalau ada buku bernama Al-Quran. Ibu lebih mengenalkanku pada ilmu pengetahuan dan sastra.
“Sastra ya. Barusan aku membaca karya-karyamu, kamu memang hebat Gin, aku yang sudah tiga belas tahun saja struktur kalimatnya belum sebagus kamu.” Nisa menepuk pundakku sambil tersenyum. Dia terkagum - kagum melihat koleksi cerpen dan puisiku.
Aku sedih, ternyata perpisahan harus tiba, Nisa harus pulang, banyak PR katanya.
“Senang berkenalan denganmu. Oiya, jangan lupa ajari aku menulis puisi ya....”
Oke, kamu juga ajari aku membaca Al-Quran. Oh iya, dan ajari naik sepeda juga.
Ini kali pertama aku berbicara panjang dengan seseorang selain ibu. Gadis kelas dua SMP yang sangat riang. Namun masih ada satu hal yang mengganjal hatiku, untuk apa dia mengenakan jilbab?
Bukankah jilbab digunakan saat lebaran saja. Ibu saja tidak pakai jilbab. Rambutnya diurai sepanjang bahu. Kadang aku membantu ibu menyisir rambutnya yang harum. Ibu pun sering mengepang dua rambutku yang hitam dan tebal. Hari ini aku tidak mengepang rambutku. Rambut panjangku kubiarkan terurai dengan hiasan bando berwarna pink dengan pita di kanan atas.
Jilbab. Al-Quran. Sekolah.
Aku tidak pernah mendengar suatu apapun selama aku hidup. Bahkan suara ibu saja tak pernah ku dengar. Terisolasi di lingkungan kampung tempat aku tinggal tidak membuatku patah semangat dalam hidup. Ketika anak-anak tetangga mengolok-olokku (aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tentu saja karena aku tidak melihat gerakan bibir mereka dan tidak ingin tahu), aku hanya tersenyum sambil melanjutkan membaca buku-buku kesayanganku.
Meskipun terkadang hatiku terasa sakit. Tapi mungkin Tuhan berkehendak lain. Aku mulai berpikir, aku ingin pakai jilbab seperti Nisa, aku ingin dapat membaca Al-Quran seperti Nisa, aku ingin sekolah seperti Nisa.
“Ibfu ttak ppakhaii jjibab?”
“Apa nak?” rupanya ibu sedang berkonsentrasi berkutat di depan komputer barunya.
Aku mengulangi kata-kataku.
“Belum sayang, ibu belum siap.”
“Gginna mauu ssekhollaa.”
“Kita sudah pernah membicarakan ini. Sudah ya sayang, pekerjaan ibu sedang banyak.”
Lama-lama Gina merasa terisolasi di rumah ini! Apa Ibu malu bila orang lain tahu kondisi Gina? Gina ingin berbaur dengan orang lain, Bu. Gina ingin sekolah!
“Tidak Gina sayang, ibu tidak ingin Kamu menjadi bahan olok orang lain. Sakit rasanya hati ibu melihat Kamu dipergunjingkan oleh warga kampung. Selama ini ibu hanya bisa diam dan menyimpanmu di rumah. Gina, ilmu tidak hanya didapatkan di luar, di dalam rumah pun kamu bisa mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan yang bahkan tidak didapatkan orang lain.”
Tapi bagaimana Gina bisa punya teman, bagaimana Gina bisa berbaur? Pokoknya Gina mau sekolah, titik!
“Apakah Kamu pikir orang yang akan Kamu jadikan teman akan menjadi teman yang baik? Tidak ada teman di dunia ini! Semuanya hanya mengambil keuntungan darimu, lalu ketika habis, mereka pergi.”
“Saat ayahmu meninggal, mereka pergi meninggalkan ibu. Semuanya! Seakan tidak pernah mengenal ibu saat kita terpuruk. Bahkan keluarga kita menoleh pun tidak. Mereka hanya bangga pada kekayaan dan jabatan ayahmu dulu.”
Tidak ibu, tidak semua teman berhati picik, aku akan menemukan teman sejati yang setia menemaniku saat ku senang maupun susah. Teman yang akan mengajari membaca Al-Quran, teman yang akan membimbingku memakai jilbab, teman yang akan membantuku naik sepeda.
Amel
Ciputat
29 Desember 2010