Pengunjung Lapak

Jumat, 22 Juli 2011

Sebuah Esai: Tentang Guru dan Penghargaannya

-->
-->
 
-->Gambar diambil dari http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3376278673652412781
Ciputat,
22072011
Oleh: Amalia Larasati Oetomo

*Berawal dari kegelisahan para guru (termasuk ibu saya), saya (calon guru), dan para praktisi pendidikan lain.

Putu Wijaya: Cerpen Guru
Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh…. (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
                Kutipan cerpen Guru karya Putu Wijaya mengingatkan saya pada segelintir kalimat yang dilontarkan seorang pembicara pada sebuah seminar keguruan, ''Kalau Anda ingin jadi orang kaya, maka jangan pilih menjadi guru,''. Kalimat yang cukup menghentakkan batin saya. Ironi memang. Keironian ini terakumulatif pada realitas diskursif  yang terpatri dalam paradigma berbagai kalangan. Lagi-lagi mengacu pada kondisi mayoritas guru yang duduk di bawah lini ketidakmapanan.
                Realita yang terpatri mengenai kondisi guru di tanah air disebabkan masih banyaknya perlakuan diskriminatif. Aspek imbalan jasa, baik materi maupun non materi, pun jauh dari kepuasan dan keadilan. Mayoritas honor guru PNS luar Jakarta, apalagi guru honor. Bahkan segelintir dari mereka (guru honor) hanya mendapatkan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Mengenaskan memang. Belum lagi tempat mengajar yang (lagi) jauh di bawah standar kemanusiaan: kelas bocor, lantai pecah, ruang kelas roboh, kekurangan alat bantu, halaman sempit dan kotor.
Merujuk kembali pada karya sastra Putu Wijaya, cerpen Guru. Tokoh utama dalam cerpen Guru adalah Aku. Tokoh Aku yakni seorang ayah dengan obsesi besar terhadap putra semata wayangnya, Taksu. Taksu digambarkan berupa sosok idealis, meski di awal cerita, penggambaran karakternya belum terdapat eksplorasi. Karya sastra dengan konfigurasi dialog ini agaknya berhasil membawa pembacanya terhenyak. Betapa tidak, dengan kondisi carut-marutnya sistem kenegaraan kok masih ada yang bermimpi jadi guru (merunut mayoritas pembaca). Padahal sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian tersebut dewasa ini jatuh pada satu kata populis: materi.   
                Materi acapkali merupakan tujuan utama tiap individu ketika duduk di bangku pembelajaran. Alhasil yang dihasilkan dari metode pembelajaran hanyalah produk, bukan proses. Dalam bukunya, Toward a Theory of Instruction, Jerome Bruner (1966) menjelaskan bahwa, “We teach a subject not to produce little living libraries on that subject, but rather to get student to think mathematically for himself, to consider matters as an historian does, to take part in the process of knowledge-getting. Knowing is a process not a product.”[1]
                Pembauran pembelajaran sebagai ‘produk’ versus ‘proses’ inilah yang menjadikan kesalahan paradigma peserta didik dalam menentukan tujuan belajar, ‘Untuk apa saya belajar?’ Agaknya kesalahan paradigma ini menjadi elemen pembenahan terpenting pada pelbagai kelindan persoalan. Dengan mengacu pada proses, bukan produk, diharapkan meminimalisasikan materi sebagai sesuatu yang sentralistik dalam proses pencapaian tujuan. Ketika paradigma matrialistik terminimalisasi, maka diharapkan lahirnya pencitraan seimbang bagi guru dengan profesi lain.
                Acuan paradigma mengenai materi ini lah yang menjadi bumbu utama penyebab konflik Aku dan Taksu. Klimaks kisah ini ialah menghilangnya Taksu dalam kurun waktu sepuluh tahun. Lalu tiba-tiba kembali dengan mendapatkan hadiah gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. Tidak hanya itu, Taksu juga berprofesi sebagai pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
                Yang saya pertanyakan adalah bagaimana bila Taksu yang selama sepuluh tahun tidak pulang, tiba-tiba datang membawa gelar pendidikan dengan profesi (hanya) sebagai guru sekolah? Tanpa embel-embel doktor honoris causa atau pengusaha besar. Akankah ending cerita seindah imajinasi Putu Wijaya? Lagi-lagi pengkultusan terhadap materi yang diusung.
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya baca pada sebuah website milik seorang guru MAN 3 Batusangkar alumni Fakultas Pendidikan Monash University, Australia. Suatu ketika beliau memperkenalkan istrinya yang seorang dokter, seorang temannya kontan berkomentar, “Oh .. you are lucky, Anto. You are only a teacher, and you get a doctor as your wife”. Dengan kernyitan di dahi, beliau menjawab, “So, what. Apa seorang guru tak pantas berjodoh dengan seorang dokter?'”[2] Hmm, lagi-lagi menjadi korban pencitraan rendahan bagi mayoritas kalangan. Hasil dari pencitraan yang dinilai dari pencapaian materi.
                Dengan emosi yang meluap-luap para guru pasti berkata, “Mendingan nyalahin pemerintah aja yang menjadikan guru sebagai profesi rendahan, gaji tidak manusiawi, janji sertifikasi tapi hanya segelintir yang menikmati. Rasanya berprofesi sampai mati, tidak dihargai.”  (saduran representatif mayoritas guru di nusantara).

Birokratisasi Profesi Guru
Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru senyatanya menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan ini sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Disorientasi jabatan tersebut pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah atasan. Guru yang berani mengkritik, apalagi memprotes tindakan atasan yang tidak benar, dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini. Hmm, mengenaskan memang.
Padahal UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan pembelaan hak-hak guru.
Lalu pada pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak birokrasi atau pihak lain.
Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi, tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Berbekal dari semboyan ‘pahlawan tanpa tanda jasa ’ yang diusung pemerintah, agaknya bertolak belakang dengan pelbagai fakta yang menyeruak di permukaan. Menurut sebagian kalangan, ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan.[3]
Kata ‘Pahlawan tanpa tanda jasa’, agaknya menarik bila dikaji secara mendalam. Yakni pahlawan yang berkontribusi dalam melakukan ekspansi ilmu terhadap peserta didik tanpa embel-embel pamrih di belakangnya. Sejatinya, wajar-wajar saja kalau gaji guru amatlah minim, wong tanpa tanda jasa. Lagi-lagi akibat birokratisasi profesi guru yang menempatkan posisi sebagai bawahan menjadikan guru sebagai objek diskriminatif. Disorientasi jabatan ini lah pemicu ketakutan guru dalam mengusung hak-haknya.
Mungkin menarik apabila saya komparasikan honor guru nusantara dengan Jepang. Ya, mungkin kita tidak dapat menyejajarkan kondisi negara yang sejatinya memiliki kesenjangan cukup jauh. Namun sudah jamak diketahui, ketika Jepang mendapat hadiah Bom Hiroshima dan Nagasaki, pemerintah Jepang hanya mempertanyakan berapa guru yang masih tersisa. Sadar atau tidak, kemajuan suatu negara adalah refleksi dari kualitas pendidikan.

Grade
Teachers
Yen (a month)
Head-Teachers
Yen (a month)
Principal
Yen(a month)
2
156,500
292,500
422,400
4
184,200
320,900
439,800
6
202,500
348,600
456,200
8
217,900
369,500
471,500
10
237,600
389,000
485,600
12
262,000
406,100
500,100
14
288,200
422,200
512,100
16
315,700
437,300
18
342,700
451,000
20
362,900
463,800
22
381,400
474,100
24
397,600
482,200
26
411,200
488,400
28
422,400
30
432,300
32
441,300
34
449,700
36
455,900
Berdasarkan tabel tersebut, selain medapatkan gaji bulanan, para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus dua kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4.65% gaji bulanan.  Gaji guru di sekolah negeri dibayar oleh pemerintahan di tingkat prefecture (provinsi) sebesar 50% dan pemerintah pusat 50%. Prosentasi ini bisa berubah jika kondisi provinsi tidak begitu kaya.  
“Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!” (Cerpen Guru, Putu Wijaya, 2001).
Merunut pada fakta-fakta yang telah diungkap tadi mengenai pendiskriminasian profesi guru, agaknya pengusungan hak-hak guru harus disertai gerakan debirokratisasi profesi guru.  Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya, mengkritik, berserikat sebagai wujud kemandirian profesinya, dan mendapatkan penghargaan setara dengan jerih payahnya. Sehingga hal itu dapat meredam proses diskriminatif yang dialami mayoritas guru Indonesia.
Namun lagi-lagi proses yang tidak instan itu tidak mudah bersinergi dengan fakta lapangan. Bila ada anekdot, ‘orang miskin dilarang pintar’, maka anekdot lain akan berbunyi, ‘guru Indonesia dilarang kaya’.







[1] Ratna Wilis Dahar, 1996: 106
[2] enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/.../guru-indonesia-juga-berhak-kaya
[3] http://nadhirin.blogspot.com/2009/03/guruku-pahlawanku.html
[4] http://www.educationworld.net/salaries_jp.html



2 komentar:

Anonim mengatakan...

ini analisis pendidikan di Indonesia:
http://www.youtube.com/watch?v=_9jdZhceZr8

ini salah satu solusinya:
http://www.youtube.com/watch?v=jH8CqjW6Vwc

Amalia Larasati Oetomo mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Share this article ^^